Seyogyanya,
tata ruang merupakan upaya mengatur dan mengelola ruang wilayah dengan tiga
jaminan yakni pertama, dalam menata ruang harus bisa menjamin warganya aman dan nyaman, inilah
hal yang paling utama. Kedua, harus menjamin warga bisa produktif, kalau tidak
produktif berarti ada kesalahan dalam penataan ruang, dan ketiga harus bisa
menjamin kelangsungan pelayanan ekologis atau berwawasan lingkungan.
Namun di
Indonesia, tata ruang justru menjadi salah satu pemicu lahirnya konflik antara
warga, pemerintah dan perusahaan. Logika pembangunan untuk peningkatan ekonomi
makro dalam kacamata bursa oleh pemerintah inilah yang melahirkan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) yang tidak banyak melibatkan peran serta warga,
menyebabkan penataan dan pengelolaan ruang justru melahirkan pemiskinan
struktural, dimana sebagian besar warga tempatan harus kehilangan ruang kelola
hidupnya, serta kerusakan lingkungan yang cukup kronis.
Perampasan Ruang Kelola Warga
Maraknya
investasi ekstraksi skala besar yang berkepentingan terhadap sumberdaya negeri
ini, mendorong RTRW yang dilahirkan oleh pemerintah tidak lagi berangkat dari
logika penataan dan pembangunan berbasis produktifitas, melainkan sebaliknya,
pembangunan berbasis penggusuran.
Berbagai
konflik agraria yang terjadi dalam satu dekade terakhir dapat menjadi fakta
konkrit. Adanya kekuatan koorporatokrasi dalam konflik agraria ini, mendorong
penanganannya justru melibatkan militer. Polisi dan tentara dibayar oleh
perusahaan untuk mengamankan akumulasi modalnya. Tidak penting warga kehilangan
tanah, ekplorasi dan eksploitasi yang bias ekologi atau kemiskinan yang
mewabah. Para aparat negara ini, justru menjadi yang terdepan dalam menghadapi
serangan perlawanan warga demi kepentingan penumpukan kekayaan
perusahaan-perusahaan “raksasa” tersebut.
Di beberapa
wilayah, kejahatan HAM kerap terjadi, diantaranya kasus Tiaka, Bima, Mesuji,
Kao, Weda, Buyat, Papua dan masih banyak lagi. Kriminalisasi, penembakan,
penculikan, kekerasan seksual atau pembunuhan terhadap para aktivis warga yang
melawan kejahatan koorporatokrasi ini, tidak lagi asing ditelinga, bahkan
menjadi tontonan hampir setiap hari di berbagai media massa.
Tidak hanya
konflik, perampasan sumber-sumber penghidupan warga di hampir seluruh wilayah
ini, juga melahirkan peningkatan angka kemiskinan, pengangguran dan urbanisasi.
Ketidakmampuan melawan kekuatan besar ini, mengharuskan warga tempatan harus
beralih profesi dari petani atau nelayan menjadi buruh—menjual tenaga dan jam
kerja mereka—di perusahaan, atau menjadi urban ke kota dengan tidak memiliki
jaminan mendapatkan pekerjaan yang aman dan nyaman.
Kerusakan ekologi
Fenomena
pemanasan global yang berdampak pada perubahan cuaca ekstrim saat ini, ternyata
tidak cukup menjadi alasan bagi para penimbun dollar untuk berhenti atau paling tidak mengurangi mengeruk dan
menghancurkan bumi. Lihat saja bagaimana negara-negara annex 1, justru semakin
gencar menancapkan kukunya ke negara-negara dunia ketiga yang masih kaya akan
sumberdaya.
Indonesia
untuk saat ini misalnya, program Masterplain Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia akan menjadi sarana penghancuran bumi semakin cepat. Investasi
ekstraksi seperti pertambangan dan perkebunan pun akan semakin banyak,
sementara hutan dan sumber air akan semakin sedikit dan semakin sulit diakses
warga tempatan.
Beberapa
pengalaman kerusakan ekologi yang dihasilkan dari investasi ekstraksi, seperti
tragedi teluk buyat yang tercemari merkuri (hg) akibat limbah Newmont Minahasa
Raya, harusnya dapat menjadikan negara lebih peka terhadap kondisi lingkungan,
bukan malah sebaliknya.
Konversi hutan untuk kepentingan
pertambangan dan perkebunan skala massiv
justru dijadikan pemerintah daerah sebagai leading
sector untuk
peningkatan PAD. Padahal beberapa penelitian sudah merekomendasikan agar dilakukan
moratorium izin pertambangan, sebab daya dukung lingkungan sudah sangat
memprihatinkan.
Penghancuran
kawasan hutan ini telah terbukti memberikan kontribusi yang cukup signifikan
terhadap pelepasan emisi
karbon.
IPCC menyebutkan emisi karbon dari deforestasi hutan tropis, pada tahun1990-an
adalah 1,6 miliar ton karbon setiap tahunnya. Jika merunut pada program 1
miliar pohon tiap tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, maka butuh 165 tahun
untuk mengembalikan hutan Indonesia, sebab sampai 2011 terdapat 165 miliar
pohon yang hilang dan rusak. Sementara disisi lain, obral perizinan terhadap
aktivitas alih fungsi hutan oleh koorporasi perkebunan dan pertambangan skala
massif terus saja mengalir baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah.
Perempuan
Selain
sektor petani dan nelayan yang mendapatkan dampak kehilangan akses terhadap
ruang kelola, perempuan juga menjadi sektor yang paling rentan dalam kasus ini.
Budaya
masyarakat Indonesia yang masih patriarkis, mendorong perempuan tidak memiliki
akses dan kontrol terhadap sumber-sumber penghidupan. Kalaupun diberikan, perempuan
hanya memiliki akses tanpa kontrol, dengan tujuan semata-mata untuk membantu
perekonomian keluarga, bukan untuk meningkatan produktifitasnya sebagai
manusia. Sehingga, jam kerja yang dibebankan kepadanya pun semakin bertambah
dan lebih banyak dari pada laki-laki (double
bourding).
Ketika
investasi padat modal mulai gencar menggerayangi perkampungan dan perkebunan
warga dengan alat-alat berat, perempuan pun ikut bersama warga lainnya,
sama-sama kehilangan akses ruang kelola. Namun perempuan sering menjadi korban
ganda, karena area reproduksinya yang sangat rentan sehingga sangat berpotensi
mendapatkan penyakit-penyakit seperti kanker payudara, uterus atau serviks jika
memiliki kontak langsung dengan logam berat (merkuri dan/atau sianida). Padahal
aktivitas domestik perempuan desa umumnya berada di sungai, seperti mandi dan
mencuci. Sementara banyak perusahaan-perusahaan tambang, yang justru melakukan
pembuangan limbah melalui aliran sungai-sungai tersebut.
Dampak
lainnya, perempuan yang kehilangan akses kelola ini, harus mencari pekerjaan
alternatif guna memenuhi kebutuhan anak-anak dan keluarganya. Banyak perusahaan
tambang tidak membutuhkan tenaga kerja perempuan, karena aktivitas kerja yang
keras. Seringkali perempuan harus memilih menjadi office girl perusahaan. Jika tidak, maka menjadi urban atau migran
adalah pilihan yang jauh lebih baik—dari segi upah—dengan kerentanan kerja yang
lebih tinggi, dimana tak ada jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.
Mendorong Tata Ruang Menjadi
Kekuatan Rakyat
Mari
belajar dari warga, bagaimana mereka mengelola tanah sebagai ruang kelola yang
produktif bagi keberlanjutan hidup tanpa merusak alam. Hanya kebun, hutan dan
laut, warga dapat bertahan hidup—dengan hasil sandang dan pangan yang cukup
tapi tidak berlebih—bukan emas atau nikel, hanya tanah menjadi modal. Tidak ada
kemiskinan, apalagi pengangguran.
Namun
pengetahuan tradisional warga dalam mengelola sumberdaya alam ini, harus
dibentengi dengan kemajuan pengetahuan kekinian yang lebih. Ditengah maraknya investasi
padat modal yang menggunakan metode konflik dan perijinan. Dimana para militer
dipersenjai untuk menembaki warganya sendiri. Maka warga harus diajarkan
bagaimana mempersenjatai diri dengan pengetahuan yang dimiliki, agar tidak lagi
menjadi korban keberingasan koorporatokrasi.
Pengetahuan
mengelola tanah ini, harus dibarengi dengan pengetahuan memetakan dan menata
ruang kelola agar lebih aman dan produktif kedepannya. Jika selama ini, RTRW
yang ditawarkan pemerintah tidak pernah melibatkan warga, maka haruslah ada
alternatif pemetaan yang lebih partisipatif terhadap warga. Dimana warga
memiliki kesempatan untuk menjadi pioner
dalam pemetaan ruang disekitarnya.
Selain
itu, pemetaan ruang yang partisipatif ini juga dapat menjadi alternatif
pembanding terhadap RTRW pemerintah yang masih bias daratan. Mengingat sebagian
besar wilayah Indonesia adalah kepulauan, dimana terdapat beberapa wilayah
(Sunda Kecil-Maluku) yang merupakan wilayah dengan luas laut lebih besar
dibanding darat.
Pemetaan
partisipatif ini tentunya dapat menjadi kekuatan bagi warga, ketika akan
terjadi perampasan atas ruang kelola dan sumber-sumber penghidupan mereka oleh
koorporatokrasi. Warga juga jauh lebih mengerti hasilnya, mengingat warga
berpartisipasi penuh dalam proses merumuskan tata ruang tersebut.
Yang
paling penting juga, pelibatan perempuan dalam pemetaan ruang kelola mereka
juga harus dikembangkan. Karena umumnya, perempuan justru yang paling besar
menjadi korban karena ketidaktahuan tentang ruang kelolanya selama ini, akibat
kontrol terhadap akses yang tidak pernah diberikan kepadanya.
Akhirnya,
tata ruang yang baik dan partisipatif adalah menempatkan warga sebagai perumus,
tidak bias daratan, tidak bias gender, tidak pro investasi padat modal dan
tentunya tidak merusak bumi sebagaimana bumi telah memberikan kita ruang untuk hidup
dan berketurunan.