Tuthy Feminisosialistha

Jumat, 20 Desember 2013

Jazirah Berkabung


Titah modal telah menjarah tawa lucu akar2 rumput kecil,
hingga mereka terserabut dari tanah penopang hidup.

Tak lagi camar2 berkicau merdu krn laut kini bercampur darah.
 Aromanya amis. Pekat tak berwarna namun beracun.

Desau sepoi angin. Kini mendayu-dayu licik berkandung merkuri.
Perih sengatannya jika terhirup.

Hingga lambaian nyiur tak lagi tegak karena kuning bertanda kering.
Ilalang punah tanpa bekas, berubah tandus singgahi dahaga.

"Pacul & mata kail" tak lagi berproduksi, tergilas teknologi kapital.

Petani & Nelayan tinggal nama. Mangkat dari tahta singgasana zaman!
Kini, hanya sebagai buruh tuk' menjawab lapar.

Dan bagai anjing setia pada tuannya, serdadu berlaras senantiasa menjilat pada sang tuan,
berdiri mengangkang dgn congkak sembari mengokang senjata,
siap berlandas di medan.

Tapi miris!
Tuan2 serdadu berperang melawan para budak sahaya tanpa senjata, apalagi harta!

Manusia terlindas pada peradaban kotor, hingga terpenjara diujung malam.

Dan esok,
merah kan menyuplai asa.

Dalam Khilaf


Langit kian pekat,
tancapkan sembilu pada yang merindu
tanpa kiasan rasi di angkasa

Bahkan,
dengan lantang gemuruh guntur mengumandangkan tasbih
pecahkan kesunyian yang menyayat

Di sudut ruang pengap,
aku tengah menanti maaf
dari yang terkasih

Akan kutunggu
walau takdir tak berkenaan
biarlah kerinduan terus menyemai
batin yang tergores hina

Jika masih patut
bibir ini bercurah rasa pada kiasan malam
dan padamu
yang tak menjauh dari pelupuk mata

Akan kulantangkan suaraku
melawan surau2 malam yang menjalankan titah-Nya

Dan....

"Ketiadaanmu membenahi ada-ku
di balik cahaya temaram sang purnama
masih kuyakini
Nirwana kan hantarkanku selami jiwamu
Ketika esok tak lagi miliki Ruh"

Di penghujung fajar; Bukit Gam Lamo, 29 Juli 2011

Coretan Tak Bertuan


Ada keramaian di sini tapi bukan pasar.

Kapal laut tengah berlabuh, dan suara-suara bising berterbangan di atas udara ruang kapal yang sumpek ini.
Ada puluhan asongan bertawar-tawar dagangannya dengan gesit pada para penghuni kapal.

Dan kegetiran hati semaikan naluri kala tatap netra terkaburi perih pemandangan yang kontras, ada jurang yang dalam antar klas di sini.

Semua pedagang itu adalah perempuan2 tangguh yang tak kenal apa itu "kapitalisme" & siapa itu "Adam Smith" serta apa yang telah dilakukannya hingga merenggut mimpi kesejahteraan mereka.

Yang mereka tahu hanya menjajah roti & air mineral kepada para pengguna jasa kapal laut ini guna menopang hidup yang keras.

Di sudut semenanjung pasir putih.

Diantara mereka, ada gadis-gadis kecil yang ikut menjajah dagangannya guna biaya sekolah. Perih.

Tersentak lamunanku pada sesosok perempuan muda dengan perut membuncit.
Tuhan... ternyata dia tengah hamil dan harus berjuang hidup bersama teman-temannya sesama pedagang asongan.

Tiba-tiba hal yang kontras terlintas di sebuah berita infotainment yang diputar padd salah satu TV yang ada di dalam kapal tersebut. Nia Ramadhani, seorang artis muda yang juga tengah hamil. Tentu saja dia tak perlu bersusah2 seperti perempuan muda penjajah asongan tadi untuk memenuhi kebutuhannya dan jabang bayinya.

Ya. Bukankah dia menantu Aburizal Bakrie? Pemilik PT. Bakrie yg memiliki jutaan hektar perkebunan sawit dan tambang batu bara di atas tanah adat borneo & andalas hingga menghadiahkan hutan gundul & tanah gersang. Juga memiliki kekayaan berlimpah dari hasil eksploitasi minyak di tanah Jawa hingga memberikan "Kado lumpur lapindo" untuk rakyat Sidoarjo.

Peluh keringat lelah memang hanya milik perempuan muda yang tengah hamil itu bersama teman-temannya penjajah asongan, sementara setetes keringat amatlah "haram" bagi Aburizal dan kroninya serta para borjuase lainnya.

Brruuug...!
Gadis kecil pedagang asongan sedang menawarkan dagangannya kepada sebuah keluarga yang sedang asik bercengkerama dengan buah hati mereka, gadis kecil yang centil & modis. Mereka duduk dalam sebuah ruang VIP kapal itu. Namun sayang, gadis pedagang asongan itu diusir dengan kasar hingga terjatuh.

Sepoi angin menerpa wajah kusam nan pasi namun tetap santun itu.
Tak hanya kesenjangan yang terlihat namun pudarnya kepekaan pun tergambar jelas dalam potret kapal very ini.

Akhirnya, tembang "Saksi katong pung cinta" menutup pemandangan miris ini, seiring dengan berlalunya kapal dari pelabuhan hunimua & semenanjung pantai Liang yang indah, meninggalkan para pedagang asongan yang tengah menunggu kapal selanjutnya untuk kembali berjuang.

Waipirit di depan mata.

Biru Seram, 03/03/2012

Cadar ILAHI


Hei perempuan bercadar embun,
sembari melangkah kau tuang setetes
tuk' hilangkan dahaga jiwa-jiwa
yang tengah merindu air

Hei perempuan bercadar angin,
seraya hembusanmu memberi oksigen kesegaran
pada jiwa2 yang tengah sakit

Dan kau perempuan bercadar juang,
lantang teriakmu hentakkan jiwa-jiwa
yang telah lawas larut dlm sudut klas-klas penindas

Kaulah perempuan
yang menguak tabir palsu kehidupan
yang dibaluti dogma-dogma atas nama Tuhan

Kau bongkar ketabuan manusia-manusia
yang terus membungkuk pada laparnya

Sejatinya Ruhmu dibalut cahaya Ilahi

19 Februari 2011

AKU PEREMPUAN


Andai kuterlahir berpenis, maka kebebasan senantiasa mengisi hari-hari yang padat. Tak perlu takut pada malam, apalagi pada sasus mereka yang mengadili. Pantang dengan ocehan mama yang mengungkung. Aku hendak bebas mengarungi hidup, tanpa belenggu, tanpa pasung! Aku tak meminta lebih, tak menuntut waris dan harta.

Pelecehan kerap kualami karena bajuku tak begitu sopan menurut mereka. Sering pula aku dikerasi karena menentang, memberontak pada didikan kolot mereka. Aku hanya perempuan, yang dipaksakan mengikut pada perintah, walau batin tetap menyiksa. Aku adalah perempuan, yang meratapi nasib terpasung dalam lembaga keluarga, agama bahkan negara.

Woi…. !!! Siapa yang hendak mendengar tangis dan ratapku? Tangis perempuan yang dipingit untuk kemudian dijual. Ratap perempuan 25 tahun yang terus diawasi dengan aturan sosial. Aku tak mau diemong, dimanja. Aku hanya butuh bebas. Karena ini hidupku.

Pergi kalian pengungkung! Jika tidak, maka aku yang akan pergi. Hatiku senantiasa berteriak, dengarlah! Aku bukan belia, yang patut awas! Aku manusia dewasa yang ingin bebas! Manusia dewasa! Pergi, pergi dan jangan kembali! Karena aku butuh bebas!

“Refleksi 15 Tahun Reformasi; Tolak RUU KAMNAS dan ORMAS, Pemasung Demokrasi!”


Gerakan Mahasiswa Indonesia yang bangkit kembali pada 1980-an dan 1990-an, bukan merupakan suatu hal yang aneh, bila kita melihat landasan material sistem ekonomi politik Orde Baru
yang dijalankan saat itu. Gerakan mahasiswa yang muncul kemudian, seperti menentang represifitas dan kesewenang-wenangan yang ada dalam kampus dan masyarakat, merupakan pembuktian, bahwa gerakan mahasiswa mempunyai tujuan bagi terciptanya ruang demokrasi di negara ini. Gerakan mahasiswa mulai menyadari, bahwa tugas tersebut merupakan suatu usaha sadar untuk merekonstruksi dan mentransformasikan kehidupan sosial.

Gerakan Rakyat dan Mahasiswa 1998—Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran.
            
Keberhasilan gerakan rakyat dan mahasiswa pada 21 Mei 1998—lahirnya reformasi—memperkenalkan pada kita, suatu cerminan tentang pentingnya mempersatukan kekuatan-kekuatan rakyat dan mahasiswa—sekalipun hanya bersifat mobilisir. Keberhasilan yang melahirkan ruang demokrasi ini, membuka pintu bagi lahir dan menjamurnya organisasi massa di berbagai sektor-sektor kerakyatan seperti buruh, tani, kaum miskin kota, seniman, perempuan dan mahasiswa. Setelah sebelumnya kekuatan-kekuatan ini pernah massiv, lalu diberangus pada massa Orde Baru (1965-67). Kesadaran untuk mengorganisasikan diri adalah kemajuan yang patut untuk diperhitungkan. Walau demikian, kita juga tak patut hanya bereuforia dengan semua kemenangan tersebut. Karena terdapat kelemahan-kelemahan dari gerakan 1998, yang patut untuk dianalisis dan diperbaharui dalam membangun kekuatan gerakan kedepan.
            
Menjamurnya berbagai organisasi massa di Indonesia pasca reformasi adalah suatu kemajuan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Namun, organisasi yang semakin banyak ini—yang harusnya menjadi kekuatan—justru semakin mengkerdilkan gerakan rakyat dan mahasiswa dalam perspektif sektarianisme. Tak ada persatuan kekuatan dan gerakan yang bersifat massiv, kuat dan berkelanjutan (strategis), yang ada hanya persatuan-persatuan gerakan yang bersifat momentum dan taktis. Sentiment gerakan antar tiap organisasi adalah hal yang paling harus diberangus saat ini.

RUU KAMNAS dan ORMAS—Ancaman Bagi Demokrasi Indonesia.
            
Selain kegagalan menyatukan kekuatan gerakan di Indonesia, reformasi juga telah gagal menghancurkan dominasi militerisme. Militer Indonesia—yang sebelumnya telah dibuat tunduk pada kekuatan rakyat, dengan menghapus dwi fungsi ABRI—belakangan mulai menunjukkan taring dalam perpolitikan di tanah air. Lihat saja, bagaimana para jenderal pelanggar HAM—yang tak pernah diadili—justru mendirikan partai dan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah maupun kepala negara. Atau bagaimana militer Indonesia saat ini bergerak menembaki rakyat di kota maupun desa; di pabrik maupun wilayah konsesi investasi ekstraktif; di tambang maupun perkebunan; di pasar maupun kampus. Semua itu dilakukan dengan mengatasnamakan stabilitas keamanan negara. Ya, stabilitas negara dalam mengamankan kepentingan investasi skala besar dan massiv; kepentingan akumulasi kapital negara-negara annex 1; kepentingan menjaga pasar KFC dan AQUA; kepentingan menjadikan kita sebagai manusia konsumtif, yang bergerak hanya untuk berbelanja; kepentingan membuat kita terasing di atas tanah sendiri; dan seterusnya, dan seterusnya.
            
Untuk menjaga semua kepentingan itu, maka demokrasi hanya bagi mereka yang bermodal. Karena patung liberty didirikan atas nama kebebasan individu dalam memperkaya diri—tanpa peduli kekayaan itu ditumpuk dengan bayaran tengkorak, darah dan keringat para buruh dan  rakyat di negara-negara dunia ketiga (miskin).

Agar rakyat semakin terlihat “bodoh”, maka mereka harus dididik menaati setiap regulasi yang dibuat—tak peduli regulasi-regulasi itu memarginalkan mereka—sebagaimana yang diamanatkan dalam Washington Consensus 1984 yakni Deregulasi. UU Penanaman Modal Asing—yang menyalahi pasal 33 UUD 1945; UU Perburuhan; UU Minerba; UU Intelejen dan berbagai regulasi lainnya, adalah bukti konkrit bahwa para penguasa negara ini sangat berkepentingan menjaga keamanan sistem kapitalisme dalam mengeksploitasi, mengekspansi dan mengakumulasi modalnya.
            
Salah satu upaya menjaga stabilitas keamanan modal adalah, dengan melahirkan regulasi yang dapat memberikan kewenangan sebesar-besarnya bagi militer, dalam menjalankan tugasnya sebagai “anjing” penjaga modal, diantaranya UU Intelejen yang baru disahkan 2012 kemarin, serta RUU Kamnas dan Ormas—yang lahir dari titisan dolar Amerika—yang rencananya akan disahkan pada pertengahan tahun ini.
            
Telah 15 tahun berlalu, ketika puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan rakyat dan mahasiswa Indonesia, yang telah mengorbankan keringat dan darah untuk sebuah kebebasan yang bernama “DEMOKRASI”. Dan saat ini, ketika kebebasan itu masih terpasung—dan dikerdilkan demi kebebasan segelintir memperkaya diri—kita justru akan kehilangan kemenangan itu. Bukan karena kita kalah, kawan! Tapi karena kita belum bertarung; belum merasa mampu; belum merasa kuasa; belum merasa kuat; belum bersatu; masih belajar; masih sibuk di ruang diskusi, karena kita “aktivis klik”; masih menjadi perwakilan-perwakilan rakyat, karena kita “seleb gerakan”; masih berdebat dan saling melemahkan; masih merasa benar; masih menghakimi kawan; dan masih belum mengenal lawan.
        
“Refleksi 15 Tahun Reformasi; Tolak RUU Kamnas dan Ormas, Pemasung Demokrasi!”, harus dijadikan sebagai topik isu.  Berdiskusi bukan untuk mengukur kemampuan, tapi merumuskan akar permasalahan; melahirkan stratak perjuangan bersama; menjadi generasi penerus yang tidak hanya “numpang bebas” dan impoten, tapi penuh ide dan kreasi; karena kita akan terus belajar untuk bekerja, berjuang dan memperbaiki setiap salah.

HARI HAM SEDUNIA, “MARI BERSATU, KAWAN!”


(Seutas cerita dibalik upaya penyatuan gerakan di Maluku Utara)

JIKA rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Secarik sajak yang ditulis dan diberi judul “Peringatan” oleh Wiji Tukul diatas, patut menjadi renungan bagi kami yang hadir dalam forum ini, kami yang berdiskusi tentang pelanggaran HAM dan pengungkungan demokrasi saat ini, kami yang bersuara untuk akar rumput yang terserabut dari tanahnya, kami yang senantiasa berteriak lantang, “Hanya ada satu kata : LAWAN!”. Ceritanya dimulai disini, kawan.

Siang itu, kami menghadiri undangan konsolidasi aksi untuk momentum hari HAM sedunia—yang jatuh pada tanggal 10/12/12—oleh Gerakan Pelopor Perjuangan Rakyat (GERPOLEK). Huuuuffh…. “Menunggu, sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku”!!! Lirik lagu dari Zivilia ini mencerminkan kemelut dalam benakku—antara menunggu atau pulang—Budaya “laste”, membuat kami (saya & Asmi) harus menunggu dari jam 3 sore (sesuai undangan) sampai kedatangan kawan-kawan dari organisasi yang lain. Sekitar jam 5 sore, rapat konsolidasi baru dimulai dengan agenda membedah situasi nasional dan situasi daerah.

Kawan Idham dan beberapa kawan dari Gerakan Mahasiswa Penyambung Aspirasi Rakyat (GEMPAR), menyampaikan situasi nasional yang sedang gencar dengan isu kasus korupsi, selain itu ada juga kawan-kawan dari oranisasi-organisasi yang hadir, diantaranya dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perempuan Mahardhika, Sekolah Kritis, Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (GAMHAS), Himpunan Mahasiswa Foya Kotalou (HIPMA FK), Himpunan Mahasiswa Gane Luar (HIPMA GALUR), Himpunan Mahasiswa Gane Dalam (HIPMA GAD), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Pertanian dan Perikanan Universitas Khairun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Serikat Hijau Indonesia (SHI), yang coba mendudukkan frame awal, dengan menguraikan dan menganalisis situasi nasional terkait dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi akibat dari konflik agraria—perebutan lahan rakyat oleh koorporatokrasi—di Indonesia. Kawan Bongky dari SHI mencoba menguraikan data-data pelanggaran HAM terkait dengan konflik agraria yang dilatarbelakangi oleh semakin masivnya investasi ekstraktif—perkebunan dan pertambangan—di Indonesia, Bongky juga membuka wacana tentang skematik REDD dan REDD plus yang dicanangkan oleh negara-negara Anex 1, yang akan semakin menggusur asset vital rakyat tempatan. Terkait dengan itu, menurut Bongky, korupsi yang paling besar justru terjadi di sektor pembebasan lahan untuk pertambangan dan perkebunan skala masiv. 

Kawan Tuthy (saya sendiri, red) dari Perempuan Mahardhika, kemudian mencoba menganalisis dari kacamata ekonomi-politik, bahwa kasus pelanggaran HAM, korupsi dan perampasan lahan-lahan produktif rakyat, dilatarbelakangi oleh Sistem Neoliberalisme yang dilahirkan pada pertemuan Washington Consensus tahun 1984, ketika teori liberalism (ala Adam Smith) dan Keynesian tidak lagi relevan dalam menanggulangi krisis kapitalisme, yang disebabkan oleh akumulasi/over produksi ini. Neoliberalisme membutuhkan 3 hal yakni SDA, SDM dan Pasar dalam mengakumulasi modalnya, dan guna mensukseskan semua itu, deregulasi berbagai UU dan liberalisasi pasar adalah program-program yang tercantum dalam 10 program Washington Consensus di atas. Menurut saya, korupsi juga marak terjadi dan semakin membudaya, sebab gaya hidup mewah dan konsumeris yang diciptakan oleh kapitalisme, yang tentunya berdampak pada semakin meningkatnya kecenderungan orang untuk berupaya mencari cara instan agar bisa “luks”, salah satunya dengan korupsi.

Setelah saya menyampaikan analisis saya, kawan Idho dari WALHI pun masuk dan menyampaikan, bahwa persoalan korupsi juga penting tapi dalam diskusi ini kajian kita harus lebih mendalam dan mengakar, “sekarang saya ingin tanyakan ke kawan-kawan, pilih mana, sekedar memukul daun atau memukul sekalian dengan batangnya” ramai-ramai kami pun menjawab memukul batangnya, yang dimaksudkan oleh Idho adalah dalam kasus korupsi, kita tidak harus menyentuh oknum tapi sistem yang melahirkan dan menguatkannya.

Sesuai kesepakatan, keesokan harinya (hari ini ketika tulisan ini dibuat) akan diselenggarakan setingan aksi, lagi dan lagi… hufh… menunggu lagi. Untungnya hari ini, banyak kawan-kawan yang ngumpul di serambi depan rumah (Basecamp Gerpolek). “kenalilah tiga setan, setan penindas rakyat” lirik tembang milik KEPAL SPI ini menghiasi forum non formal kami. Dipandu kawan Sham dari PEMBEBASAN dengan memainkan jari jemarinya—yang tampak kasar dan tebal—pada sebuah gitar usang, kami pun hanyut dalam banyak tembang juang yang didendangkan (mulai dari genre Balada sampai Reagge). Tembang-tembang juang ini mengisi waktu luang kami, menanti kawan-kawan pelaku jam karet. Diantara semua tembang-tembang yang ada, “satukanlah dirimu semua, seluruh rakyat senasib serasa, susah senang dirasa sama, bangun… bangunlah segera…”, sempat membuat saya termangu dalam ilusi, menurut saya tembang ini yang paling tepat tuk’ menggambarkan kondisi objektif gerakan yang ada di Maluku Utara, sentiment gerakan yang tercermin dalam fanatisme organisasi dan bendera, sangat berdampak pada perpecahan dan perang ideology serta garis politik.

Setelah banyak tembang yang dinyanyikan secara berafiliasi antar kawan-kawan yang ada, aku “dipaksa” untuk mendendangkan “Donna… Donna…” sebagai penutup semua tembang. Akhirnya kulantunkan dengan kepekaan yang senantiasa terjaga, kepalan tinju yang tak letih menancap ke langit, keletihan berkobar di sepanjang jalan revolusi, kegemaran berlesehan dengan kaum dhuafa serta kerinduan akan revolusi di esok hari.

Karena hidup adalah pilihan, mencari kenyamanan ataukah kebebasan. Kau tak akan bisa hidup dengan kedua-duanya—begitu petuah sang Comandante. Dan saya sedang mencoba dan berupaya hidup dengan kebebasan, walaupun godaan kenyamanan hidup mewah masih senantiasa mengganggu malam-malam saya, namun inilah pilihan atas hidup, yang tak letih mengajarkan kami.

“ayo, kawan-kawan, masuk ke ruangan, setingan akan dimulai” begitu sapa seorang kawan yang mengganggu aktivitas “manggung” kami. Setingan aksi akhirnya dibuka pada pukul 16.20 WIT—telat lebih dari 3 jam dari yang disepakati pukul 13.00 WIT. Dari hasil setingan, saya terpilih menjadi Koordinator Lapangan (Korlap) dengan isu central aksi “TOLAK RUU KAMNAS+ORMAS, TUNTASKAN KASUS-KASUS KORUPSI DAN PELANGGARAN HAM”. Setingan aksi akhirnya saya tutup dengan kesepakatan jam 10 pagi aksi dimulai esok harinya.