Tuthy Feminisosialistha

Jumat, 20 Desember 2013

HARI HAM SEDUNIA, “MARI BERSATU, KAWAN!”


(Seutas cerita dibalik upaya penyatuan gerakan di Maluku Utara)

JIKA rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Secarik sajak yang ditulis dan diberi judul “Peringatan” oleh Wiji Tukul diatas, patut menjadi renungan bagi kami yang hadir dalam forum ini, kami yang berdiskusi tentang pelanggaran HAM dan pengungkungan demokrasi saat ini, kami yang bersuara untuk akar rumput yang terserabut dari tanahnya, kami yang senantiasa berteriak lantang, “Hanya ada satu kata : LAWAN!”. Ceritanya dimulai disini, kawan.

Siang itu, kami menghadiri undangan konsolidasi aksi untuk momentum hari HAM sedunia—yang jatuh pada tanggal 10/12/12—oleh Gerakan Pelopor Perjuangan Rakyat (GERPOLEK). Huuuuffh…. “Menunggu, sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku”!!! Lirik lagu dari Zivilia ini mencerminkan kemelut dalam benakku—antara menunggu atau pulang—Budaya “laste”, membuat kami (saya & Asmi) harus menunggu dari jam 3 sore (sesuai undangan) sampai kedatangan kawan-kawan dari organisasi yang lain. Sekitar jam 5 sore, rapat konsolidasi baru dimulai dengan agenda membedah situasi nasional dan situasi daerah.

Kawan Idham dan beberapa kawan dari Gerakan Mahasiswa Penyambung Aspirasi Rakyat (GEMPAR), menyampaikan situasi nasional yang sedang gencar dengan isu kasus korupsi, selain itu ada juga kawan-kawan dari oranisasi-organisasi yang hadir, diantaranya dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perempuan Mahardhika, Sekolah Kritis, Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (GAMHAS), Himpunan Mahasiswa Foya Kotalou (HIPMA FK), Himpunan Mahasiswa Gane Luar (HIPMA GALUR), Himpunan Mahasiswa Gane Dalam (HIPMA GAD), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Pertanian dan Perikanan Universitas Khairun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Serikat Hijau Indonesia (SHI), yang coba mendudukkan frame awal, dengan menguraikan dan menganalisis situasi nasional terkait dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi akibat dari konflik agraria—perebutan lahan rakyat oleh koorporatokrasi—di Indonesia. Kawan Bongky dari SHI mencoba menguraikan data-data pelanggaran HAM terkait dengan konflik agraria yang dilatarbelakangi oleh semakin masivnya investasi ekstraktif—perkebunan dan pertambangan—di Indonesia, Bongky juga membuka wacana tentang skematik REDD dan REDD plus yang dicanangkan oleh negara-negara Anex 1, yang akan semakin menggusur asset vital rakyat tempatan. Terkait dengan itu, menurut Bongky, korupsi yang paling besar justru terjadi di sektor pembebasan lahan untuk pertambangan dan perkebunan skala masiv. 

Kawan Tuthy (saya sendiri, red) dari Perempuan Mahardhika, kemudian mencoba menganalisis dari kacamata ekonomi-politik, bahwa kasus pelanggaran HAM, korupsi dan perampasan lahan-lahan produktif rakyat, dilatarbelakangi oleh Sistem Neoliberalisme yang dilahirkan pada pertemuan Washington Consensus tahun 1984, ketika teori liberalism (ala Adam Smith) dan Keynesian tidak lagi relevan dalam menanggulangi krisis kapitalisme, yang disebabkan oleh akumulasi/over produksi ini. Neoliberalisme membutuhkan 3 hal yakni SDA, SDM dan Pasar dalam mengakumulasi modalnya, dan guna mensukseskan semua itu, deregulasi berbagai UU dan liberalisasi pasar adalah program-program yang tercantum dalam 10 program Washington Consensus di atas. Menurut saya, korupsi juga marak terjadi dan semakin membudaya, sebab gaya hidup mewah dan konsumeris yang diciptakan oleh kapitalisme, yang tentunya berdampak pada semakin meningkatnya kecenderungan orang untuk berupaya mencari cara instan agar bisa “luks”, salah satunya dengan korupsi.

Setelah saya menyampaikan analisis saya, kawan Idho dari WALHI pun masuk dan menyampaikan, bahwa persoalan korupsi juga penting tapi dalam diskusi ini kajian kita harus lebih mendalam dan mengakar, “sekarang saya ingin tanyakan ke kawan-kawan, pilih mana, sekedar memukul daun atau memukul sekalian dengan batangnya” ramai-ramai kami pun menjawab memukul batangnya, yang dimaksudkan oleh Idho adalah dalam kasus korupsi, kita tidak harus menyentuh oknum tapi sistem yang melahirkan dan menguatkannya.

Sesuai kesepakatan, keesokan harinya (hari ini ketika tulisan ini dibuat) akan diselenggarakan setingan aksi, lagi dan lagi… hufh… menunggu lagi. Untungnya hari ini, banyak kawan-kawan yang ngumpul di serambi depan rumah (Basecamp Gerpolek). “kenalilah tiga setan, setan penindas rakyat” lirik tembang milik KEPAL SPI ini menghiasi forum non formal kami. Dipandu kawan Sham dari PEMBEBASAN dengan memainkan jari jemarinya—yang tampak kasar dan tebal—pada sebuah gitar usang, kami pun hanyut dalam banyak tembang juang yang didendangkan (mulai dari genre Balada sampai Reagge). Tembang-tembang juang ini mengisi waktu luang kami, menanti kawan-kawan pelaku jam karet. Diantara semua tembang-tembang yang ada, “satukanlah dirimu semua, seluruh rakyat senasib serasa, susah senang dirasa sama, bangun… bangunlah segera…”, sempat membuat saya termangu dalam ilusi, menurut saya tembang ini yang paling tepat tuk’ menggambarkan kondisi objektif gerakan yang ada di Maluku Utara, sentiment gerakan yang tercermin dalam fanatisme organisasi dan bendera, sangat berdampak pada perpecahan dan perang ideology serta garis politik.

Setelah banyak tembang yang dinyanyikan secara berafiliasi antar kawan-kawan yang ada, aku “dipaksa” untuk mendendangkan “Donna… Donna…” sebagai penutup semua tembang. Akhirnya kulantunkan dengan kepekaan yang senantiasa terjaga, kepalan tinju yang tak letih menancap ke langit, keletihan berkobar di sepanjang jalan revolusi, kegemaran berlesehan dengan kaum dhuafa serta kerinduan akan revolusi di esok hari.

Karena hidup adalah pilihan, mencari kenyamanan ataukah kebebasan. Kau tak akan bisa hidup dengan kedua-duanya—begitu petuah sang Comandante. Dan saya sedang mencoba dan berupaya hidup dengan kebebasan, walaupun godaan kenyamanan hidup mewah masih senantiasa mengganggu malam-malam saya, namun inilah pilihan atas hidup, yang tak letih mengajarkan kami.

“ayo, kawan-kawan, masuk ke ruangan, setingan akan dimulai” begitu sapa seorang kawan yang mengganggu aktivitas “manggung” kami. Setingan aksi akhirnya dibuka pada pukul 16.20 WIT—telat lebih dari 3 jam dari yang disepakati pukul 13.00 WIT. Dari hasil setingan, saya terpilih menjadi Koordinator Lapangan (Korlap) dengan isu central aksi “TOLAK RUU KAMNAS+ORMAS, TUNTASKAN KASUS-KASUS KORUPSI DAN PELANGGARAN HAM”. Setingan aksi akhirnya saya tutup dengan kesepakatan jam 10 pagi aksi dimulai esok harinya.

Tidak ada komentar: