Tuthy Feminisosialistha

Sabtu, 25 Mei 2013

BOBO DI PENGHUJUNG UNGU

Ketika mentari pagi menyuplai energi,
kutetapkan langkah menuju desa kecil yang terlupakan oleh kemajuan.

Bobo,
Desa yang berpenghuni lebih dari 1000 jiwa ini sangatlah jauh dari sentuhan zaman ini.
Struktur pemerintahan desa yang tidak berfungsi, ADD yang tak tahu bertuju kemana, SDA melimpah yang tak berakses jual.

Dan terlupakan oleh "Sang Penguasa",
padahal letak geografis desa yang berada di Kec. Jailolo Kab. Halbar ini
sangatlah berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten.

Bobo,
Desa asri yang dengan hutannya yang subur,
aroma cengkeh, pala & kopra yang wangi, pisang & "kasbi" yang melimpah ruah
dan orang-orang yang tak pandai berteori tentang ekologis
tapi berpraktek dalam mencintai alam,
mereka tak cakap dalam ruang diskusi tentang keadilan tapi mereka ikhlas dalam berperilaku hidup yang adil.
Karena mereka mengambil SDA untuk perut hari ini dan tidak untuk ditumpuk.

Dan kini, ketika krisis energi dan isu pemanasan global menggempar dunia,
semua mata asing tertuju pada Bobo dan desa-desa sekitar,
yang menyediakan sumber air panas untuk dijadikan sebagai energi alternatif, geotermal (PLTU).

Namun, mereka menolak
karena bukan mereka yang harus bertanggungjawab,
atas semakin menipisnya energi fosil dll, bukan mereka yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan energi yang besar oleh kaum bermodal.

Karena ini tanah mereka!!
Mereka tak menuntut apapun
kecuali biarkan mereka berdaulat dan mandiri
di atas tanah yang hantarkan peradaban mulia,
bukan peradaban kotor hari ini!

Dan senja akan hantarkan malam,
lambaian tangan orang-orang kampung
disertai lambaian nyiur disemenanjung pantai juga turut hantarkan langkahku
kembali ke Kie Gam Lamo, bergelut dengan rutinitas tak bernilai.


Di atas gelombang yang pasang, 21 November 2011

Tidak ada komentar: