SOLIDARITAS GANE BERLAWAN!
“Karena Torang Makan
Sagu, Bukan Sawit!”
Raung boulduzer memecah gendang telinga,
membangunkan para petani dan nelayan yang tengah lelap, menggusur kelapa dotu-dotu. Racun
pestisida memaksa gantikan aroma cengkeh dan pala. Lalu jerit kelaparan
penduduk membayangi seisi negeri. Inilah kisah dibalik ideologi pembangunan
yang digembar-gemborkan sebagai syarat menjadi ‘maju dan modern’. Alih fungsi
kawasan hutan, lahan pertanian tradisional dan pesisir pantai untuk investasi
ekstraksi pertambangan dan perkebunan skala massiv diwarnai pekik tangisan
warga lokal.
Konflik perampasan ruang hidup pun tak pelak
terjadi. Dimana-dimana, dari hutan barat hingga laut timur Indonesia. Semoga
kita tidak lupa, bahwa pada 2004 warga Buyat Pante-Sulawesi Utara terusir dari
ruang hidupnya akibat dugaan pencemaran limbah beracun ke Teluk Buyat oleh PT.
Newmont Minahasa Raya. Tak sedikit yang menjadi korban: gatal-gatal, lumpuh
hingga tewasnya Andini, balita usia delapan bulan. Atau tengok bagaimana
penembakan terhadap warga oleh aparat negara, yang mengamankan investasi keruk
emas di Bima-NTB dan perkebunan sawit di Mesuji pada periode 2011. Dan yang
paling anyar adalah kriminalisasi terhadap Eva Bande, aktivis agraria bersama
beberapa petani Luwuk-Sulawesi Tengah yang melawan praktek perampasan tanah
untuk kepentingan perkebunan kelapa sawit. Serta tak lupa perjuangan warga
Rembang yang melawan korporasi PT. Semen Indonesia, juga warga Karawang yang
dipaksa-gusur oleh korporasi perumahan elit Agung Padomoro Group, atau warga
Pandang Raya-Makassar yang akhirnya bertahan di tenda-tenda perjuangan setelah
tergusur negara.
Politik perampasan ruang hidup warga untuk
kepentingan investasi ekstraksi tambang dan sawit semakin merajalela. Dari
Sumatera hingga Papua, warga ‘dipaksa’ melepas tanah sebagai warisan bagi
generasi, untuk industri keruk perusak lingkungan. Negara sebagai kekuatan
pemaksa, melalui aparatur pemerintahan bertindak dengan kekuasaan politiknya
untuk mendukung penuh kepentingan akumulasi modal-modal besar dan massiv
tersebut.
Atas nama penyeragaman pembangunan dan ‘mengejar
ketertinggalan kemajuan’, kampung-kampung yang dipandang ‘tertinggal’ kemudian
dipaksa-sentuh oleh korporasi. Pembangunan infrastruktur besar-besaran bermotif
koridor ekonomi yang termaktub dalam proyek bernama Masterplain Percepatan
Pembangunan dan perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI), lalu dicanangkan guna
memudahkan laju arus keluar-masuk barang dan jasa kapital.
Nusantara Kecil itu Bernama Maluku Utara
Pada Januari 2004, peluru panas tepat mengenai
jidat Rusli Tungkapi diarahkan oleh serdadu negara. Rusli ditembak saat
melakukan aksi pendudukan bukit Toguraci-Teluk Kao, memprotes dan melawan
korporasi asing (PT. NHM) bersama ribuan warga lainnya. Tidak hanya itu,
penyakit kulit menyerang warga lingkar konsesi tambang ini, Husni (10 bulan)
segera dilarikan ke RSU Chasan Boesoiri-Ternate dari Tabobo-Malifut karena
pendarahan hebat di kepala. Belum cukup, warga Desa Tabobo harus beralih
profesi dari pembuat terasi menjadi penambang dan pemecah batu. Warga Teluk Kao
bahkan tiap hari harus merogoh rupiah untuk membeli ikan. Ikan teri serta udang
halus yang dulunya melimpah di sana kini merosot turun.
Penembakan warga Gebe-Halmahera Tengah yang
melakukan aksi protes terhadap PT. ANTAM di tahun 2010; Kriminalisasi terhadap
10 warga Weda-Halmahera Tengah saat menentang PHK sepihak PT. WBN (2011); dan
intimidasi serta penciptaan ruang konflik antar warga (pro-kontra) di
Wasilei-Halmahera Timur dan Patani-Halmahera Tengah oleh korporasi sawit pada
2014.
Warga dipaksa menjual tanah yang ditanami pala,
cengkeh, kelapa, coklat, sagu, kasbi, dan pisang
oleh negara dan korporasi. Melalui ijin yang dikeluarkan bupati, walikota,
gubernur hingga presiden, angkatan bersenjata yang dibekengi oleh para pemodal
merasa berhak menembaki setiap suara perlawanan. Tanah leluhur yang sudah
menghidupi mereka jauh sebelum negara ini ada dirampas tanpa permisi.
Bisakah mereka makan sawit, emas, nikel? Tidak.
Semua itu untuk memenuhi permintaan pasar global, kebutuhan orang-orang
berduit, bukan untuk perut warga yang melilit lapar. Sawit misalnya, diperuntukkan
bagi pemenuhan permintaan pasar agrofuel/biodiesel.
Krisis energi yang sedang melanda dunia hari ini akibat dari borosnya korporasi
industri memaksa mereka harus mencari energi terbarukan guna mengendalikan
stabilitas kerja sistem kapitalisme ini. Selain itu, fenomena pemanasan global
yang diakibatkan oleh maraknya korporasi industri tadi, mendorong mereka untuk
‘pura-pura’ mencari energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Minyak
nabati yang salah satunya dihasilkan oleh kelapa sawit inilah yang kemudian
diperkenalkan. Anehnya, perkebunan kelapa sawit justru paling banyak merusak
hutan sebagai penyerap karbon. Tentu saja deforestasi dan degradasi hutan ini
juga menjadi salah satu penyebab lain dari pemanasan global.
Warga Gane: Melawan Perkebunan Besar, Menanam
Tanaman Bulanan
Sejak tahun 2011, PT. Gelora Mandiri Membangun,
sebuah perusahaan sawit skala besar yang mengantongi Ijin Pelepasan kawasan
(IPK) menancapkan alat beratnya di atas Bumi Gane. Tanpa sosialisasi ke warga,
perusahaan yang wilayah konsesinya kemudian dijual ke PT. Korindo itu melakukan
praktek penggusuran hutan, juga kebun milik warga, baik yang pro dan telah
mendapat ‘ganti rugi’ maupun terhadap kebun warga yang menolak investasi
‘perbudakan’ tersebut. Dengan ijin luas konsesi 11.009 ha versi AMDAL, warga
pesisir yang umumnya adalah petani kebun kelapa, cengkeh dan pala kemudian
dipaksa menjadi buruh sawit bagi perusahaan.
Warga Gane Barat menceritakan bagaimana hadirnya
korporasi sawit ini kemudian memecah belah solidaritas dan persaudaraan antar
mereka. Warga kampung tersebut lalu terpolarisasi dalam dua blog sentiment, pro
dan kontra. Tidak cukup dengan strategi menciptakan ruang konflik antar warga.
Pada tahun 2013, korporasi ini juga menggunakan kekuatan serdadu negara untuk
mengkriminalisasi 13 warga yang melakukan aksi blokade jalan loging sebagai
bentuk perjuangan menjaga ruang hidup. Warga yang ditangkap dan ditahan selama
kurang lebih tiga bulan ini lalu diproses hingga ke pengadilan dan dinyatakan
tidak bersalah alias bebas demi hukum.
Lalu pada November 2014, dua warga Desa Gane Luar
dijemput paksa oleh anggota polisi dari Polres Halmahera Selatan. Satu diantara
dua warga ini adalah anak berusia 15 tahun. Dia dipukul serta diintimidasi saat
dibawa dengan mobil milik PT. Korindo yang digunakan aparat kepolisian
tersebut. Dia juga dipaksa untuk membuat pengakuan mengenali pelaku peristiwa
seorang buruh perusahaan yang diduga dicederai saat menebang kayu di hutan.
Keduanya ditemukan di Ufa, lokasi perkebunan warga Gane Luar saat sedang
mencari sapi. Mereka lalu dibawa ke basecamp PT. Korindo dan kemudian
diinterogasi secara terpisah. Menurut keterangan keluarga, sebelumnya mereka
tidak mengetahui anak-anaknya dibawa polisi. Mereka baru tahu belakangan
setelah korban tidak pulang hingga larut malam dan mendengar cerita
‘penculikan’ itu dari warga lain.
Dihadapkan pada situasi kekhawatiran akan rentannya
lahan garapan mereka tergusur perusahaan yang mengklaim bertindak atas dasar
IPK tersebut, membuat warga ke kebun selain untuk membersihkan, memetik hasil,
mengawasi hama, juga untuk berjaga-jaga mengamankan lahan dari deru eksavator.
Dimana kebun mereka sementara dihadapkan pada laju perluasan persemaian bibit
kelapa sawit PT. Korindo, yang kini bergegas mencapai target luasan konsesi
demi mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dari situ lahirlah inisiatif membentuk kelompok dengan membagi tugas secara
longgar guna melakukan pemantauan lokasi dimana aktifitas alat berat
berlangsung.
Namun upaya yang dilakukan warga berbalas kejahatan
oleh koorporatokrasi. Pada 07 Januari 2015 di Desa Gane Dalam terjadi adu mulut
antara warga dengan pihak kepolisian Halmahera Selatan yang bertugas
mengamankan perusahaan. Kejadian berlangsung di lokasi kebun jurame milik salah
satu warga di lokasi yang bernama Malalo. Pihak perusahaan mengklaim lokasi
kebun jurami tersebut merupakan hutan, bukan kebun sehingga akan digusur untuk
perluasan konsesi sawit. Warga pemilik kebun lantas menolak klaim tersebut.
Setelah adu mulut, seorang oknum polisi langsung mengeluarkan senpi dan
melepaskan tembakan ke udara. Warga bukannya takut justru semakin berani karena
mereka benar, mereka mempertahankan lahan, ruang hidup, tanah moyangnya,
warisan bagi generasinya.
Walaupun akhirnya penggusuran dihentikan, namun
tentu saja Warga Gane setiap saat dihantui perasaan was-was, dimana kapan saja
ketika mereka jengah, ruang hidup mereka akan tergusur oleh raung boulduzer
korporasi. Karena peristiwa semacam itu tidak dialami warga satu-dua kali,
melainkan berulang kali.
Mari Bersolidaritas, Karena Solidaritas adalah
Ancaman Bagi Tatanan!
Selain merampas ruang kelola warga, investasi
perkebunan sawit di Kecamatan Gane Barat Selatan dan Gane Timur Selatan, ketika
tetap dilaksanakan akan mengakibatkan kehancuran tatanan sistem perlindungan
ekologi. Baik itu terhadap daerah serapan air, sumber mata air, maupun kawasan
mangrove yang terancam hilang. Akibatnya ruang sumber pemenuhan hak dasar untuk
menopang kebutuhan ekonomi masyarakat akan musnah, baik daratan maupun pesisir
laut.
Posisi kampung pulau yang terisolir dari akses
teknologi dan media ini, bardampak pada kurang meluasnya informasi terkait
intimidasi yang diterima warga serta kabar perjuangan yang terus berkobar.
Hingga saat ini, mereka terus meminta dukungan dan solidaritas dari siapa pun
untuk menguatkan perjuangannya. Perjuangan untuk mempertahankan warisan bagi
generasi.
Perlawanan Warga Gane atas rakusnya company sawit
adalah preseden bagi perjuangan melawan politik perampasan ruang yang dilakukan
oleh negara dan korporasi. Mereka masih teguh berjuang ditengah gempuran modal
dan ancaman lars juga senjata serdadu, serta masih sedikitnya solidaritas
terhadap perjuangan mereka. Tapi kita harus belajar dari mereka, bagaimana
perlawanan itu menjadi tindakan paling mulia dan keberanian adalah satu-satunya
harga diri yang tak boleh direbut, dengan rupiah atau nyawa sekalipun.
Dari rentetan serangan negara dan korporasi
terhadap Warga Gane di atas, maka kami berinisasi membangun gerakan #SaveGane
dengan nama Solidaritas Gane Berlawan! Melalui media ini, kami lalu menyerukan
kepada setiap individu, organisasi ataupun lembaga sosial yang peduli terhadap
kemanusiaan untuk sama-sama bersolidaritas terhadap perjuangan Warga Gane, yang
hingga saat ini masih berjuang mempertahankan tanah dan lahan garapan serta
melestarikan lingkungan milik generasi. Tak peduli apapun ideology dan garis
politikmu, karena warga hanya butuh solidaritasmu.
Bersolidaritas untuk Perjuangan Warga Gane sama
artinya menolong generasi dari ancaman krisis air dan kerusakan ekologi; sama
dengan menjaga wasiat leluhur bahwa “Orang Punya Orang Punya, Torang Punya
Torang Punya”. Maka mari galangkan solidaritasmu, kawan. Lawan kejahatan negara
dan korporasi. Galang solidaritasmu dalam bentuk apapun dan sekecil apapun,
karena solidaritas adalah ancaman bagi tatanan, karena Warga Gane akan semakin
teguh berjuang ketika menyaksikan dukungan solidaritasmu. Mari bersolidaritas
dan serukan bersama:
“SELAMATKAN GANE: USIR COMPANY PT.
KORINDO DARI TANAH dan TELUK GANE”
“Kami menginginkan agar perusahaan angkat kaki dari
pesisir Gane karena kami tidak butuh perusahaan, yang kami butuh perkebunan
kelapa, cengkeh, dan pala. Karena hasil perkebunan ini yang menghidupi kami
sampai generasi selanjutnya.” Warga Gane.
#SaveGane #SaveTheSmallIsland