Tuthy Feminisosialistha

Selasa, 27 Desember 2016

26 Desember 1999


Saya ingin menuliskan dan berbagi kisah ini. Jika nanti (50-100 tahun lagi) saya mulai menderita demensia atau alzheimer, sehingga lupa untuk membenci kekuasaan yang begitu jahat dengan politik adu dombanya, memprovokasi dengan embel-embel ‘Atas Nama’ guna menghancurkan rumah, tempat bermain, sekolah, persahabatan dan mimpi masa kecil saya. Maka tolong ingatkan saya akan hal itu. Ingatkan saya untuk kembali membenci sistem yang rakus pada alam, juga airmata, keringat dan darah kami. Ingatkan saya untuk terus melawan.

Dan semoga, ketika jasad telah habis terlumat binatang tanah, saat itu mimpi kecil akan berulang jua. Kehidupan yang indah, penuh dengan hiasan pelangi, yang menghadirkan keragaman sebagai pemersatu dan kemanusiaan sebagai pondasi.

***

17 tahun telah berlalu.
Tobelo, Minggu Malam, 26 Desember 1999.
Demi Semesta, tragedi itu masih segar dalam ingatan.

Saya berusia 11 tahun kala itu. Tercatat sebagai pelajar kelas 1 di SLTP N. 1 Tobelo. Saat itu bulan ramadhan dan kebetulan bertepatan dengan perayaan Natal.

Sejak rumor akan adanya kerusuhan berbasis SARA pada tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun sembilan belas sembilan-sembilan (9/9/99), mama dan bapa sudah mewanti-wanti untuk memindahkan saya ke Ternate. Bahkan mama sudah mengepak semua dokumen penting dan beberapa potong pakaian ke dalam koper besar (mirip peti). Isi koper yang masih saya ingat adalah rok coklat selutut dengan atasan blazer berwarna senada dan tank top coklat pasir; terusan panjang mirip baju Cinderella bermotif ketupat, plus tas kecil (biasanya untuk mengisi kue, permen dan duit hasil silaturahmi: batambaru); dan sepasang busana muslim berwarna pink serta mukena putih berenda. Semua pakaian itu baru dibelikan mama untuk saya gunakan saat bertandang ke kerabat di waktu Natal dan Lebaran. Busana muslim dan mukena, rencananya akan dipakai pada shalat Ied.

Tepat sore hari, 26 Desember 1999, setelah melakukan perundingan keluarga, disepakati saya dan oom (sepupu bapa) akan berangkat ke Ternate pada 27 Desember dini hari. Ba'da Isha, saya dan keluarga (mama, bapa dan oom. Ade belum lahir kala itu, sepupu saya ditugasi menjaga rumah) bertolak ke rumah kepala sekolah. Jaraknya sekitar 600-700 meter. Saat tiba di jalan raya, sekitar seperdua perjalanan, kami berpapasan dengan beberapa orang yang tergesa-gesa sedikit berlari. Bapa berjalan dengan membopong saya, tepat di belakang seorang nenek yang menggendong saloi (bakul dari anyaman rotan) di panggulnya. Di dalam saloi tampak jelas terdapat pana-pana wayer (panah dengan ujung kedua sisi dirakit potongan kaleng), tombak dan parang. Bapa terus melangkah tanpa curiga sedikitpun, hingga si nenek berbalik ke arah kami dan berkata, "ngoni mo pi mana? Capat pulang deng kase tau orang-orang supaya lari mengungsi. So kerusuhan!"

Tak sampai hitungan detik, nyaring bunyi tiang listrik mulai menggelegar di semua sudut kota. Bapa pun menurunkan saya dari gendongan dan menyuruh saya berlari ke arah gang kecil beralas tanah dan sedikit becek. Bapa dan mama tak langsung mengikuti saya dan oom. Mereka masih menyempatkan diri berlari ke rumah salah satu atasan bapa di kantor, yang kebetulan berada di depan jalan yang kami lewati. Saya berbalik arah dan mengikuti mereka. Ikut mengetuk pintu rumah itu, “pak haji! Pak haji!” panggil saya sembari memukul-mukul pintu dengan kepalan tangan. Mama dan bapa juga melakukan hal yang sama. Penghuni rumah (pasangan suami-istri) baru akan mengangkat kedua tangan sembari bertakbir, hendak menjalankan sunnah tarawih, ketika pintu rumah digedor. Keduanya keluar dengan tergesa-gesa, masih menggunakan sarung dan mukena. Saat diberi tahu bapa, keduanya langsung bergegas mengambil kunci mobil dan mengajak kami ikut serta, tapi bapa menolak. “katong mesti bale ka rumah dulu, lia keponakan deng kase tau yang lain,” jelas bapa dengan dialek Ambonnya, sembari menengok ke arah saya dan mama. Ia memberi perintah tersirat untuk segera berlari dan tak usah menunggunya. Saya dan mama pun menurut, oom sudah terlebih dulu pergi untuk mengabarkan pada yang lain.

Saya terus berlari, sesekali menengok ke belakang, berharap-harap cemas bapa segera menyusul. Saat kesekian kali menoleh, bapa tidak jua terlihat. Saya pun mematung sejenak, dalam hati mendoakan bapa segera muncul. Syukurlah bayangan bapa mulai samar terlihat di ujung gang. Saya merasa lega sejenak, namun tak berapa lama jantung kembali berdetak cepat. Dari jarak sekitar 20 meter, tampak oleh saya, bapa dihadang beberapa lelaki yang sudah mempersenjatai diri masing-masing dengan tombak dan parang. Saya pun menutup mata: pasrah. Tak lama berselang ada dorongan yang memaksa saya membuka mata dan kembali melihat ke arah bapa. Ternyata dia masih hidup, bahkan tak sedikitpun dilukai. Dia sedang berlari ke arah saya. Saya pun melanjutkan ‘pelarian’ dengan airmata yang terus menetes. Dalam kebisuan malam itu, saya mendoakan keselamatan tidak hanya untuk bapa, tapi juga bagi semua orang, Acang dan Obet.

Saat memasuki komplek SMP Islam (perumahan kami), saya berteriak-teriak dan menggedor-gedor dinding papan tiap rumah. "Lari. Lari. Kerusuhan! Kerusuhan!" Tidak ada respon apapun. Sepi. Saya terus berlari dengan berteriak seperti itu hingga tiba di rumah. Kosong. Sepupu saya sudah tak ada. Saya semakin panik dan mulai menangis keras tanpa berbuat apa-apa. Bapa, mama dan oom masuk hampir bersamaan ke dalam rumah, disusul paman sebelah rumah yang mengabarkan bahwa sepupu saya sudah ke masjid bersama perempuan dan anak-anak yang lain, serta menginstruksikan saya dan mama segera menyusul. Sebelum pergi, mama masuk ke kamar dan membawa keluar koper. Ketika melihat itu, seketika saya teringat sesuatu. Saya mencari-cari dan tidak menemukannya. Kembali airmata berlinang.

Walaupun menangis, saya masih tetap membongkar isi kamar, berupaya menemukan apa yang saya cari. Tiba-tiba kami mendengar ‘rengekan’ kambing, ayam dan bebek yang bersahutan serentak. Ya, bapa saya selain seorang PNS, juga seorang peternak dan pekebun yang baik. Halaman di depan rumah ditanami buah-buahan dengan pupuk organik (kotoran sapi) seperti mangga, belimbing, giawas (jambu biji) dan pepaya. Di belakang rumah, tebu dan pisang menghuni pekarangan kosong, sebuah pohon beringin yang tumbuh di utara sumur juga tidak ia tebang. Teringat rutinitas harian, ketika azhan maghrib menggema pertanda malam akan tiba, diiringi dengan siulan khas bapa yang ia kutib dari ritme lagu si Unyil, ratusan ayam dan puluhan bebek serta delapan ekor kambing akan kembali pulang. Banyak dari ayam-ayam itu lebih memilih berterbangan ke atas pohon beringin, mencari tempat nyaman untuk tidur. “Itu pohon babuah ayamkah?” begitu para tetangga sering mencandai perilaku hewan ternak bapa.

**

Saya, mama dan bapa pun seketika berlari menuju belakang rumah. Kami membuka pintu-pintu kandang dan mengeluarkan semua ternak. Saya kembali berkaca-kaca. Mungkin bagi orang dewasa, itu hanyalah hewan ternak, tapi bagi saya waktu itu, mereka adalah sahabat-sahabat terbaik yang kerap saya muntahi keluhan dan kegelisahan. Saya mengangkat dan mengecup seekor ayam betina, lalu kembali melepaskannya. Biarkan mereka berlari menyelamatkan diri, seperti halnya kami.

Setelah usai dengan segala kegalauan di dalam rumah, bapa dan oom mengantar kami ke masjid dengan menenteng koper ‘pelarian’. Masjid Nurul Yaqin namanya. Di sini tempat saya belajar membaca al-qur’an bersama teman-teman sekampung. Saat usia 3-4 tahun, saya sudah belajar mengaji, diajarkan langsung oleh bapa, sehingga di usia 6 tahun saya sudah tamat juz amma (dulu belum menggunakan Iqra). Saya pun didaftarkan jadi siswa TPQ di masjid ini, tepatnya kelas 2 SD kala itu. Saat ditanya ustad, “apakah sudah bisa membaca tajwid dengan lancar?” saya jawab “belum,” (tentu saja saya berbohong). Akhirnya saya disuruh belajar kembali dari Iqra. Saya dan teman-teman akan datang 30 menit sebelum maghrib, lalu bermain hingga azhan tiba. Selesai maghrib, kami mengaji dan diuji oleh ustad, jika sudah lancar akan dipindahkan ke halaman berikut. Begitu setiap harinya, hingga dua atau tiga bulan berikutnya saya sudah naik ke al-qur’an ‘besar’ dan setahun kemudian saya sudah khatam al-qur’an. Doa selamatan dilakukan di masjid dan rumah (tidak ada serimonial wisuda seperti sekarang). Bapa dan mama sangat senang. Saat di rumah, mereka sering meminta saya meniru gaya mengaji bapa (tilawah, mengaji dengan ritme) dan ketika saya lakukan, mereka akan senyum-senyum, sebenarnya menertawakan saya (mungkin jelek dan saya paksakan agar terlihat bagus).

Jadwal pengajian di masjid berlangsung dari ba’da maghrib hingga menjelang Isha. Sehabis Isha, biasanya kami akan langsung berlarian pulang atau terpaksa menunggu jika ada rapat. Rapat itu biasanya membahas pembayaran iuran listrik dan evaluasi kenakalan kami. Suatu hari, menjelang 1999, Almarhum Ustad Agil (semoga damai di sana), yang dikenal ramah dan tak pernah marah, memberikan petuah di akhir rapat, “kalian harus berilmu agar terhindar dari... Sebentar lagi era perdagangan bebas...,” saya lupa redaksinya, yang jelas dia menyebutkan ancaman saat era perdagangan bebas nanti. Jelas saja waktu itu kami semua bingung dan tak mengerti apapun, bahkan saya dan beberapa teman justru ingin segera pulang. Ceramah ustad membuat perut semakin melilit, lapar. Pulang ke rumah memiliki kisah tersendiri. Kami bertiga (semua perempuan, dua lainnya kembar) akan mengendap-endap mencuri mangga di sebuah rumah belakang masjid. Ranting pohon mangga itu jatuh ke balik pagar kayu, hingga buahnya hampir menyentuh jalan aspal tempat kami lewat. Si kembar paling penakut, mereka selalu mewanti-wanti dengan dosa, “tenang, ini bukan pancuri. Torang cuma ambe yang torang lia jadi tara apa-apa,” begitu saya menjelaskan kurang lebih. Aneh, tidak logis tapi diterima sebagai alasan bagi mereka untuk ikutan mencuri.

Oh ya, saat kelas 6 SD saya berhenti mengaji dan selalu mencari alasan untuk tidak shalat di masjid ini. Tahu kenapa? Saat itu saya sedang suka dengan seorang cowok, teman ‘seperguruan’ (saya lupa namanya), dan tiba-tiba ada kejadian memalukan yang bikin saya enggan bertemu muka dengan dia, ustad dan teman-teman lain. Menjelang maghrib saya berkelahi dengan seorang anak perempuan, cantik dan tinggi (keturunan Arab bermarga Albaar), kami saling menjambak mukena dan kemudian dilerai ustad. Saya benar-benar lupa apa sebabnya (semoga bukan karena rebutan cowok itu, ya Allah. Amin). Seingat saya semua teman-teman memojokkan saya dan membela dia, termasuk si kembar. “Ikh... tara cantik baru. Kaka deng ade biar itam tapi dong manis, daripada ngana,” begitu umpatan-umpatan mereka terhadap saya, diselingi dengan pujian untuk si kembar agar mau memihak pada mereka. Sialnya... Kebiasaan melorotkan kain teman yang sedang shalat, kali ini menimpa saya. Itu dilakukan oleh semua teman-teman perempuan saat shalat Isha. Saat kain saya diturunkan, saya naikkan, diturunkan lagi, saya naikkan lagi, begitu terus hingga waktu ru’ku rakaat ketiga tiba. Kebetulan perut saya mulas. Awalnya saya pikir ini bisa jadi kesempatan balas dendam dengan mengentuti mereka: menghadiahkan aroma kentut pada para antagonis itu. Dan ternyata... saya memang mengentuti mereka, tapi dengan suara yang menggema ke seluruh ruang masjid. Hampir semua jama’ah terkekeh (anak kecil, juga orang dewasa). Saya pun berlari keluar tanpa menyelesaikan shalat. Saya menunggu si kembar di belakang masjid. Saat ketemu, mereka bercerita bahwa ustad menginterogasi teman-teman dan meminta saya diajak kembali ke masjid. Mereka juga cerita kalau teman-teman cowok ikut menertawakan adegan kentut saya. OMG! Tidaaak... Takkan lagi saya ke masjid.

**

Sesampainya di masjid, saya dan mama duduk bersandar di dinding, tepat di pintu masuk sebelah kanan. Setelah meletakkan koper, bapa lalu pamit kembali ke komplek. Berjaga-jaga dengan laki-laki yang lain. Komplek kami berada di perbatasan, di sebelah batas hutan belukar sudah menjadi wilayah Obet. Di komplek kami sendiri, ada dua keluarga Obet. Kami sangat akur dan sudah seperti keluarga. Anak-anak mereka berteman baik dengan saya. Bahkan setiap natal dan tahun baru, bapa selalu memberi satu-dua ekor bebek kepada mereka. Meski bapa peternak bebek, tapi kami sekeluarga tidak memakannya. Saya pribadi termasuk pemilih makanan, bebek bagi saya sama dengan ikan air tawar (lele, nila, bandeng, mas, dkk), walaupun diolah menjadi kuah atau tumis dengan racikan bumbu yang menggugah selera, tetap saja aroma tanah basah (becek) selalu menghinggapi indera penciuman saya. Satu keluarga (tepat sebelah kanan rumah kami, hanya dipisahkan oleh jalan) telah pindah ke Wosia, Tobelo Tengah sekitar tahun 97 atau 98, lagi-lagi saya lupa.

Keluarga lainnya tinggal di belakang rumah kami dan sejak pecah kerusuhan Ambon pada Januari 1999, mereka tak lagi terlihat. Anak laki-laki dalam keluarga itu seumuran saya, namanya Rino. Saat TK, kami bersekolah di lokasi yang sama: TK Dharma Wanita, sekolah swasta berbasis keyakinan Budha dengan mayoritas pengajar nasrani dan siswa dengan beragam latar belakang (dominan Kristen dan Islam). Rino memiliki seekor anjing peliharaan. Saat itu natal 1995, seperti biasa, saya dan kembar bertandang ke rumahnya: batambaru. Kami tidak pergi bersama orangtua, sebab mereka pasti marah-marah kalau tahu tujuan kami. Setelah orangtua kami pulang, kami pun masuk dan memberi salam. Mamanya Rino menyuguhkan minum dan membuka toples kue serta permen, kami hanya minum tanpa menyentuh yang lain. Dia rupanya mengerti, sehingga berdiri dan masuk ke dalam kamar. Tak lama berselang, dia keluar membawa apa yang menjadi tujuan kami: ampao (uang tambaru). Kami pun bersorak dan pamit pulang sembari mencium tangannya (kebiasaan berperilaku pada orangtua muslim yang terbawa-bawa). Sssttt... Saat mama Rino masuk ke kamar, separoh isi toples kue dan permen telah berpindah ke kantong (tas) kami masing-masing. Rino tahu akan hal itu dan sengaja mengusili kami. Saat hendak keluar dari halaman rumahnya, Rino melepaskan si anjing untuk mengejar kami. Saya yang ribet dengan baju Cinderella dan sepatu ber-hak paling lambat berlari, dan... benar saja, si anjing berhasil menggigit betis saya yang memang sudah penuh dengan ‘tatto’ alami. Saya pulang ke rumah dengan menangis sejadi-jadinya. Bapa lalu membasuh betis saya dengan tanah (ritual yang hari ini tak lagi saya indahkan karena sudah lebih akrab dan sering dijilati anjing), tanpa mengobati luka bekas gigitan.

**

Sekitar pukul 9 malam, suasana di dalam masjid kian riuh sesak. Seorang perempuan menjerit kesakitan, air ketubannya pecah dan akan segera melahirkan. Bidan yang tinggal di depan masjid sudah berangkat ke Ternate pagi tadi. Ibu-ibu kemudian secara swadaya menginisiasi proses kelahiran. Si ibu hamil diangkat ke tempat imam, sebelah kiri mimbar, kain-kain dikumpulkan, sebagian digunakan sebagai tirai dan yang lain dipakai untuk proses lahiran. Tak kurang dari sejam, si dede bayi pun memecah tangis. Suasana haru menyelimuti masjid ini. Mama yang begitu ingin memiliki anak lagi langsung berbisik, “ini kalo sabantar tara jadi kerusuhan, tong minta piara anak itu eee...,” saya menatap mama dengan ekspresi bingung, mencerna setiap kata-katanya dan berakhir dengan simpulan pertanyaan. Bagaimana bisa dia sempat memikirkan mengadopsi bayi dalam kondisi tegang seperti itu?

Jelang tengah malam, bapa menghampiri kami dengan wajah lesuh. “So tabakar. Katong pung rumah deng komplek so abis tabakar,” keluhnya. Mama pun menjawab,”biar sudah, yang penting katong bisa selamat. Barang masih bisa katong cari.” Kami lalu keluar ke jalan di depan masjid, dari sini kami melihat api yang melahap rumah kami memenuhi langit dengan kepulan asapnya. Malam itu, para lelaki bergantian jaga. Perempuan dan anak-anak tidur di dalam, teras dan halaman masjid. Saat fajar menjemput, kami diminta kembali harus melanjutkan ‘pelarian’, menuju ke Masjid Kampung Baru. Perempuan dan anak-anak naik ke atas truk. Tangan saya terlepas dari mama ketika akan naik. Kami pun terpisah, mama dan sepupu saya berdesakan di bagian depan, sementara saya di belakang berusaha menengadahkan kepala agar tetap bisa bernapas di tengah himpitan orang-orang dewasa. Mama gelisah karena tidak menemukan saya, “kalo tara dapa Tuti, lebe katong mati lai jua eee,” pinta mama pada sepupu saya, yang dengan bodoh diiyakan olehnya. Truk ini hanya dikawal 3-4 anggota TNI. Untunglah tak ada apapun yang terjadi, kami dibiarkan melewati tiap kampung dengan selamat.

Kurang dari 20 menit, kami tiba di masjid yang dituju. Saya turun terlebih dulu dan bertemu dengan bapa. Bapa menyuruh saya berdiri di samping pagar masjid, dia sendiri pergi mencari mama dan sepupu saya. Saya kaget saat mama berlari menubruk dirinya pada saya. Dia memeluk saya dengan sangat erat. Sepertinya dia mengira saya sudah mati. Di dalam masjid, bapa dan para lelaki mulai bersiap untuk berperang. Mereka mulai dengan mengambil wudhu, kemudian mengikat kepala dengan secarik kain putih. Lalu saat berikutnya, mereka diantar keluar oleh seorang tetuah di pintu masjid. Beberapa orang membawa gerobak berisikan alat perang: mulai dari batu, pana-pana wayer, tombak, dan parang. Saya dan beberapa perempuan, juga anak-anak menangis meminta agar bapa dan suami mereka tak ikut berperang, tapi seorang ustad marah-marah kepada kami dengan menggunakan beberapa lafaz Arab yang tak kami mengerti. Intinya, dia berkata kami harus mengikhlaskan para lelaki berjihad dengan nama Allah. Ternyata si ustad sendiri tidak ikut berperang dengan alasan sakit serta menjaga perempuan dan anak. Saya tak pernah sedikitpun melupakan itu.

Saat bapa bersama laki-laki lain keluar dari masjid dan bertakbir sembari menuju ke lokasi perang, saya pun berlari keluar dan menonton dari kejauhan. Dengan jarak pandang kurang dari 200 meter, saya melihat pasukan dengan baju dan ikat kepala merah berdiri di seberang sungai. Mereka berperang dengan menjadikan sungai sebagai batas. Bapa beberapa kali bolak-balik ke masjid untuk minum. Tubuhnya masih utuh, tanpa luka apapun. Ia juga tampak kekar, sekalipun sedikit pucat. Perang itu berlangsung hingga hampir tengah hari. Beberapa orang mulai tumbang. Ustad Agil, salah satunya. Dia dipanah dan ditombak pada bagian dada, tapi masih hidup. Pasukan jihad dari Ternate dan Tidore yang dijanjikan sebelumnya tak kunjung tiba membawa pertolongan. Kami kian tersudutkan. Saat diminta bapa mencarikan air ke rumah-rumah di sekitar masjid, saya berpapasan dengan puluhan laki-laki berjubah putih yang berjalan dari arah pantai menuju ke masjid. Awalnya banyak yang mengira mereka adalah pasukan jihad dari Ternate, ternyata mereka dari Pulau Tolonuo.

Truk-truk segera dikirimkan untuk mengangkut perempuan dan anak-anak, disertai dengan 3-4 orang anggota TNI di atasnya, untuk dibawa ke Kompi, tempat penampungan sementara. Seorang tetangga kami membawa mobil puskesmas, sehingga ia diperintahkan untuk mengantarkan Ustad Agil ke lokasi penampungan. Kami (beberapa tetangganya) pun ikut dengan mereka. Saya, mama, sepupu, bapa, oom dan beberapa tetangga sudah berada di atas mobil, ketika mereka meminta laki-laki untuk turun dan menaikkan Ustad Agil. Mama pun meminta agar bapa dan oom dibiarkan saja untuk memangku ustad. Syukurlah tawaran mama diterima, sayangnya suami salah satu tetangga sudah terlebih dulu turun. Mobil kami berada di tengah, dihimpit oleh dua truk di depan dan belakang.

Jarak tempuh dari Masjid ke Kompi cukup jauh dan harus melewati banyak sekali kampung-kampung Obet. Istri si ‘sopir’ yang duduk di depan disuruh mama untuk melepas jilbab. Sepanjang perjalanan, orang-orang menari cakalele dengan pukulan tifa. Cakalele adalah tarian perang orang Maluku saat melawan penjajah, namun saat itu cakalele dijadikan sebagai ritual memerangi basodara. Mobil berjalan dengan kecepatan sangat rendah. Saya tak ingin melihat keluar, membayangkan ketegangan yang mungkin akan terjadi. Saya menatap ke arah ustad, “maaf ustad, kita tara pernah bale mangaji di masjid lagi. Kita malu, ustad,” dalam hati saya memohon maaf pada ustad saya yang terkulai lemah, tangannya saya usap, airmata kembali menetes. Dua hari kemudian, sang ustad pun berpulang. Meninggal.

Tiba di Kompi (dengan selamat), bapa dan oom sibuk mencari tempat untuk hunian kami. Tetangga perempuan terus menangis dan menunggu serta mengecek suaminya pada setiap truk dan mobil yang baru tiba. Saya dan mama berjalan menyusuri halaman depan Kompi hingga ke dalam RS. Kami melihat begitu banyak orang terluka. Darah berceceran di mana-mana. Korban-korban dengan luka berat hanya diinfus dan dibiarkan terkapar di sepanjang teras dan halaman RS. Di teras belakang RS, saya mendapati bapa salah satu teman laki-laki saya. Tubuhnya hancur, kulit hangus, tulang-tulang patah dan retak. Sebuah bom molotov dilempar ke arah mereka namun tidak langsung meledak. Si bapa lalu mengambil bom tersebut untuk dilempar balik ke arah musuh, sayangnya bom itu meledak sebelum dilempar. Darah terus keluar dari tubuhnya dan mengalir ke dalam selokan. Suara napas dari tenggorokan menyertai gumpalan darah yang ikut keluar dari mulut. Mama mendekat ke kepalanya, berbisik pelan. Katanya, dia membantu bapa teman saya mengucapkan syahadat karena beliau sedang menghembuskan napas terakhir. Dan benar saja, tak lama berselang bapa itu pun tak lagi bernapas. Sekali lagi, saya menangis.

Saya pernah berkelahi dengan teman laki-laki itu, karena mereka suka usil meletakkan kaca di atas sepatu dan berpura-pura duduk di depan kami untuk melihat warna CD kami. Selain itu, saya dan kedua sahabat di SD juga pernah mencuri jambu milik mereka. Di belakang rumah mereka ada sebuah pohon jambu. Saat kami pulang sekolah dan melewati belakang rumah itu, kami melihat pohon jambu sedang menghasilkan banyak buah. Tanpa pikir panjang, kami bertiga pun melompati selokan besar untuk sampai ke pohon jambu tersebut. Setelah itu, kami masih harus memanjat untuk mengambil buahnya yang cukup tinggi. Saat sedang mengambil jambu dari atas pohon, salah seorang teman kami lewat dan memanggil-manggil bapa teman saya itu. Si bapa langsung keluar dari dapur, tapi tidak melakukan apapun. Kami bertiga panik dan langsung loncat dari atas pohon, kemudian berlari hendak melewati selokan besar tadi. Kedua teman saya yang lebih tinggi dari saya berhasil melompat dengan sempurna. Saat giliran saya tiba... bufh! Tubuh saya tertelan selokan. Untunglah airnya hanya setinggi lutut. Saya pun menjadi badut yang membuat ketiga teman terbahak dan terpingkal-pingkal.

**

Bapa membawa kami ke sebuah rumah yang dekat dengan pantai. Saya pikir kami akan tidur di dalam rumah itu. Ternyata salah besar. Selama delapan hari kami tinggal di Kompi, kami hanya bisa tidur di teras sebab di dalam rumah telah penuh dengan orang. Saya tidur persis di sebelah selokan kecil. Pernah suatu malam, saya lupa malam ke-berapa, saya tidur dan banyak gerak, lalu terjatuh ke dalam selokan. Untunglah ada beberapa tas di dalamnya.

Makanan sangat susah di sini. Ketika truk-truk datang membawa bahan makanan, orang-orang berebut hingga habis. Mama membawa uang tapi tidak bisa dibelanjakan. Tidak ada barang, tidak ada makanan yang dijual. Anak tetangga yang baru berusia 10 bulan bahkan disuapi sagu yang sebelumnya telah dikunyah si ibu. Saya sampai terserang magh akut. Oh ya, selama di sini saya tak pernah BAB. Saat merasa mulas, mama mengantar saya di subuh hari ke pantai. Ternyata di sepanjang pantai sudah dipenuhi dengan orang-orang yang sedang ritual buang hajat berjamaah. Saya pun menolak dan tidak lagi mau pergi ke pantai. Sungguh disayangkan, saya memang bernasib untuk lagi dan lagi mengunjungi pantai dengan hiasan kotoran manusia ini. Tiga hari setelah mengungsi di sini, sebuah kapal AL berlabuh dan mengangkut para pengungsi. Sayangnya, setelah menunggu berjam-jam dengan menghirup aroma tak mengenakkan itu, kami belum juga mendapatkan giliran. Prioritas yang diangkut kapal ini adalah orang-orang yang terluka. Hari kelima, kapal AL kedua merapat dan lagi-lagi kami belum mendapat giliran. Hingga hari kedelapan, kapal AL ketiga berlabuh di tengah laut, bapa dan oom mengambil sampan lalu menaikkan saya, mama dan sepupu, dan mengantarkan kami naik ke atas kapal. Setelah itu mereka bolak-balik mengambil para tetangga kami.

Tiba di atas kapal, rasanya jauh lebih melegakkan. Hal yang paling saya rindukan kala itu adalah ikan goreng dan dabu-dabu (sambal). Bibi saya, kakaknya mama di Ternate dikabarkan beberapa kali pingsan karena tidak mendapatkan kabar keberadaan kami sama sekali. Saluran telepon dan listrik memang mati total. Saat kapal mulai berlalu meninggalkan Tobelo, saya terkaget dengan pemandangan menyedihkan di atas kapal ini. Seorang bocah laki-laki usia 7 atau 8 tahun, di lehernya bertengker pana-pana wayer. Saat bernapas, kedua ujung anak panah itu ikut bergerak turun-naik. Mereka hanya menampal kedua sisi dengan kain, agar bisa mengurangi pendarahan. Saya menangis dan menutup wajah ke dalam pelukan bapa.

Keesokan harinya, 4 Januari 2000, kami tiba di Pelabuhan Ahmad Yani Ternate. Saat menuruni anak tangga kapal, ratusan orang sudah memenuhi jembatan pelabuhan. Saya berjalan dengan pincang dan beberapa ibu mengelus kepala saya sembari menangis, “ya Allah, ngana pe kaki bikiapa nak?” saya pun menjawab dalam kebingungan,”saya pe kaki tara apa-apa, tante. Ini saya bajalang pincang barang saya pe sandal sabalah putus,” si ibu langsung meringis, seakan menyesal sudah berbaik hati pada saya. Ah sudahlah, yang penting kami akan segera ke rumah tante dan oom di Ubo-Ubo, di sana kami akan makan banyak makanan, termasuk ikan goreng dan dabu-dabu kerinduan saya.

Kesenangan itu hanya berlangsung sekilas. Saat saya melangkah keluar dari kerumunan, saya melihat beberapa tubuh laki-laki tergeletak di atas jembatan. Tak bergerak sama sekali. Sepertinya telah mati. Menurut cerita yang saya dengar, mereka berjumlah 7 orang. Masihkah perang ini berlanjut? Kenapa di sini orang-orang juga membunuh? Kenapa mereka tidak berbeda dengan orang-orang di sana? Begitu saya terus bertanya. Perang terus berlanjut hingga orang-orang yang berbeda benar-benar punah dari setiap negeri mayoritas.

***