Tuthy Feminisosialistha

Sabtu, 25 Mei 2013

BOBO DI PENGHUJUNG UNGU

Ketika mentari pagi menyuplai energi,
kutetapkan langkah menuju desa kecil yang terlupakan oleh kemajuan.

Bobo,
Desa yang berpenghuni lebih dari 1000 jiwa ini sangatlah jauh dari sentuhan zaman ini.
Struktur pemerintahan desa yang tidak berfungsi, ADD yang tak tahu bertuju kemana, SDA melimpah yang tak berakses jual.

Dan terlupakan oleh "Sang Penguasa",
padahal letak geografis desa yang berada di Kec. Jailolo Kab. Halbar ini
sangatlah berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten.

Bobo,
Desa asri yang dengan hutannya yang subur,
aroma cengkeh, pala & kopra yang wangi, pisang & "kasbi" yang melimpah ruah
dan orang-orang yang tak pandai berteori tentang ekologis
tapi berpraktek dalam mencintai alam,
mereka tak cakap dalam ruang diskusi tentang keadilan tapi mereka ikhlas dalam berperilaku hidup yang adil.
Karena mereka mengambil SDA untuk perut hari ini dan tidak untuk ditumpuk.

Dan kini, ketika krisis energi dan isu pemanasan global menggempar dunia,
semua mata asing tertuju pada Bobo dan desa-desa sekitar,
yang menyediakan sumber air panas untuk dijadikan sebagai energi alternatif, geotermal (PLTU).

Namun, mereka menolak
karena bukan mereka yang harus bertanggungjawab,
atas semakin menipisnya energi fosil dll, bukan mereka yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan energi yang besar oleh kaum bermodal.

Karena ini tanah mereka!!
Mereka tak menuntut apapun
kecuali biarkan mereka berdaulat dan mandiri
di atas tanah yang hantarkan peradaban mulia,
bukan peradaban kotor hari ini!

Dan senja akan hantarkan malam,
lambaian tangan orang-orang kampung
disertai lambaian nyiur disemenanjung pantai juga turut hantarkan langkahku
kembali ke Kie Gam Lamo, bergelut dengan rutinitas tak bernilai.


Di atas gelombang yang pasang, 21 November 2011

Jumat, 24 Mei 2013

Perempuan dan Perubahan Iklim

“Bumi adalah rahim yang mampu memberikan kehidupan bagi manusia”.

Perempuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Perempuan dan masyarakat adat, pedesaan dan pesisir  adalah potret perempuan dan (manusia lainnya) yang memanfaatkan alam untuk kebutuhannya  dengan tidak secara berlebihan, serta selalu menjaga dan merawat alam sebagaimana alam memberi dan memenuhi kebutuhan hidup mereka, semua itu dilakukan demi kehidupan yang berkelanjutan[1]. Perempuan-perempuan inilah yang tahu dan paham bahwa alam telah menyediakan segalanya untuk kebutuhan keberlangsungan hidup mereka dan bukan untuk memenuhi segala keinginan manusia yang serakah. Merekalah perempuan-perempuan yang hidup bersama manusia lainnya dengan pendidikan egaliter yang diajarkan alam. Hingga di beberapa budaya, simbol-simbol perempuan dilekatkan pada aktivitas alam seperti ibu pertiwi sebagai simbol  alam yang dekat dengan perempuan (ibu) atau dewi kesuburan yang dipercaya dan disimboliskan kesuburan reproduksi perempuan sebagai kesuburan bagi produktifitas pertanian. 

Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan adalah pahlawan atas kemajuan dunia pertanian hingga hari ini. Data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam yang terjadi di Sumeria dan Mesir sekitar 8000-11000 tahun yang lalu, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan. Dan di saat inilah, kaum perempuan muncul sebagai juru selamat. Mereka menggunakan keterampilan mereka untuk mengolah biji-bijian yang didapat dari ketersediaan di alam menjadi tanaman, untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Bercocok tanam (hortikultura) inilah yang tadinya hanya sebagai pengisi waktu senggang perempuan pada fase nomaden kini menjadi sumber penghidupan utama seluruh masyarakat.[2] 

Hingga pada periode penghancuran bumi hari ini, Perempuan dan masyarakat adat, pedesaan dan pesisir sangat menggantungkan hidup mereka pada segala sesuatu yang bisa mereka manfaatkan dari alam dan semua pekerjaan produktif ekonomi dan domestik mereka lakukan sesuai dengan perputaran iklim yang ada. Bertani bagi kaum laki-laki dan berkebun bagi kaum perempuan adalah potret masyarakat pedesaan, sementara melaut bagi kaum laki-laki dan mengolah serta mendagangkan hasil melaut ke pasar bagi perempuan adalah cermin masyarakat pesisir. Perempuan adat, pedesaan dan pesisir juga mampu meramu tumbuh-tumbuhan yang terdapat di alam sebagai obat-obatan tradisional. Semua pengelolaan atas sumber daya alam oleh perempuan dan (masyarakat) ini selalu mempertimbangkan keberlanjutan bumi, agar tetap layak ditempati oleh makhluk hidup. Namun, sampai pada titik dimana alam tak lagi mampu memenuhi kebutuhan mereka, dimana bencana dan perubahan iklim yang ekstrim mulai melanda bumi akibat tangan-tangan serakah para pemilik modal.

Perubahan Iklim dan Solusi Palsu ala Kapitalisme

Perubahan Iklim merupakan suatu akibat dari fenomena pemanasan global. Sementara pemanasan global sendiri merupakan suatu kejadian dimana suhu rata-rata permukaan bumi, air laut dan atmosfer meningkat[3], yang diakibatkan oleh semakin banyaknya gas-gas rumah kaca yang memerangkap panas matahari pada lapisan atmosfer atau yang sering disebut dengan peristiwa efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menjaga suhu di bumi agar tetap hangat[4], hanya saja gas-gas rumah kaca yang merupakan faktor terjadinya efek rumah kaca semakin massiv dan banyak mengendap di udara akibat dari aktifitas manusia di bumi saat ini, sehingga panas matahari yang terperangkap pada lapisan atmosfer pun semakin meningkat, dan akhirnya suhu di bumi pun menjadi semakin panas.

Dan Seperti telah disebutkan di atas bahwa pemanasan global diakibatkan oleh aktivitas manusia dan manusia-manusia itu adalah penggiat sistem Kapitalisme sebagai biang kerok pemanasan global dan ketidakadilan di muka bumi. Kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi politik yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi modal dalam mengakumulasi keuntungan, terutama modal-modal dalam skala besar dan massiv. Dan sampai pada titik perubahan kapitalisme hari ini yang terus berdialektik seiring dengan krisis yang terus melanda akibat over produksi  yakni neoliberalisme, dimana Negara tidak lagi memiliki kedaulatan dan kemandirian di segala bidang baik ekonomi, politik, hukum, budaya hingga pada hak pengelolaan atas sumber daya alam.

Emisi gas rumah kaca yang menjadi sumber dari pemanasan global adalah kontribusi dari  semakin meningkatnya penggunaan energy fosil serta semakin menipisnya hutan sebagai penyerap karbon. Dalam ekonomi liberal (ala kapitalisme), tidak ada pengecualian dalam mengekspansi, mengeksploitasi dan mengakumulasi modalnya, sementara pengendali ekonomi liberal ini adalah negara-negara anex 1 yang memiliki banyak industri-indusri besar, produsen transportasi serta pemakai listrik yang boros. Semua aktivitas ini menggunakan bahan bakar fosil yang menyumbangkan emisi gas rumah kaca sangat besar. Selain itu, negara-negara kapitalis ini jugalah yang memilki banyak investasi skala massiv di sektor pertambangan dan perkebunan—baik yang terdapat di negaranya sendiri maupun yang diekspansi ke negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia)—kedua sektor ini juga merupakan sumber dari semakin maraknya degradasi hutan—baik melalui mekanisme “penebangan maupun pembakaran”.  Akibatnya adalah semakin banyaknya emisi karbon yang diproduksi ke udara  sementara semakin sedikit pula pohon dan tumbuhan yang bertugas menyerap karbon, akhirnya panas matahari yang masuk ke bumi kembali ke atmosfer dan terperangkap disana, bumi pun menjadi panas.

Dampak paling nyata dari fenomena pemanasan global ini adalah terjadi perubahan cuaca ekstrim, dimana di suatu belahan dunia terjadi bencana banjir akibat  curah hujan yang meningkat, sementara di belahan dunia lain terjadi bencana kekeringan akibat krisis air tanah. Apa yang terjadi dengan manusia? Banyak nyawa hilang akibat bencana, ribuan bahkan jutaan rumah yang rusak, dan tentu saja angka kematian yang meningkat drastis karena kelaparan akibat krisis pangan yang disebabkan pada penurunan produktifitas pertanian. Dan dampak lainnya yang menjadi ketakutan semua orang adalah akan mencairnya es terakhir di kutub utara[5]—yang menyimpan cadangan 70% air di muka bumi—maka kiamatlah bumi karena permukaan air laut akan meningkat dan menenggelamkan daratan bumi—terutama pulau-pulau kecil.

Fenomena pemanasan global ini juga yang kemudian mendorong berbagai pihak di berbagai belahan dunia untuk melahirkan berbagai kebijakan dan regulasi baik dalam skala global, nasional maupun lokal. Pada lingkup global ada berbagai macam pertemuan yang dilakukan dengan latar balakang penyelamatan lingkungan hidup diantaranya Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nation Frame work Convention on Climate/UNFCC), KTT Bumi, National Summit dan sebagainya. Namun, banyaknya pertemuan global yang melahirkan berbagai regulasi seputar solusi atas pemanasan global ini, belum mampu teraplikasi dengan baik dan tidak solutif tentunya. Bahkan negara-negara anex 1 seperti Amerika Serikat, China, India, Canada, Inggris, Jepang, Australia dan Jerman yang ditetapkan sebagai negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia menolak menjalankan ketetapan protokol Kyoto  untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil terutama pada sektor industri dan transportasi, serta mengurangi eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Hal ini disebabkan oleh akumulasi kapital negara-negara ini didapatkan dari kedua sumber pemanasan global tersebut. Pada akhirnya, negara-negara penyumbang emisi terbesar ini lebih memilih untuk melakukan perdagangan karbon atau yang dikenal dengan program REDD (Reducing Emision from Deforestation and forest Degradation), salah satunya dengan pemberian insentif atau kompensasi finansial kepada negara-negara dunia ketiga yang menjalankan program REDD tersebut. REDD akan menjadi ancaman baru bagi masyarakat lokal/tempatan yang sejak berabad-abad lalu, telah menggantungkan hidup pada hutan.

Sementara program REDD ini tidak dapat menjadi solusi atas pemanasan global, berbagai aktivitas pencemaran lingkungan dan penghancuran hutan untuk perkebunan dan pertambangan oleh koorporasi padat modal terus saja terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia tentunya. Data yang terhimpun menyebutkan, terdapat 165 miliar pohon yang hilang di Indonesia[6], penyebabnya didominasi oleh pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan dan pertambangan skala besar dan massiv. Penghancuran kawasan hutan ini telah terbukti memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pelepasan emisi karbon, IPCC menyebutkan emisi karbon dari deforestasi hutan tropis pada tahun 1990-an adalah 1,6 miliar ton karbon setiap tahunnya. Jika merunut pada program 1 miliar pohon tiap tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, maka membutuhkan 165 tahun untuk mengembalikan hutan Indonesia. Sementara disisi lain, obral perizinan terhadap aktivitas alih fungsi hutan oleh koorporasi perkebunan dan pertambangan skala massiv terus saja mengalir baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah.

Perempuan, Korban Utama Perubahan Iklim

Jauh sebelum adanya sistem ekonomi kapitalisme dan fenomena pemanasan global, perempuan telah memiliki peran ganda yang dibebankan padanya dalam struktur masyarakat patriarki—bekerja di ruang publik sebagai pencari nafkah tambahan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga dan juga sebagai pekerja domestik yang dari harus mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus anak sampai melayani kebutuhan suami. Tidak hanya beban ganda yang menjadi masalah bagi peningkatan produktifitas perempuan, tapi penempatan perempuan sebagai manusia inferior berdasarkan jenis kelamin juga menyebabkan perempuan menjadi sangat rentan mengalami kekerasan dan marginalisasi (Determenisme Biologis).

Setelah menguatnya sistem kapitalisme yang mengatur kehidupan bumi, semakin menambah petaka baru bagi perempuan—terutama perempuan dengan latar belakang ekonomi lemah. Lihat saja, bagaimana maraknya pertambangan, perkebunan dan investasi skala massiv lainnya di wilayah pedesaan dan pesisir yang memberikan dampak pada semakin  sempitnya ruang hidup perempuan dan (masyarakat) tempatan[7]. Akibatnya semakin banyak perempuan-perempuan pedesaan yang bekerja serabutan, dan semakin meningkatkan urbanisasi. Faktanya banyak perempuan lingkar tambang yang harus mencari pekerjaan ke kota dengan menjadi PKL, buruh harian dll—yang pekerjaannya penuh tantangan, PKL misalnya tiap hari harus berhadapan dengan tameng SATPOL PP atau buruh harian yang dikontrak per hari dengan upah sangat rendah, dan tentu saja tanpa ada jaminan kesehatan atau keselamatan kerja. Jika tidak ke kota, maka Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah jawaban atas perut anak-anak yang lapar, perempuan-perempuan “miskin” ini pun dengan ikhlas merantau ke negara lain—dengan tanpa ada jaminan keselamatan dari negara, sementara  pekerjaan di luar negeri sebagai tenaga kerja ini sangat rentan dengan pemerkosaan , penganiayaan bahkan perdagangan organ tubuh dan/atau pembunuhan. Atau mari kita tengok tragedi lainnya, dimana perempuan-perempuan miskin kota yang umumnya menggantungkan hidup dengan menjadi pedagang di pasar-pasar tradisional harus tergusur pendapatannya karena kalah bersaing dengan pertokoan, mall dan investasi pasar skala besar lainnya.

Semua masalah ini bersumber dari penggerogotan kapitalisme terhadap sumber-sumber kehidupan rakyat, dan kemudian rakyat dididik menjadi manusia konsumtif yang tidak produktif. Selain itu, kebijakan Negara yang tunduk pada kekuasaan modal juga  ikut mendorong tidak adanya Political Will untuk mengembangkan tenaga produktif perempuan dan rakyat guna peningkatan ekonomi real.

Menurut laporan World Disaster Report pada tahun 2011, terdapat 925 juta penduduk dunia yang menderita kelaparan dan 62% tinggal di Asia Paisfik yang menjadi pusat investasi perekenomian dunia. PBB juga mencatat di awal tahun 2012 jumlah kemiskinan meningkat menjadi 1,5 miliar orang dan 70% nya adalah perempuan, serta 3 – 5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan. Dari itu, sebagai solusi untuk mengurangi dampak pemanasan global terhadap bumi yang harus dilakukan oleh negara adalah bersikap berani dengan membatasi pembukaan kawasan hutan untuk investasi skala besar dan massiv.  Yang paling mendesak juga untuk dilakukan saat ini adalah menghentikan segala bentuk aktivitas eksploitasi pertambangan dan perkebunan yang faktanya banyak merugikan dan menciptakan konflik pada masyarakat tempatan, serta berkontribusi besar terhadap kegundulan hutan dan kerusakan lingkungan. Setelah itu menasionalisasi industri dibawah kontrol rakyat dengan mencontoh pada Venezuela yang mampu meningkatkan pendapatan negara, mensejahterakan rakyat (dan perempuan) serta mengontrol kelestarian lingkungan adalah wajib dilaksanakan oleh negara. Kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi adalah jalan menuju keselamatan Indonesia dan bumi kita.

“Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tidak cukup untuk satu orang serakah” (Mohandas K. Gandhi)

Selamat Hari Bumi, 22 April 2013.


[2] Zely Ariane, Antropologi Gender dan Asal-Usul Ketidaksertaraan Perempuan, Perempuan Mahardhika
[3] Ismet Soelaiman, Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, WALHI Malut Mei 2012
[4] Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Berbasis Gas Rumah Kaca: Tinjauan Kritis, Sawit Watch, 2009
[6] Kompas, 9 Oktober 2011
[7] Perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, WALHI, Desember 2010

DELIK ROMANTISME, SARANG PATRIARKI!

Aku mencintaimu maka aku memukulmu! 

Inilah cerminan mengatasnamakan cinta, demi kepatutan melakukan kekerasan terhadap yang konon dicintai. Sikap seperti ini tidaklah tabu, dan menjadi sebuah pakem nilai yang tumbuh subur di dalam masyarakat patriarki, selama berabad-abad (+ 6000 tahun lalu), bahkan semakin bermekaran di abad ke-18 pasca revolusi industri di Perancis, ketika institusi keluarga kian diperkuat menjadi sarana, untuk membungkam surau-surau perlawanan terhadap kejahatan negara dan status quo kapitalisme. Nilai-nilai patriarkis ini, umumnya menempatkan perempuan sebagai makhluk nomor dua (second sex) setelah laki-laki, sehingga berdampak pada relasi yang menampakkan dominasi laki-laki atas perempuan. Makna cinta sebagai pembebas dari segala belenggu, akhirnya berubah menjadi standarisasi dan idealisasi atas nama cinta. Bahkan salah satu indikator kesetiaan dan cinta yang ideal, dari seorang perempuan adalah ketika kesuciannya tetap terjaga bagi pasangannya.

Konon, ketika Robinson dan Magdalena menjalin cinta yang dipisahkan oleh batas ruang dan waktu. Kerinduan yang memuncak, diperparah dengan iklim tidak dapat ditebak, sebagaimana cinta yang bersifat memaksa, semakin menghalangi pertemuan keduanya. Hanya seorang pria yang bersedia menghantarkan Magdalena kehunian sang kekasih, dengan prasyarat yang dilemma, yakni wajib memenuhi hasrat libido sang pria. Magdalena pun berkorban, demi kerinduan yang semakin mendalam. Atas nama cinta yang menempatkan kejujuran pada tingkatan tertinggi, Magdalena pun mengisahkan pengorbanannya pada sang kekasih. Namun mengakhiri cinta secara sepihak oleh Robinson, dengan mengatasnamakan kesetiaan adalah jawaban atas pengorbanan sang kekasih yang telah nista. Sementara Magdalenayang terpaksa mengingkari syahadat cinta—hanya dapat menyesali takdirnya sebagai perempuan, dan pada cinta yang menenggelamkannya dalam lautan duka. Kisah ini memberi kesan pengorbanan seorang perempuan, yang tidak mendapatkan keikhlasan dari pasangannya, sebab perempuan itu telah “ternoda” oleh jamah lelaki lain. 

Beberapa kaum feminis, menawarkan solusi dengan memoderasi gerakan perempuan. Plagiat filsafat cinta ala barat bahwa open relation atau hubungan liberal bagi mereka adalah solusi atas nilai-nilai cinta yang telah membelenggu kebebasan. Namun faktanya, hubungan liberal justru semakin mengalienasi cinta para pencinta. Sebab relasi demikian hanya membangun hubungan dengan dasar pemenuhan hasrat seksual semata. Seorang kawan berkata, disinilah kita menciptakan “kawan biologis” bukan “kawan ideologis” dalam hubungan. Selain itu, ilmu kedokteran juga membuktikan bahwa hubungan yang liberal justru semakin memperbanyak dan memperluas penyakit yang berhubungan dengan alat dan wilayah reproduksi.

Cinta adalah keniscayaan rasa. Dalam Filsafat ketimuran, Ibn Khaim, seorang filsuf timur di dalam bukunya “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta”, menjelaskan 5 tahapan yang kerap dirasakan dan dilalui oleh orang-orang yang jatuh cinta yaitu kepanasan, kehangatan, kedinginan, kesejukan dan kematian. Dalam hidup, manusia akan dan pernah merasakan kelimanya, begitupun dalam cinta. Namun menurutnya, jika kelima tahapan ini dirasakan dan dilalui oleh manusia dalam cinta maka dia akan menuju kekhufuran. Analisis cinta ini jika ditilik pada kontekstual periode ini kerap dialami oleh perempuan—kadang juga laki-laki—yang merasa telah mati sekalipun jiwa dan ruhnya masih bersemayam dalam belenggu raga, merasa lemah dan tak mampu bangun ketika terjatuh. Qurais Shihab pun menuturkan bahwa ketika orang mulai jatuh cinta, orang akan berhenti memikirkan dirinya dan mulai memikirkan pasangannya (kekasihnya). Atas dasar ini, cinta pun akan terus berjalan beriring dengan harapan. Mengutip bahasa seorang kawan bahwa harapan adalah menemukan apa yang kita cari dan mempertahankan apa yang kita temukan, namun harapan ibarat pasir yang ketika dilepas dari genggaman akan terjatuh habis dan ketika erat digenggam akan semakin menipis. Cinta juga jangan ditutupi karena akan menjadi boomerang dan jangan diumbar karena akan menumpahkan darah!

Cinta dalam institusi keluarga yang menanamkan harapan dan mengadopsi teori kepemilikan atas tubuh dan diri pasangan (terutama pasangan perempuan), kenyataannya semakin menempatkan cinta pada posisi tawar, yang berakibat pada semakin dekat hubungan yang terbangun dengan diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap pasangan (lagi; terutama pasangan perempuan). Umumnya korban (perempuan) yang mengalami kekerasan enggan melapor dan melawan karena berbagai alasan, mulai dari malu, takut dipersulit, konsekuensi ekonomi dan anggapan sebagai area privacy yang tabu untuk dipublikasikan (jika kekerasan yang terjadi pada relasi pacaran atau pernikahan/keluarga), bahkan sampai pada alasan “Atas nama CINTA, aku ikhlas disakiti olehnya”. Selain faktor internal, faktor eksternal juga kerap menjadi penghambat dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sebagaimana yang terjadi pada lembaga peradilan, kekerasan seksual misalnya, perempuan sering mendapat kekerasan baru oleh oknum penyidik (laki-laki), bahkan beberapa oknum penyidik kerap mempertanyakan bagaimana tubuh dan pakaian korban saat kejadian, jika penampilan korban dianggap “seronok” dan mengundang birahi, maka oknum penyidik tersebut akan memberikan komentar yang seakan setuju dengan tindakan pelaku kekerasan. Sikap demikian pun kerap dipraktekkan oknum penyidik perempuan yang semakin menyudutkan perempuan korban kekerasan. (Sumber: Modul Sekolah Feminis #4 Perempuan Mahardhika)

Catatan tahunan Komnas Perempuan menunjukan jumlah kekerasan terhadap perempuan terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Pada tahun 2007 terdapat 25.522 kasus, sedangkan pada tahun 2008 jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 54.425 kasus. Peningkatan kasus ini diperkirakan selain karena tindak kekerasan yang bertambah juga dikarenakan meningkatnya kesadaran korban dan publik untuk mencari bantuan guna mengatasi masalah tindak kekerasan yang dialami perempuan. Dalam teori hukum pidana, salah satu indikator keberhasilan sanksi pidana adalah mampu memberikan efek jera agar tidak lagi berulang delik yang sama. Namun dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yang kerap membebaskan pelaku kekerasan dari sanksi hukuman, jelas tidak efektif dalam memberikan efek jera, baik kepada pelaku maupun orang lain yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Ketidakefektifan ini disebabkan oleh lemahnya para penegak hukum dalam upaya optimalisasi penerapan berbagai regulasi yang menjamin hak-hak perempuan. Komnas Perempuan menyebutkan dalam “Buku Referensi: Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Di Lingkungan Peradilan Umum” bahwa aplikasi regulasi kekerasan terhadap perempuan masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagaimana Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Hal ini jelas menyulitkan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya pada ruang privat seperti KDRT yang sulit mendapatkan saksi, sementara amanat pasal 183 dan 182 ayat 2 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan.

Berdasarkan fakta-fakta diatas, revisi KUHAP dan/atau meregulasi hukum acara bagi kasus kekerasan terhadap perempuan dan/atau menetapkan tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai delik khusus adalah sebuah kepatutan. Selain itu, memperluas kampanye tentang hak-hak perempuan agar semakin terbuka peluang bagi perempuan korban kekerasan untuk menjadi berani melapor dan melawan. Dalam “Buku Saku: A-Z Pelecehan Seksual; Lawan dan Laporkan” diuraikan mengapa perempuan korban kekerasan harus berani melawan segala bentuk kekerasan yang dialami, diantaranya karena tubuh perempuan adalah milik perempuan sendiri, tidak ada yang berhak menyakiti dan memaksakan kehendaknya pada perempuan; kesalahan tidak terletak pada tubuh atau cara perempuan berpakaian tapi terletak pada otak pelaku kekerasan; keberanian seorang perempuan akan menginspirasi perempuan lainnya untuk berani malawan kekerasan yang dialami; dan karena tidak ada “Perempuan Nakal, Binal, Sundal” (streotipe negative).

Setiap individu (para pencinta) juga harus merombak defenisi cinta sebagai konsep baku kepemilikan. Setiap insan yang membangun hubungan dengan berlandaskan cinta, haruslah mampu menempatkan porsi peran masing-masing dengan adil demi prospek hubungan kedepan, karena sekali lagi cinta itu membebaskan. Tetapi kebebasan dalam cinta juga tidak berarti mengalienasi cinta pada hubungan liberal, yang membuka ruang pada semakin banyak pesakitan bagi para pencinta, karena aktualisasi cinta adalah memberikan kehangatan pada mereka yang kedinginan, bukan pada mereka yang telah mendapatkan kehangatan. Dalam teori Fisika yang coba dikawinkan dengan ilmu tafakur, ketika orang yang spesial senantiasa mendapatkan tempat yang spesial (tanpa standarisasi apalagi kekerasan!); memberi apa yang dibutuhkan (bukan yang diinginkan) orang tercinta tanpa berharap menerima, maka disinilah gelombang elektromagnetik akan membawa resonansi cinta pada pertemuan metafisik. Semakin kuat vibrasi batiniah akan semakin meningkatkan gelombang elektromagnetik. Standarisasi, idealisasi dan kekerasan bukanlah cinta melainkan obsesi untuk memiliki, memuaskan hasrat dan obsesi lainnya yang mengotori nilai cinta yang suci dan disucikan oleh para pencinta dan Sang Pemilik Cinta. Melawan sikap patriarki dalam diri adalah menanamkan cinta tanpa keterasingan, cinta tanpa penjara! Melawan rasa yang memenjarakan kebebasan azasi adalah keniscayaan, walau yang demikian adalah hal terberat dalam hidup. Karena menurut Clara Zetkyn, tak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan, begitupun juga tak ada pembebasan perempuan tanpa sosialisme.

Dan akhirnya, kutipan puisi Sampai di Luar Batas, sepertinya pantas dan semakin menarik jika dijadikan sebagai penutup tulisan ini: “Kau lempar aku dalam gelap hingga hidupku menjadi gelap, Kau siksa aku sangat keras hingga aku makin mengeras, Kau paksa aku terus menunduk tapi keputusan tambah tegak, Darah sudah kau teteskan dari  bibirku, Luka sudah kau bilurkan kesekujur tubuhku, Cahaya sudah kau rampas dari biji mataku, Derita sudah naik seleher, Kau menindas sampai di luar batas”. Oleh Wiji Tukul di akhir 1996, sesaat sebelum dinyatakan hilang tanpa jejak.

Kamis, 23 Mei 2013

I Remember, My Nigth

Wajahnya sedikit berminyak tapi terlihat juga sedikit kesegaran, kupikir dalam tidur dia masih sempat bermimpi tentang hijau, mungkin karena dia terlalu merah dalam nyata--semangat yang senantiasa berkobar-kobar bagai nyala api yang siap membakar; ya, lelakiku siap membakar sang tiran, siap mati dalam garda perlawanan--tapi ada yang lucu darinya, merahnya sering menjadikannya pemarah hingga dua kepribadiannya--yang "manis" dan "jahat"--menyatu dalam jiwanya yang labil.

Oh ya, semalaman bersama. Menemaniku mengisi undangan sebagai fasilitator di kampus (Bulsyet dengan ruang-ruang diskusi, mentok katanya), beranjak ke kota malam & bercengkrama dengan akar-akar rumput kecil yang terserabut oleh dominasi modal serta tergusur dalam kubangan ilusi tentang "sejahtera".

Lalu, lelakiku mengajakku pulang (ke gubuk derita, begitu kata Bang Mansur. S); di teras rumah dia marah! marah karena sikap kawanku yang tak pantas menurutnya, aku memilih diam sampai akhirnya emosinya dilampiaskan lewat sebuah kecupan manis penuh cinta di jidatku. Agh, lelakiku... semakin merasuki kalbu yang terdalam (kata Ungu). Dia beranjak berdiri dan masuk kedalam rumah (maksudnya gubuk derita), sementara aku masih duduk dengan sebuah buku harian yang hendak kugoreskan tinta hitam (bkn tinta emas karena kami tak cakup uang tuk' memilikinya), tentang kisahku malam ini bersama lelakiku.

Lelakiku keluar lagi (lagi: dari dalam gubuk derita) tapi aneh, dia keluar dengan lantunan "tifa" dari suaranya disertai gerakan "soya-soya" oleh tubuhnya penuh semangat.... ya, lelakiku berperingai aneh tapi aku suka caranya meluapkan amarahnya, aku tersenyum sambil melihatnya yang tetap asik (tanpa beban apalagi harta) menari-nari dalam kegundahannya akan sakitnya bumi yang tergores peradaban kotor. Kaki dan tangannya memacu dengan lincah, hebat! dia benar-benar paham dengan setiap makna dalam gerakan soya-soya yang dilakoninya.

Malam semakin pekat dan lelakikupun lelah (mungkin) hingga direbahkan kepalanya di dadaku sembari bermanja tentang lelahnya, akupun membelai kepalanya. Kutahu, lelakiku terlalu berpura-pura kuat, bersembunyi sejuta kerapuhannya dibalik setitk ketegarannya (mengutip bahasanya).

Larut malam hendak kami taklukan (sometime: mata "rongo" tidak kuat menahan kantuk), berdiskusi tentang lapar, sakit, miskin... ya, kami bagian dari mereka... akar rumput yang tak harus dikasihani tapi harus diperjuangkan (karena mereka telah melawan, begitu kata guruku, guru kami).

Sudut Gubuk Derita, 2020