Ketika mentari pagi menyuplai energi,
kutetapkan langkah menuju desa kecil yang
terlupakan oleh kemajuan.
Bobo,
Desa yang berpenghuni lebih dari 1000 jiwa ini
sangatlah jauh dari sentuhan zaman ini.
Struktur pemerintahan desa yang tidak
berfungsi, ADD yang tak tahu bertuju kemana, SDA melimpah yang tak berakses
jual.
Dan terlupakan oleh "Sang Penguasa",
padahal letak geografis desa yang berada di
Kec. Jailolo Kab. Halbar ini
sangatlah berdekatan dengan pusat pemerintahan
Kabupaten.
Bobo,
Desa asri yang dengan hutannya yang subur,
aroma cengkeh, pala & kopra yang wangi,
pisang & "kasbi" yang melimpah ruah
dan orang-orang yang tak pandai berteori
tentang ekologis
tapi berpraktek dalam mencintai alam,
mereka tak cakap dalam ruang diskusi tentang
keadilan tapi mereka ikhlas dalam berperilaku hidup yang adil.
Karena mereka mengambil SDA untuk perut hari
ini dan tidak untuk ditumpuk.
Dan kini, ketika krisis energi dan isu
pemanasan global menggempar dunia,
semua mata asing tertuju pada Bobo dan
desa-desa sekitar,
yang menyediakan sumber air panas untuk
dijadikan sebagai energi alternatif, geotermal (PLTU).
Namun, mereka menolak
karena bukan mereka yang harus
bertanggungjawab,
atas semakin menipisnya energi fosil dll,
bukan mereka yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan energi yang besar oleh
kaum bermodal.
Karena ini tanah mereka!!
Mereka tak menuntut apapun
kecuali biarkan mereka berdaulat dan mandiri
di atas tanah yang hantarkan peradaban mulia,
bukan peradaban kotor hari ini!
Dan senja akan hantarkan malam,
lambaian tangan orang-orang kampung
disertai lambaian nyiur disemenanjung pantai
juga turut hantarkan langkahku
kembali ke Kie Gam Lamo, bergelut dengan
rutinitas tak bernilai.
Di atas gelombang yang
pasang, 21 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar