Tuthy Feminisosialistha

Minggu, 16 Maret 2014

TATA RUANG DALAM PERSPEKTIF RUANG KELOLA RAKYAT



Seyogyanya, tata ruang merupakan upaya mengatur dan mengelola ruang wilayah dengan tiga jaminan yakni pertama, dalam menata ruang harus bisa menjamin warganya aman dan nyaman, inilah hal yang paling utama. Kedua, harus menjamin warga bisa produktif, kalau tidak produktif berarti ada kesalahan dalam penataan ruang, dan ketiga harus bisa menjamin kelangsungan pelayanan ekologis atau berwawasan lingkungan.

Namun di Indonesia, tata ruang justru menjadi salah satu pemicu lahirnya konflik antara warga, pemerintah dan perusahaan. Logika pembangunan untuk peningkatan ekonomi makro dalam kacamata bursa oleh pemerintah inilah yang melahirkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tidak banyak melibatkan peran serta warga, menyebabkan penataan dan pengelolaan ruang justru melahirkan pemiskinan struktural, dimana sebagian besar warga tempatan harus kehilangan ruang kelola hidupnya, serta kerusakan lingkungan yang cukup kronis.

Perampasan Ruang Kelola Warga

Maraknya investasi ekstraksi skala besar yang berkepentingan terhadap sumberdaya negeri ini, mendorong RTRW yang dilahirkan oleh pemerintah tidak lagi berangkat dari logika penataan dan pembangunan berbasis produktifitas, melainkan sebaliknya, pembangunan berbasis penggusuran.

Berbagai konflik agraria yang terjadi dalam satu dekade terakhir dapat menjadi fakta konkrit. Adanya kekuatan koorporatokrasi dalam konflik agraria ini, mendorong penanganannya justru melibatkan militer. Polisi dan tentara dibayar oleh perusahaan untuk mengamankan akumulasi modalnya. Tidak penting warga kehilangan tanah, ekplorasi dan eksploitasi yang bias ekologi atau kemiskinan yang mewabah. Para aparat negara ini, justru menjadi yang terdepan dalam menghadapi serangan perlawanan warga demi kepentingan penumpukan kekayaan perusahaan-perusahaan “raksasa” tersebut.

Di beberapa wilayah, kejahatan HAM kerap terjadi, diantaranya kasus Tiaka, Bima, Mesuji, Kao, Weda, Buyat, Papua dan masih banyak lagi. Kriminalisasi, penembakan, penculikan, kekerasan seksual atau pembunuhan terhadap para aktivis warga yang melawan kejahatan koorporatokrasi ini, tidak lagi asing ditelinga, bahkan menjadi tontonan hampir setiap hari di berbagai media massa.

Tidak hanya konflik, perampasan sumber-sumber penghidupan warga di hampir seluruh wilayah ini, juga melahirkan peningkatan angka kemiskinan, pengangguran dan urbanisasi. Ketidakmampuan melawan kekuatan besar ini, mengharuskan warga tempatan harus beralih profesi dari petani atau nelayan menjadi buruh—menjual tenaga dan jam kerja mereka—di perusahaan, atau menjadi urban ke kota dengan tidak memiliki jaminan mendapatkan pekerjaan yang aman dan nyaman.

Kerusakan ekologi

Fenomena pemanasan global yang berdampak pada perubahan cuaca ekstrim saat ini, ternyata tidak cukup menjadi alasan bagi para penimbun dollar untuk berhenti atau paling tidak mengurangi mengeruk dan menghancurkan bumi. Lihat saja bagaimana negara-negara annex 1, justru semakin gencar menancapkan kukunya ke negara-negara dunia ketiga yang masih kaya akan sumberdaya.

Indonesia untuk saat ini misalnya, program Masterplain Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia akan menjadi sarana penghancuran bumi semakin cepat. Investasi ekstraksi seperti pertambangan dan perkebunan pun akan semakin banyak, sementara hutan dan sumber air akan semakin sedikit dan semakin sulit diakses warga tempatan.

Beberapa pengalaman kerusakan ekologi yang dihasilkan dari investasi ekstraksi, seperti tragedi teluk buyat yang tercemari merkuri (hg) akibat limbah Newmont Minahasa Raya, harusnya dapat menjadikan negara lebih peka terhadap kondisi lingkungan, bukan malah sebaliknya.

Konversi hutan untuk kepentingan pertambangan dan perkebunan skala massiv justru dijadikan pemerintah daerah sebagai leading sector untuk peningkatan PAD. Padahal beberapa penelitian sudah merekomendasikan agar dilakukan moratorium izin pertambangan, sebab daya dukung lingkungan sudah sangat memprihatinkan.

Penghancuran kawasan hutan ini telah terbukti memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pelepasan emisi karbon. IPCC menyebutkan emisi karbon dari deforestasi hutan tropis, pada tahun1990-an adalah 1,6 miliar ton karbon setiap tahunnya. Jika merunut pada program 1 miliar pohon tiap tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, maka butuh 165 tahun untuk mengembalikan hutan Indonesia, sebab sampai 2011 terdapat 165 miliar pohon yang hilang dan rusak. Sementara disisi lain, obral perizinan terhadap aktivitas alih fungsi hutan oleh koorporasi perkebunan dan pertambangan skala massif terus saja mengalir baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah.

Perempuan

Selain sektor petani dan nelayan yang mendapatkan dampak kehilangan akses terhadap ruang kelola, perempuan juga menjadi sektor yang paling rentan dalam kasus ini.

Budaya masyarakat Indonesia yang masih patriarkis, mendorong perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap sumber-sumber penghidupan. Kalaupun diberikan, perempuan hanya memiliki akses tanpa kontrol, dengan tujuan semata-mata untuk membantu perekonomian keluarga, bukan untuk meningkatan produktifitasnya sebagai manusia. Sehingga, jam kerja yang dibebankan kepadanya pun semakin bertambah dan lebih banyak dari pada laki-laki (double bourding).

Ketika investasi padat modal mulai gencar menggerayangi perkampungan dan perkebunan warga dengan alat-alat berat, perempuan pun ikut bersama warga lainnya, sama-sama kehilangan akses ruang kelola. Namun perempuan sering menjadi korban ganda, karena area reproduksinya yang sangat rentan sehingga sangat berpotensi mendapatkan penyakit-penyakit seperti kanker payudara, uterus atau serviks jika memiliki kontak langsung dengan logam berat (merkuri dan/atau sianida). Padahal aktivitas domestik perempuan desa umumnya berada di sungai, seperti mandi dan mencuci. Sementara banyak perusahaan-perusahaan tambang, yang justru melakukan pembuangan limbah melalui aliran sungai-sungai tersebut.

Dampak lainnya, perempuan yang kehilangan akses kelola ini, harus mencari pekerjaan alternatif guna memenuhi kebutuhan anak-anak dan keluarganya. Banyak perusahaan tambang tidak membutuhkan tenaga kerja perempuan, karena aktivitas kerja yang keras. Seringkali perempuan harus memilih menjadi office girl perusahaan. Jika tidak, maka menjadi urban atau migran adalah pilihan yang jauh lebih baik—dari segi upah—dengan kerentanan kerja yang lebih tinggi, dimana tak ada jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

Mendorong Tata Ruang Menjadi Kekuatan Rakyat

Mari belajar dari warga, bagaimana mereka mengelola tanah sebagai ruang kelola yang produktif bagi keberlanjutan hidup tanpa merusak alam. Hanya kebun, hutan dan laut, warga dapat bertahan hidup—dengan hasil sandang dan pangan yang cukup tapi tidak berlebih—bukan emas atau nikel, hanya tanah menjadi modal. Tidak ada kemiskinan, apalagi pengangguran.

Namun pengetahuan tradisional warga dalam mengelola sumberdaya alam ini, harus dibentengi dengan kemajuan pengetahuan kekinian yang lebih. Ditengah maraknya investasi padat modal yang menggunakan metode konflik dan perijinan. Dimana para militer dipersenjai untuk menembaki warganya sendiri. Maka warga harus diajarkan bagaimana mempersenjatai diri dengan pengetahuan yang dimiliki, agar tidak lagi menjadi korban keberingasan koorporatokrasi.

Pengetahuan mengelola tanah ini, harus dibarengi dengan pengetahuan memetakan dan menata ruang kelola agar lebih aman dan produktif kedepannya. Jika selama ini, RTRW yang ditawarkan pemerintah tidak pernah melibatkan warga, maka haruslah ada alternatif pemetaan yang lebih partisipatif terhadap warga. Dimana warga memiliki kesempatan untuk menjadi pioner dalam pemetaan ruang disekitarnya.

Selain itu, pemetaan ruang yang partisipatif ini juga dapat menjadi alternatif pembanding terhadap RTRW pemerintah yang masih bias daratan. Mengingat sebagian besar wilayah Indonesia adalah kepulauan, dimana terdapat beberapa wilayah (Sunda Kecil-Maluku) yang merupakan wilayah dengan luas laut lebih besar dibanding darat.

Pemetaan partisipatif ini tentunya dapat menjadi kekuatan bagi warga, ketika akan terjadi perampasan atas ruang kelola dan sumber-sumber penghidupan mereka oleh koorporatokrasi. Warga juga jauh lebih mengerti hasilnya, mengingat warga berpartisipasi penuh dalam proses merumuskan tata ruang tersebut.

Yang paling penting juga, pelibatan perempuan dalam pemetaan ruang kelola mereka juga harus dikembangkan. Karena umumnya, perempuan justru yang paling besar menjadi korban karena ketidaktahuan tentang ruang kelolanya selama ini, akibat kontrol terhadap akses yang tidak pernah diberikan kepadanya.

Akhirnya, tata ruang yang baik dan partisipatif adalah menempatkan warga sebagai perumus, tidak bias daratan, tidak bias gender, tidak pro investasi padat modal dan tentunya tidak merusak bumi sebagaimana bumi telah memberikan kita ruang untuk hidup dan berketurunan.