Tuthy Feminisosialistha

Selasa, 23 Desember 2014

MOR



Mata Air jadi Air Mata


AIR. Gemericiknya berpadu dengan nyanyian burung-burung. Aroma cengkeh dan pala menyeruak ke seantero ruang hijau. Daun-daun kuning berguguran. Jatuh. Jatuh menempah tanah basah. Ah... bau tanah basah itu. Basah setelah disetubuhi embun malam tadi. Oh... terlalu basah dan sedikit becek. Mungkin semalam rinai hujan pun turut membasahi tubuh Bumi Mor.

Air... gerombolan anak-anak tengah bercengkerama, membangun cerita masa di sana. Sebagian bermain air di dalam kolam renang alami yang lahir dari rahim bumi: Sungai. Sebagian lagi saling kejar sembari tangan-tangan kecil mereka menarik benang panjang, yang dibawa terbang bersama layangan ke angkasa biru. Awan-awan putih tak kabut, cerah tak mendung.

“Awas pohon!” seru Mor, gadis berambut keriting sebahu itu. Bola mata besar Mor yang memancar kesejukan seperti namanya yang berarti air, terbelalak hampir saja keluar saat ia melihat layangan milik temannya, Kenanga yang hampir saja mengenai sebuah pohon cengkeh di samping kiri sungai.

Mor dan Kenanga. Gadis belia usia 10 tahun memang tengah bermain layangan bersama tiga teman lelaki mereka. Di sini tak ada aturan layangan adalah mainan untuk para anak lelaki. Mereka, anak-anak berkulit coklat itu bermain tanpa mengenal batas-batas kelamin. Seperti air yang menghilangkan dahaga pada semua makhluk hidup tanpa batasan: entah manusia, hewan atau tumbuhan. Ah sayang... air memang tidak memberikan batasan pada siapa dan apa dia akan bermanfaat, tapi air sendiri tidaklah linear: AIR ITU BERBATAS!

Ungu pada senja sebentar lagi menghantarkan surya bertolak ke lapisan bumi lain dan gelap segera menggantikan hari. Air sungai sudah sangat dingin. Udara sekitarnya juga mulai lebih sejuk. Anak-anak tanpa baju—lelaki juga perempuan—itu, berkejar-kejaran menuju pemukiman yang tak berada jauh dari sungai tersebut. Mor dan Kenanga bangkit dari dalam air setelah sebelumnya menceburkan diri ke sungai, mereka lalu berlari dengan tubuh menggigil: berlari mengejar yang lain.

**

AIR laut itu biru. Ikan-ikan berlimpah di atas dan dalamnya. Di laut dangkal, ikan teri dan udang tumpah ruah. Teripang dan gurita apalagi. Beberapa ekor lumba-lumba melompat riang di tengah teluk itu.  Pesisir masih panjang. Pasirnya putih. Nyiur masih rajin melambai memberi pesan di sekitar bibir pantai.

Air laut itu asin. Perahu-perahu nelayan melaju ke kedalaman sekian ratus meter. Bahu legam itu memikul beban lapar para sanak. Tangan-tangan berkulit hitam sibuk mendayung hingga jauh. Laki-laki berambut ikal kusut, mata tajam memerah dan bibir hitam tebal sedang menyeruput sebatang tembakau. Ia mengenakan kaos oblong kuning berlambang salah satu partai politik negeri ini, mulai robek di sana-sini, serta celana selutut abu-abu menutup bagian bawah tubuhnya, ah mungkin warnanya putih tapi memudar dan kotor. Amis tubuh berotot itu seperti menyaingi bau sebokor ikan cakalang, kerapu dan goropa yang dibawanya.

“Airnya Mor,” pinta laki-laki berusia 35 tahun itu kepada Mor yang menyambut sang papa di pantai teluk ini. Sebelumnya senyum Mor merekah melihat perahu sang papa mulai mendekat ke pesisir. Setelah mengikat dan menyimpan perahunya di pantai, papa lalu bertati ke arah putri tercinta. Mor pun langsung memberi air kepada papanya. Laki-laki bernama Pedeke itu lalu meneguk air di dalam batang damar tersebut hingga tetesan terakhir, habis. Mor langsung merobohkan tubuh ke pelukan sang papa. Ia tak sedikitpun jijik, walaupun bau amis itu kian menyengat.

Beberapa lelaki dan perempuan tampak sedang mengangkat jemuran kasia (udang halus) di sepanjang utara pantai. Kasia yang telah dikeringkan akan diolah menjadi terasi tradisional berbungkus daun woka. Orang lainnya terlihat tengah asyik membakar ikan-ikan hasil tangkapan siang itu, sembari beberapa diantara mereka bercengkerama dan tertawa renyah. Anak-anak lebih banyak bermain: batobo, berenang di laut. Sebagian dari bocah-bocah itu berlarian, saling kejar. Permainan tradisional: boi pante menjadi pilihan mereka. Mor tidak tergoda melihat semua itu. Ia justru mengambil dua ekor ikan dari dalam bokor yang masih dipegang sang papa, lalu berlari menuju rumah. Sang Air itu tak sabar nikmati malam sambil makan ikan kerapu bakar, ditambah dengan dabu-dabu rica kesukaannya. Hmmm...

Malam itu memang selalu dinanti oleh semua orang kampung, tidak hanya Mor. Ada sajian limpahan makanan tradisional yang lezat dan sehat. Juga tarian dana-dana, lalayon dan tide-tide diiringi tabuh tifa yang disukai muda-mudi kampung ini. Beberapa laki-laki juga akan tampil bernyanyi dan bermain perkusi. Memainkan musik bergenre yanger. Ya, pesta kampung atau pesta adat menyambut natal akan digelar malam ini.

**


MOR dewasa. Usia 30 tahun. Air mukanya tidak secerah dulu. Bola mata itu mulai mengecil dan tak lagi memancarkan sejuta mimpi akan masa depan yang telah pupus. Mor begitu cinta pada air dan tanah moyangnya. Ah... Mor... Air... Dia selalu memberi kesejukan dan meredam dahaga.

“Itu cerita dulu. Semua berubah sejak Tahun Anggrek itu. Sebuah perusahaan emas datang dan orang-orang mulai menukar tanah dengan uang, hutan dengan mobil dan air dengan rumah,” Mor berkisah sembari tertunduk lesuh, tatapannya menerawang.

Mor... Air teduh itu. Ia berjalan menyusuri kampung bermotif ‘kota’ ini. Langkahnya terhenti di depan sekolah dasar. Tatapannya tajam mengarah ke sebuah papan bertuliskan: MALAS PANGKAL MISKIN, RAJIN PANGKAL KAYA.

“Dulu kami tidak mengenal miskin atau kaya. Yang kami tahu hanya melaut dan berkebun. Semua orang bekerja. Laki-laki juga perempuan. Tapi kami juga masih punya banyak waktu beristirahat. Semua orang. Tidak ada yang jadi boss di sini!” tegas Mor... Air menyejukkan batin.

Perusahaan itu hadir dengan memberikan mimpi-mimpi pada Mor dan warga kampung ini. Mimpi bernama ‘Pembangunan’ dan ‘Kemajuan’. Lalu Mor kecil melihat begitu banyak praktek perampasan tanah dan pembakaran hutan untuk pembangunan; juga semakin banyak petani menjual tanah, warisan bagi generasi; lalu mereka menjadi petani tak bertanah atau buruh upahan atau mereka sendiri menyebutnya budak korporasi yang dihisap tenaga dan jam kerjanya.

Mor juga menyaksikan pemandangan aneh di kampungnya. Orang-orang tak lagi melaut dan berkebun. Wajah mereka masih tetap sama tapi penampilannya berbeda. Sebagian kecil mereka telah menjadi orang-orang berdasi yang wangi, kontras dengan sebagian lainnya yang berpakaian lusuh, dekil dan bau. Ia mendengar begitu banyak jerit kelaparan. Tapi Mor juga mendengar tabuh irama musik yang belum pernah didengar sebelumnya, sembari menyaksikan limpahan makanan ‘asing’ tersebar dan tak tersentuh. Ia melihat malam-malam berhias cahaya, bukan dari bintang tapi lampu-lampu itu yang memancarkannya.

Mor... Air jernih itu melihat kehadiran wajah-wajah baru yang menakutkan. Wajah-wajah itu bernama pengemis, pengamen 'jalanan', tenaga kerja ke luar negeri, pembantu rumah tangga, buruh cuci, tukang ojeg, sopir angkot, taksi, truk, buruh transportasi, pedagang asongan, pedagang kaki lima, anak jalanan, pekerja seks, pemulung, bahkan diantara wajah-wajah dekil itu ada yang mengais sisa-sisa makanan pada tong sampah. Mor bingung dan mencari arah untuk kembali pulang. Tapi pulang kemana? Bukankah ia terlanjur berlari? Berlari mengejar teman-temannya yang telah jauh meninggalkannya: mengejar ketertinggalannya.

Ia melangkahkan kakinya. Kembali menyusuri jalanan beraspal. Mor... Air teduh itu benar. Di sini jurang kaya dan miskin itu kian menganga. Mobil-mobil mewah berderet rapi di tengah kemacetan; hotel-hotel berbintang menjulang tinggi; tindak kriminal meningkat; tubuh dan nyawa setara dengan kacang; mall-mall dan pasar modern yang menggusur keberadaan pasar tradisional; pakaian bermerk; makanan restaurant; makanan cepat saji (KFC, CFC, Mc Donalds, Humberger, Pizza) mengandung msg. “Kata orang pintar penyedap masakan itu adalah penyebab terbesar kanker,” Mor mengeluh.

Dan Mor... Air... Hak dasar itu pun tergantikan. Air kemasan yang membuat gengsi orang kampung menurun untuk melestarikan kebudayaan bersilaturahmi. Mereka semakin malu untuk sekedar bertamu meminta air ke rumah-rumah kerabatnya. Mereka lebih memilih menyodorkan seribu/dua ribu perak utk Aqua atau Fit ke penjaga kios. Lalu air sebagai kebutuhan dasar manusia dan makhluk lainnya yang disediakan alam dengan gratis pun wajib mereka beli.

“Oh... Lautku... Air lautku. Tak ada lagi ikan dan hasil lainnya di sana. Teluk ini penuh limbah dan dikotori minyak. Kapal-kapal perusahaan lalu lalang. Sianida membunuh ikan. Tidak ada lagi pesisir dan lambaian nyiur. Kini hanya ada timbunan tanah dan batu. Terumbu karang rusak. Ikan menjauh. Nelayan oh nelayan. Papa... ia tergerus melawan badai pembangunan itu...” Mor terus bercerita, sesekali tersendat di tenggorokan. Meluapkan marah.

“Air... Mor... Papa memberi nama Mor ini agar saya bisa menjaga mor, air dan tanah yang memberi kami hidup. Tapi apa yang bisa saya lakukan dengan tangan kecil ini?” sembari mengangkat telapak tangannya. “Sungai kami tercemar. Warna airnya coklat. Ikan-ikan mati mengambang berkandung merkuri. Badan sungai diperkecil untuk perluasan area keruk tambang. Tidak ada lagi perigi di sini. Air tanah juga meracuni tubuh. Oh... anak-anak harus minum air bersih dan sehat, sebagaimana saya pun dulu mengecapnya dengan kenikmatan. Tidak! Bagaimana bisa kami dipaksa membeli air padahal alam memberi gratis pada semua manusia? Bagaimana bisa perusahaan-perusahaan air kemasan itu menyerbu pasar di tengah derita kekeringan dan dahaga menerjang kampung kami?” Ia mulai berhenti sejenak, mengatur nafas dan mengontrol emosinya.

“Ma... mama... minta seribu beli aqua ya? Matari haus,” pinta Matari, putra kedua Mor, seketika membuatnya diam seribu bahasa. Matanya berkaca. Ditatapnya dalam-dalam malaikat kecilnya. Anak sekecil ini harus menanggung akibat dari dosa para ‘pelacur’ rakus. Anak itu sangat kurus dan dia menderita batu ginjal serta gangguan pencernaan. Rambutnya botak, kepalanya dipenuhi benjolan dari seukuran kacang hingga sebesar bola pingpong, dan kulitnya gatal-gatal penuh luka.

Setelah memberi selembar uang lusuh bergambar dua pulau dan seorang lelaki memegang pedang, kepada sang anak, Mor lalu melanjutkan kisah.

“Mor... Air adalah kebutuhan dasar kita. Tidak hanya manusia, hewan dan tumbuhan juga memiliki hak di atasnya. Lihat! Anak saya meminta uang bukan buat beli mainan, tapi dia memelas hanya untuk beli air. BELI AIR! Inilah warisan ‘pembangunan’ dan ‘kemajuan’ dari kita untuk anak cucu. Pernahkah kita berpikir bagaimana uang bisa menggantikan peran Mor bagi kehidupan? Bisakah kita menghilangkan dahaga dengan sebongkah emas? Bisakah tanpa sagu dan ikan kita kenyang? Bisakah orang-orang kaya itu memberi minum anak mereka dengan nikel dan tembaga? Tentu saja tidak. Tapi ternyata diantara kita ada yang lebih haus pada kekayaan dan kakuasaan, dari pada mewariskan air pada generasi,” tutup Mor, sang peneduh zaman, disertai setetes air mengairi kedua pipinya yang kering, sekering tandus Tanah Mor.

***

Senin, 22 Desember 2014

PARODI DILEMA: antara POLITIK ‘BAIK HATI’ dan PIDATO APEC




Memberikan grasi untuk Eva Bande
dan Tetap pada kebijakan politik perampasan ruang hidup?



Kebebasanmu adalah Hadiah Terbaik di Hari Ibu (22/12) Ini.

“Saya akan tetap berorasi,” Eva Bande.

PUAN berambut seleher itu tampil dengan kaos oblong dan celana jeans biru. Selendang tenunan lokal tak lepas dari pundak hingga dadanya. Boots tinggi menjadi alas kakinya. Ia menghadiri pertemuan aktivis perempuan yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan, dalam rangka membahas rekomendasi untuk sidang HAM (Desember 2013).  Sang puan tak menyampaikan sepatah katapun. Dia hanya duduk diam di sudut meja paling kanan belakang ruang meeting salah satu hotel berbintang di Jakarta tersebut.

Eva Bande namanya. Ya, dia adalah salah satu aktivis agraria yang dikriminalisasi oleh negara dan korporasi atas tuduhan melanggar pasal 160 KUHP (“melakukan penghasutan”). Salah satu pasal warisan Kolonial Belanda yang kerap kali digunakan sebagai alat meredam daya kritis dan perlawanan. Pada 2010, ibu tiga anak ini ditangkap dan ditahan oleh Polres Luwuk, Sulawesi Tengah dengan tuduhan telah ‘melakukan provokasi’ terhadap massa aksi hingga ‘merusak’ aset perusahaan sawit, PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) milik seorang kapitalis lokal bernama Murad Husain, yang juga dikenal sebagai ‘tokoh bisnis nasional’. Dimana PT. KLS ini telah melakukan praktek pembebasan lahan petani yang tentu saja mengundang gejolak perlawanan. (kronologi singkat ‘tidak mendalam’ dapat dilihat di sini http://politikerja.blogspot.com/2014/12/Eva-Bande-Saya-Akan-Terus-Orasi-Saya-Tidak-Akan-Berhenti.html)

Proses hukum dari sidang di tingkat pengadilan negeri, banding hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA) berakhir pada 2013, dengan vonis hukuman bagi Eva dan dua petani lainnya masing-masing tiga hingga empat tahun, dimana permohonan kasasi Eva ditolak oleh MA. Eva kemudian menjadi DPO dan ditangkap di Jogja pada awal 2014.


JOKOWI DAN ‘DAGANG SDA’ DI PERTEMUAN APEC

“Sekarang kita bicara tentang perijinan. Kami akan membangun kantor pelayanan nasional agar kami dapat sepenuhnya membantu, melayani dan memfasilitasi anda, agar memudahkan anda mendapatkan ijin bisnis. Sebagai contoh, hanya butuh tiga hari untuk proses perijinan tersebut,”
  
Kutipan di atas adalah salah satu rangkaian kalimat ‘jualan’ yang dipromosikan Jokowi dalam pertemuan dengan para pebisnis dunia tersebut. Jokowi berjanji akan memberikan kemudahan bagi investasi dalam mengurus perijinan dengan membangun sebuah gedung perkantoran khusus yang bisa langsung dipantau olehnya. Sebelumnya presiden dari ‘kalangan sipil’ ini menunjukkan peta kepulauan nusantara, diantaranya jumlah penduduk, luas wilayah laut, total luas wilayah dari timur ke barat, total APBN dan pemborosan subsidi BBM serta total investasi yang telah masuk. Lalu dilanjutkan dengan presentasi kebutuhan membangun infrastruktur untuk kepentingan laju arus keluar-masuk barang dan jasa kapital di seluruh wilayah Indonesia.


“Lima tahun ke depan kita ingin membangun dan memperluas 24 pelabuhan. Seperti yang anda tahu kami memiliki 17.000 pulau sehingga kami membutuhkan seaports adan deep seaports. Ini juga kesempatan yang bisa bapak/ibu masuki dalam memperbaiki infrastruktur yang ada di Indonesia.”

Pada kutipan ini, tampak sangat jelas orientasi dan arah kebijakan ekonomi bapak presiden yang satu ini. Sebuah kebijakan ekonomi neoliberal yang menegaskan bahwa Jokowi tidak berbeda dengan Megawati ataupun SBY, juga presiden-presiden dan politisi elit lainnya yang berkepentingan untuk menjadi calo bagi korporasi (tak terkecuali itu berlaku juga bagi Prabowo atau ‘oposan palsu’ lainnya). Sebuah pidato yang mencerminkan kepentingan besarnya melanjutkan mega proyek pemerintahan sebelumnya: MP3EI.

MP3EI atau Masterplain Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia. Sebuah proyek besar yang dilahirkan rezim SBY pada tahun 2011, yang bertujuan untuk pembangunan infrastruktur besar-besaran dan terbagi menjadi enam koridor ekonomi. Koridor-koridor ini berfungsi menyambungkan sarana transportasi antar pulau-kota-provinsi-region-negara. Tujuannya hanya satu: Memperlancar Laju Arus Keluar-Masuk Komoditi Kapital.

Proyek yang diklaim sebagai terobosan sejarah oleh negara dalam mengawali perjalanan percepatan transformasi ekonomi Indonesia.  Ya, tentu saja akan menjadi mega proyek bersejarah bagi Indonesia. Dimana praktek pembebasan lahan dan pengalih-fungsian kawasan semakin meluas. Dimana hutan, lahan gambut dan pohon-pohon akan ditebang-dibabat-dibakar; kebun-lahan pertanian-pemukiman akan digusur; laut terus ditimbun; urbanisasi meningkat; pemiskinan struktural dan masih banyak lagi, yang semua itu semakin memperkecil ruang hidup dan keselamatan mayoritas rakyat Indonesia di area-area koridor tersebut. Lalu mari menjadi kuli dan babu di atas tanah moyang, warisan untuk generasi yang menjadi bangkai atas nama ‘pembangunan’.

Belum lagi anggaran pembangunan yang tentu saja luar biasa. 100 miliar? Tidak, 1000 miliar? Tidak, satu triliun? Tentu saja tidak cukup.  Ribuan bahkan berpuluh ribu triliun. Dana itu didapat dari investasi yang berkepentingan mengeruk ‘sumber daya’ alam kita baik pada sektor hulu maupun hilir, baik migas maupun mineral, pasar (mall, perhotelan, KFC, Mc Donald, Hypermart, Multimart, Indomart dll) maupun perkebunan dan privatisasi kebutuhan dasar makhluk hidup: AIR untuk industri air kemasan. Semua itu tergambar jelas dalam Buku MP3EI 2011 dan diperkuat dengan pidato Jokowi pada pertemuan APEC kemarin. Lalu pembangunan yang belum atau tidak didanai oleh investasi, akan didanai oleh negara. Bagaimana bisa, sementara kita kerap kali mengalami defisit anggaran? Pasti bisa, karena kemarin pemerintahan hari ini telah membuktikan itu dengan memotong 30% hak (subsidi itu bahasanya pemerintah) rakyat atas BBM. Sebagian peralihan dana dari subsidi tersebut dialokasikan untuk pendanaan obsesi proyeksi pemerintah ini.

Tidak cukup dan tidak akan pernah cukup. Untuk apa bapak ‘populis’ ini menyebutkan jumlah penduduk disertai kepentingan meningkatkan sarana pendidikan formalnya? Jika bukan untuk ‘dagang’ tenaga kerja murah. Ya, dagang ‘SDA’ dan ‘SDM’. Iya Bapak Jokowi yang terhormat, kita sangat kompetitif sampai-sampai upah buruh kita ja...uh lebih murah dari buruh Tiongkok. Oh ya, ‘SDA’ kita juga bisa dikeruk dengan mudah oleh investasi, asalkan transaksi perijinannya berjalan lancar, pemerintah juga harus memberikan dukungan penuh bagi investasi yang bermasalah dengan pembebasan lahan. Kalau petani dikasih makan dua kali masih 'ngeyel' ya ditodong saja dengan senjata para serdadu. Kan APBN kita sudah banyak terkuras juga buat pertahanan dan pengamanan stabilitas serta kenyamanan investasi. BBM bersubsidi itu memang memboroskan anggaran negara, harus dialokasikan untuk sektor-sektor yang lebih ‘produktif’, agar jadinya rakyat tak perlu lagi 'diperbantukan' dari uang negara. Mendingan pajak rakyat itu dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, agar memudahkan jalur keluar-masuk komoditi. Ya alhamdulillah, kalau bisa dimanfaatkan sebagai transportasi rakyat.

LIHATLAH! Dengan sangat tidak manusiawi, seorang yang menampilkan dirinya ‘humanis’ dan gemar blusukan dalam lingkaran sistem setan ini, tampil di depan semua ‘mata rakus’ para penghisap dengan memperdagangkan alam dan manusia Indonesia, tentu saja dengan begitu murah atas nama KOMPETISI dan PERSAINGAN membangun kerajaan BISNIS.


PEMBEBASAN EVA BANDE bukan HADIAH JOKOWI
Karena Eva terus berjuang, kawan-kawan masih bergerak dan Jokowi hanyalah makelar modal

KAPITALISME hidup dari sebuah ideologi besar bernama: Pembangunan. Sebuah ideologi yang memaksa petani menjual tanah agar bisa menjalankan mitos ‘mengejar pembangunan’ yang sama dengan daerah-daerah yang diklaim lebih ‘maju’ dan ‘modern’. Uang hasil penjualan tanah untuk menyekolahkan anak agar tidak menjadi petani/nelayan; membeli televisi, motor, mobil, membangun rumah dengan arsitektur ‘modern’, menjadi buruh (karyawan/pekerja kantoran bahasa orang-orang 'modern') karena petani dipandang 'hina' sekalipun jam kerja tidak diatur dan alat produksinya dikuasai sendiri. Media sangat berperan dalam mengkampanyekan ideologi ini dan tanpa sadar kita pun turut memperkuatnya.

Pembangunan ini tentu saja tidak berorientasi pada keberlanjutan bumi. Semata-mata tujuannya untuk surplus dan monopoli ruang hidup oleh segelintir orang terhadap mayoritas orang lainnya. Dan segelintir orang ini menyebut mereka sebagai perwakilan masyarakat ‘global’, ‘modern’ dan ‘beradab’. Dan mayoritas yang berbeda dengan corak hidup yang sama dengan mereka didikte dengan pemilihan diksi negatif: 'tertinggal', 'tidak beradab', 'kuno', 'primitif' dan 'barbar'. Atau bahkan diadili sebagai 'separatis' jika menolak tanah dan hutan mereka dialihfungsikan menjadi tambang, sawit, pabrik, mall dan investasi lainnya. Vandana Shiva (1993) menyebutnya reduksi pengetahuan. Makhluk hidup (hewan, tumbuhan dan manusia) memiliki sifat alami untuk mereproduksi dirinya, tapi ilmu pengetahuan 'modern' hari ini justru merubahnya menjadi komoditas yang harus memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi modal. Kasus revolusi hijau dimana pembibitan dilakukan dengan menggunakan pupuk kimia seperti pestisida dan herbisida ke tanaman agar bisa subur dan tumbuh dengan cepat, lalu mempercepat proses akumulasi keuntungan, justru berdampak negatif bagi kesehatan manusia, serta menghancurkan reproduksi alami tanah, ditambah lagi dengan pencemaran terhadap air.


Lefebvre (1992) menyatakan politik penciptaan (penataan) ruang merupakan sebuah reproduksi ruang dalam konteks kontrol, dominasi dan akumulasi kapital. Dimana UU Penataan Ruang adalah bagian dari deregulasi peraturan perundang-undangan untuk mempermudah proses pengalih-kuasaan tanah, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan akumulasi modal. Masyarakat lokal akan semakin diserabut dari akar budayanya, kehilangan akses dan kontrol atas ruang hidup dan yang paling mendasar adalah keselamatan yang terancam. Maka memang benar bahwa tujuan tertinggi dari negara adalah untuk melindungi kepemilikan pribadi, sebagaimana dibahasakan oleh Engels (1887).

Dan Jokowi adalah perpanjangan tangan kapital dan negara untuk mensukseskan semua itu. Dia adalah bagian dari rantai sistem yang menggurita ini. Tak peduli siapa dia, dari mana asalnya, beragama apa dan berbangsa apa. Dia adalah alat politik bagi kelasnya: Kelas Pengusaha. Mendapatkan mandat menjadi penguasa untuk mempertahankan dan memperluas hegemoni dan status quo kerajaan bisnis mereka di Indonesia. Lantas masih pantaskah kita berucap terima kasih kepadanya karena telah memberikan grasi bagi Eva Bande?

"Saya tahu, yang diperjuangkan oleh Ibu Eva Bande adalah hak-hak rakyat, yang berkaitan dengan tanah, dengan lahan. Saya kira hal-hal seperti inilah yang terus harus kita perjuangkan," kata Jokowi dalam sambutannya pada puncak peringatan Hari Ibu. (http://nasional.kompas.com/read/2014/12/22/11585441/Pada.Hari.Ibu.Jokowi.Minta.Tak.Ada.Aktivis.Perempuan.yang.Ditangkap)

Tentu saja kita semua sangat gembira dan berbahagia atas kebebasan Eva Bande. Tapi saya (dan mungkin juga beberapa kawan) benar-benar tidak suka dengan komentar Jokowi yang sok populis di atas. Mencitrakan diri 'baik' pada para aktivis, ditengah kemarahan kita atas sikap ACUHnya pada represifitas aparat kepolisian terhadap ibu-ibu petani yang mempertahankan tanahnya dari perampasan PT. Semen Indonesia di Rembang; pembantaian dan penembakan brutal 22 warga sipil hingga menewaskan enam pemuda oleh koalisi bersenjata (TNI-Polri) di Paniai Papua; dagang alam di pertemuan APEC; melanjutkan mega proyek MP3EI; mendorong pembentukan KODAM secepatnya di Papua (lagi-lagi, dengan menggunakan logika kekerasan untuk menyelesaikan konflik Papua yang pastinya tidak akan berakhir dengan cara demikian); menenggelamkan perahu-perahu nelayan (tradisional) asing, lalu membiarkan ratusan korporasi perikanan menggusur area tangkap nelayan lokal, membiarkan korporat seperti Ibu Susi yang ‘baik hati’ itu menentukan harga dan pasar bagi nelayan hingga mereka tak pernah bisa berdaulat atas hasil produksinya sendiri; hingga terus saja memberikan legalitas bagi sawit dan tambang yang merajalela menggusur ruang-ruang hidup warga dari Sabang hingga Merauke. 



Mana mungkin ada keberpihakan terhadap aktivis HAM, agraria, perempuan, buruh, petani dan nelayan,  sementara semua praktek kekerasan oleh negara terus dilanjutkan sebagai kebijakannya? Bagaimana mungkin melarang adanya kriminalisasi aktivis agraria dan HAM ditengah maraknya praktek ‘legal’ perampasan ruang? SAYA MARAH! BENCI! MUAK! JIJIK! dengan politik-politik pencitraan yang ditampilkannya, juga para elit lainnya. KEBEBASAN Eva Bande bukanlah PEMBEBASAN! Kebebasan Eva Bande adalah hal yang mutlak! karena dia tidak bersalah, karena dia dikriminasilisasi, DIKRIMINALISASI! dan karena kebebasan itu didapat dari hasil perjuangan Eva bersama seluruh kawan-kawan yang setia membangun pergerakan mendorong pembebasannya. BUKAN karena 'POLITIK BAIK HATI'nya bapak Jokowi.

Karena Jokowi masih mengundang korporasi untuk merampas tanah, dan inilah menu penutup APEC pagi itu, “We are waiting for you to come to Indonesia. We are waiting for you to invest in Indonesia.”
***