Tuthy Feminisosialistha

Jumat, 20 Desember 2013

“Refleksi 15 Tahun Reformasi; Tolak RUU KAMNAS dan ORMAS, Pemasung Demokrasi!”


Gerakan Mahasiswa Indonesia yang bangkit kembali pada 1980-an dan 1990-an, bukan merupakan suatu hal yang aneh, bila kita melihat landasan material sistem ekonomi politik Orde Baru
yang dijalankan saat itu. Gerakan mahasiswa yang muncul kemudian, seperti menentang represifitas dan kesewenang-wenangan yang ada dalam kampus dan masyarakat, merupakan pembuktian, bahwa gerakan mahasiswa mempunyai tujuan bagi terciptanya ruang demokrasi di negara ini. Gerakan mahasiswa mulai menyadari, bahwa tugas tersebut merupakan suatu usaha sadar untuk merekonstruksi dan mentransformasikan kehidupan sosial.

Gerakan Rakyat dan Mahasiswa 1998—Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran.
            
Keberhasilan gerakan rakyat dan mahasiswa pada 21 Mei 1998—lahirnya reformasi—memperkenalkan pada kita, suatu cerminan tentang pentingnya mempersatukan kekuatan-kekuatan rakyat dan mahasiswa—sekalipun hanya bersifat mobilisir. Keberhasilan yang melahirkan ruang demokrasi ini, membuka pintu bagi lahir dan menjamurnya organisasi massa di berbagai sektor-sektor kerakyatan seperti buruh, tani, kaum miskin kota, seniman, perempuan dan mahasiswa. Setelah sebelumnya kekuatan-kekuatan ini pernah massiv, lalu diberangus pada massa Orde Baru (1965-67). Kesadaran untuk mengorganisasikan diri adalah kemajuan yang patut untuk diperhitungkan. Walau demikian, kita juga tak patut hanya bereuforia dengan semua kemenangan tersebut. Karena terdapat kelemahan-kelemahan dari gerakan 1998, yang patut untuk dianalisis dan diperbaharui dalam membangun kekuatan gerakan kedepan.
            
Menjamurnya berbagai organisasi massa di Indonesia pasca reformasi adalah suatu kemajuan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Namun, organisasi yang semakin banyak ini—yang harusnya menjadi kekuatan—justru semakin mengkerdilkan gerakan rakyat dan mahasiswa dalam perspektif sektarianisme. Tak ada persatuan kekuatan dan gerakan yang bersifat massiv, kuat dan berkelanjutan (strategis), yang ada hanya persatuan-persatuan gerakan yang bersifat momentum dan taktis. Sentiment gerakan antar tiap organisasi adalah hal yang paling harus diberangus saat ini.

RUU KAMNAS dan ORMAS—Ancaman Bagi Demokrasi Indonesia.
            
Selain kegagalan menyatukan kekuatan gerakan di Indonesia, reformasi juga telah gagal menghancurkan dominasi militerisme. Militer Indonesia—yang sebelumnya telah dibuat tunduk pada kekuatan rakyat, dengan menghapus dwi fungsi ABRI—belakangan mulai menunjukkan taring dalam perpolitikan di tanah air. Lihat saja, bagaimana para jenderal pelanggar HAM—yang tak pernah diadili—justru mendirikan partai dan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah maupun kepala negara. Atau bagaimana militer Indonesia saat ini bergerak menembaki rakyat di kota maupun desa; di pabrik maupun wilayah konsesi investasi ekstraktif; di tambang maupun perkebunan; di pasar maupun kampus. Semua itu dilakukan dengan mengatasnamakan stabilitas keamanan negara. Ya, stabilitas negara dalam mengamankan kepentingan investasi skala besar dan massiv; kepentingan akumulasi kapital negara-negara annex 1; kepentingan menjaga pasar KFC dan AQUA; kepentingan menjadikan kita sebagai manusia konsumtif, yang bergerak hanya untuk berbelanja; kepentingan membuat kita terasing di atas tanah sendiri; dan seterusnya, dan seterusnya.
            
Untuk menjaga semua kepentingan itu, maka demokrasi hanya bagi mereka yang bermodal. Karena patung liberty didirikan atas nama kebebasan individu dalam memperkaya diri—tanpa peduli kekayaan itu ditumpuk dengan bayaran tengkorak, darah dan keringat para buruh dan  rakyat di negara-negara dunia ketiga (miskin).

Agar rakyat semakin terlihat “bodoh”, maka mereka harus dididik menaati setiap regulasi yang dibuat—tak peduli regulasi-regulasi itu memarginalkan mereka—sebagaimana yang diamanatkan dalam Washington Consensus 1984 yakni Deregulasi. UU Penanaman Modal Asing—yang menyalahi pasal 33 UUD 1945; UU Perburuhan; UU Minerba; UU Intelejen dan berbagai regulasi lainnya, adalah bukti konkrit bahwa para penguasa negara ini sangat berkepentingan menjaga keamanan sistem kapitalisme dalam mengeksploitasi, mengekspansi dan mengakumulasi modalnya.
            
Salah satu upaya menjaga stabilitas keamanan modal adalah, dengan melahirkan regulasi yang dapat memberikan kewenangan sebesar-besarnya bagi militer, dalam menjalankan tugasnya sebagai “anjing” penjaga modal, diantaranya UU Intelejen yang baru disahkan 2012 kemarin, serta RUU Kamnas dan Ormas—yang lahir dari titisan dolar Amerika—yang rencananya akan disahkan pada pertengahan tahun ini.
            
Telah 15 tahun berlalu, ketika puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan rakyat dan mahasiswa Indonesia, yang telah mengorbankan keringat dan darah untuk sebuah kebebasan yang bernama “DEMOKRASI”. Dan saat ini, ketika kebebasan itu masih terpasung—dan dikerdilkan demi kebebasan segelintir memperkaya diri—kita justru akan kehilangan kemenangan itu. Bukan karena kita kalah, kawan! Tapi karena kita belum bertarung; belum merasa mampu; belum merasa kuasa; belum merasa kuat; belum bersatu; masih belajar; masih sibuk di ruang diskusi, karena kita “aktivis klik”; masih menjadi perwakilan-perwakilan rakyat, karena kita “seleb gerakan”; masih berdebat dan saling melemahkan; masih merasa benar; masih menghakimi kawan; dan masih belum mengenal lawan.
        
“Refleksi 15 Tahun Reformasi; Tolak RUU Kamnas dan Ormas, Pemasung Demokrasi!”, harus dijadikan sebagai topik isu.  Berdiskusi bukan untuk mengukur kemampuan, tapi merumuskan akar permasalahan; melahirkan stratak perjuangan bersama; menjadi generasi penerus yang tidak hanya “numpang bebas” dan impoten, tapi penuh ide dan kreasi; karena kita akan terus belajar untuk bekerja, berjuang dan memperbaiki setiap salah.

Tidak ada komentar: