Aku
mencintaimu maka aku memukulmu!
Inilah cerminan mengatasnamakan cinta, demi
kepatutan melakukan kekerasan terhadap yang konon dicintai. Sikap seperti ini
tidaklah tabu, dan menjadi sebuah pakem nilai yang tumbuh subur di dalam
masyarakat patriarki, selama berabad-abad (+ 6000 tahun lalu), bahkan semakin
bermekaran di abad ke-18 pasca revolusi industri di Perancis, ketika institusi
keluarga kian diperkuat menjadi sarana, untuk membungkam surau-surau perlawanan
terhadap kejahatan negara dan status quo kapitalisme.
Nilai-nilai patriarkis ini, umumnya menempatkan perempuan sebagai makhluk nomor
dua (second sex) setelah laki-laki, sehingga
berdampak pada relasi yang menampakkan dominasi laki-laki atas perempuan. Makna
cinta sebagai pembebas dari segala belenggu, akhirnya berubah menjadi
standarisasi dan idealisasi atas nama cinta. Bahkan salah satu indikator
kesetiaan dan cinta yang ideal, dari seorang perempuan adalah ketika kesuciannya
tetap terjaga bagi pasangannya.
Konon,
ketika Robinson dan Magdalena menjalin cinta yang dipisahkan oleh
batas ruang dan waktu. Kerinduan yang memuncak, diperparah dengan iklim tidak
dapat ditebak, sebagaimana cinta yang bersifat memaksa, semakin menghalangi
pertemuan keduanya. Hanya seorang pria yang bersedia menghantarkan Magdalena kehunian sang kekasih, dengan prasyarat
yang dilemma, yakni wajib memenuhi hasrat libido
sang pria. Magdalena pun berkorban,
demi kerinduan yang semakin mendalam. Atas nama cinta yang menempatkan
kejujuran pada tingkatan tertinggi, Magdalena pun mengisahkan pengorbanannya pada sang kekasih. Namun mengakhiri
cinta secara sepihak oleh Robinson, dengan
mengatasnamakan kesetiaan adalah jawaban atas pengorbanan sang kekasih yang
telah nista. Sementara Magdalena—yang terpaksa mengingkari syahadat
cinta—hanya dapat menyesali takdirnya sebagai perempuan, dan pada cinta yang
menenggelamkannya dalam lautan duka. Kisah ini memberi kesan pengorbanan
seorang perempuan, yang tidak mendapatkan keikhlasan dari pasangannya, sebab perempuan
itu telah “ternoda” oleh jamah lelaki lain.
Beberapa
kaum feminis, menawarkan solusi dengan memoderasi gerakan perempuan. Plagiat filsafat
cinta ala barat bahwa open relation
atau hubungan liberal bagi mereka adalah solusi atas nilai-nilai cinta yang telah
membelenggu kebebasan. Namun faktanya, hubungan liberal justru semakin
mengalienasi cinta para pencinta. Sebab relasi demikian hanya membangun hubungan
dengan dasar pemenuhan hasrat seksual semata. Seorang kawan berkata, disinilah
kita menciptakan “kawan biologis” bukan “kawan ideologis” dalam hubungan.
Selain itu, ilmu kedokteran juga membuktikan bahwa hubungan yang liberal justru
semakin memperbanyak dan memperluas penyakit yang berhubungan dengan alat dan
wilayah reproduksi.
Cinta
adalah keniscayaan rasa. Dalam Filsafat ketimuran, Ibn Khaim, seorang filsuf
timur di dalam bukunya “Taman Orang-Orang Jatuh Cinta”, menjelaskan 5 tahapan
yang kerap dirasakan dan dilalui oleh orang-orang yang jatuh cinta yaitu
kepanasan, kehangatan, kedinginan, kesejukan dan kematian. Dalam hidup, manusia
akan dan pernah merasakan kelimanya, begitupun dalam cinta. Namun menurutnya,
jika kelima tahapan ini dirasakan dan dilalui oleh manusia dalam cinta maka dia
akan menuju kekhufuran. Analisis cinta ini jika ditilik pada kontekstual
periode ini kerap dialami oleh perempuan—kadang juga laki-laki—yang merasa telah
mati sekalipun jiwa dan ruhnya masih bersemayam dalam belenggu raga, merasa
lemah dan tak mampu bangun ketika terjatuh. Qurais Shihab pun menuturkan bahwa
ketika orang mulai jatuh cinta, orang akan berhenti memikirkan dirinya dan
mulai memikirkan pasangannya (kekasihnya). Atas dasar ini, cinta pun akan terus
berjalan beriring dengan harapan. Mengutip bahasa seorang kawan bahwa harapan adalah
menemukan apa yang kita cari dan mempertahankan apa yang kita temukan, namun
harapan ibarat pasir yang ketika dilepas dari genggaman akan terjatuh habis dan
ketika erat digenggam akan semakin menipis. Cinta juga jangan ditutupi karena
akan menjadi boomerang dan jangan diumbar karena akan menumpahkan darah!
Cinta
dalam institusi keluarga yang menanamkan harapan dan mengadopsi teori
kepemilikan atas tubuh dan diri pasangan (terutama pasangan perempuan), kenyataannya
semakin menempatkan cinta pada posisi tawar, yang berakibat pada semakin dekat hubungan
yang terbangun dengan diskriminasi dan tindak kekerasan terhadap pasangan (lagi;
terutama pasangan perempuan). Umumnya korban (perempuan) yang mengalami
kekerasan enggan melapor dan melawan karena berbagai alasan, mulai dari malu,
takut dipersulit, konsekuensi ekonomi dan anggapan sebagai area privacy yang tabu untuk dipublikasikan
(jika kekerasan yang terjadi pada relasi pacaran atau pernikahan/keluarga),
bahkan sampai pada alasan “Atas nama CINTA, aku ikhlas disakiti olehnya”.
Selain faktor internal, faktor eksternal juga kerap menjadi penghambat dalam
penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sebagaimana yang terjadi pada lembaga
peradilan, kekerasan seksual misalnya, perempuan sering mendapat kekerasan baru
oleh oknum penyidik (laki-laki), bahkan beberapa oknum penyidik kerap mempertanyakan
bagaimana tubuh dan pakaian korban saat kejadian, jika penampilan korban
dianggap “seronok” dan mengundang birahi, maka oknum penyidik tersebut akan
memberikan komentar yang seakan setuju dengan tindakan pelaku kekerasan. Sikap
demikian pun kerap dipraktekkan oknum penyidik perempuan yang semakin
menyudutkan perempuan korban kekerasan. (Sumber: Modul Sekolah Feminis #4
Perempuan Mahardhika)
Catatan tahunan Komnas Perempuan
menunjukan jumlah kekerasan terhadap perempuan terus mengalami kenaikan setiap
tahunnya. Pada tahun 2007 terdapat 25.522 kasus, sedangkan pada tahun 2008
jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 54.425 kasus. Peningkatan kasus
ini diperkirakan selain karena tindak kekerasan yang bertambah juga dikarenakan
meningkatnya kesadaran korban dan publik untuk mencari bantuan guna mengatasi
masalah tindak kekerasan yang dialami perempuan. Dalam teori hukum pidana,
salah satu indikator keberhasilan sanksi pidana adalah mampu memberikan efek
jera agar tidak lagi berulang delik yang sama. Namun dalam kasus kekerasan
terhadap perempuan yang kerap membebaskan pelaku kekerasan dari sanksi hukuman,
jelas tidak efektif dalam memberikan efek jera, baik kepada pelaku maupun orang
lain yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Ketidakefektifan
ini disebabkan oleh lemahnya para penegak hukum dalam upaya optimalisasi
penerapan berbagai regulasi yang menjamin hak-hak perempuan. Komnas Perempuan
menyebutkan dalam “Buku Referensi: Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan Di Lingkungan Peradilan Umum” bahwa aplikasi regulasi kekerasan
terhadap perempuan masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
sebagaimana Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Hal ini jelas menyulitkan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan
terhadap perempuan, khususnya pada ruang privat seperti KDRT yang sulit mendapatkan
saksi, sementara amanat pasal 183 dan 182 ayat 2 KUHAP menyebutkan bahwa
keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan.
Berdasarkan
fakta-fakta diatas, revisi KUHAP dan/atau meregulasi hukum acara bagi kasus
kekerasan terhadap perempuan dan/atau menetapkan tindak kekerasan terhadap
perempuan sebagai delik khusus adalah sebuah kepatutan. Selain itu, memperluas
kampanye tentang hak-hak perempuan agar semakin terbuka peluang bagi perempuan
korban kekerasan untuk menjadi berani melapor dan melawan. Dalam “Buku Saku:
A-Z Pelecehan Seksual; Lawan dan Laporkan” diuraikan mengapa perempuan korban
kekerasan harus berani melawan segala bentuk kekerasan yang dialami,
diantaranya karena tubuh perempuan adalah milik perempuan sendiri, tidak ada
yang berhak menyakiti dan memaksakan kehendaknya pada perempuan; kesalahan
tidak terletak pada tubuh atau cara perempuan berpakaian tapi terletak pada
otak pelaku kekerasan; keberanian seorang perempuan akan menginspirasi
perempuan lainnya untuk berani malawan kekerasan yang dialami; dan karena tidak
ada “Perempuan Nakal, Binal, Sundal” (streotipe
negative).
Setiap individu
(para pencinta) juga harus merombak defenisi cinta sebagai konsep baku kepemilikan.
Setiap insan yang membangun hubungan dengan berlandaskan cinta, haruslah mampu
menempatkan porsi peran masing-masing dengan adil demi prospek hubungan kedepan,
karena sekali lagi cinta itu membebaskan. Tetapi kebebasan dalam cinta juga
tidak berarti mengalienasi cinta pada hubungan liberal, yang membuka ruang pada
semakin banyak pesakitan bagi para pencinta, karena aktualisasi cinta adalah
memberikan kehangatan pada mereka yang kedinginan, bukan pada mereka yang telah
mendapatkan kehangatan. Dalam teori Fisika yang coba dikawinkan dengan ilmu tafakur,
ketika orang yang spesial senantiasa mendapatkan tempat yang spesial (tanpa standarisasi
apalagi kekerasan!); memberi apa yang dibutuhkan (bukan yang diinginkan) orang
tercinta tanpa berharap menerima, maka disinilah gelombang elektromagnetik akan
membawa resonansi cinta pada pertemuan metafisik. Semakin kuat vibrasi batiniah
akan semakin meningkatkan gelombang elektromagnetik. Standarisasi, idealisasi
dan kekerasan bukanlah cinta melainkan obsesi untuk memiliki, memuaskan hasrat
dan obsesi lainnya yang mengotori nilai cinta yang suci dan disucikan oleh para
pencinta dan Sang Pemilik Cinta. Melawan sikap patriarki dalam diri adalah
menanamkan cinta tanpa keterasingan, cinta tanpa penjara! Melawan rasa yang
memenjarakan kebebasan azasi adalah keniscayaan, walau yang demikian adalah hal
terberat dalam hidup. Karena menurut Clara Zetkyn, tak ada sosialisme tanpa
pembebasan perempuan, begitupun juga tak ada pembebasan perempuan tanpa
sosialisme.
Dan akhirnya,
kutipan puisi Sampai di Luar Batas, sepertinya pantas dan
semakin menarik jika dijadikan sebagai penutup tulisan ini: “Kau
lempar aku dalam gelap hingga hidupku menjadi gelap, Kau siksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras, Kau paksa aku terus menunduk tapi keputusan tambah
tegak, Darah sudah kau teteskan dari
bibirku, Luka sudah kau bilurkan kesekujur tubuhku, Cahaya sudah kau
rampas dari biji mataku, Derita sudah naik seleher, Kau menindas sampai di luar
batas”. Oleh Wiji Tukul di akhir 1996, sesaat sebelum dinyatakan hilang tanpa jejak.