PERTAMA,
tulisan ini didedikasikan bagi para nelayan. Semua nelayan, tak peduli
berbangsa apapun: Bugis, Halmahera, Alifuru, Buton, Jawa, Andalas, Borneo,
Celebes, Bali, Kupang, Mataram, Sunda, Papua; bernegara apapun: Indonesia,
Vietnam, Philipina, Malaysia, India, Arab, Jepang, Belanda, Inggris, Jerman,
Kuba, Venezuela, Mexico atau dari negara ‘adikuasa’ USA sekalipun. Kedua,
tulisan ini untuk kemanusiaan—yang kerap kali hilang dari logika sistem
negara.
Mari
melihat kembali kepentingan kelas dibalik lahirnya setiap kebijakan negara.
Tanggalkan hukum dan segala aturan formil yang meletakkan batas-batas teritori
pada para nelayan, sementara semua itu tidak berlaku bagi korporasi perikanan—baik
lingkup lokal, nasional maupun transnasional; entah legal atau illegal menurut
hukum negara. Faktanya, merekalah ‘pencuri’ sumber kekayaan laut terbesar di
dunia, yang mempersempit wilayah tangkap nelayan dan mengatur pasar ikan serta
hasil laut. Lalu memaksa nelayan tak memiliki kedaulatan menentukan harga dan
pasar distribusi.
Jika
pernyataan ini dipandang ‘bodoh’ dan salah kaprah, maka ilmu pengetahuan modern
pun harus diadili lebih tidak berperi. Ilmu pengetahuan berbasis kepentingan
segelintir tuan yang diadopsi dan diklaim sebagai pengetahuan global, lalu
diyakini dan diimani sebagai standar kecerdasan. Kemudian menegasikan
pengetahuan-pengetahuan lokal, bahkan dihakimi sebagai pengetahuan ‘primitif’,
‘tertinggal’, ‘kampungan’, ‘barbar’ atau ‘separatis’.
Jika
pengetahuan modern mulai bicara tentang kepentingan ekologi ‘palsu’, maka sejak
dulu, pengetahuan lokal dan tradisional itu telah beratus abad menjalankan
sistem produksi tanpa merusak alam. Kesadaran bahwa alam (tanah, tumbuhan,
hutan, air, biota dan ekosistem lainnya) mampu mereproduksi dirinya sendiri
sebagaimana perempuan, menancap sebagai bagian dari kebudayaan spiritual
pengetahuan-pengetahuan lokal tersebut. Pengetahuan tradisional ini tidak membutuhkan
bibit ‘racun’ pestisida untuk tanaman, juga pukat atau bom ikan untuk mengail.
Tapi
hari ini, ketika ilmu pengetahuan modern tersebut berkembang pesat seiring
dijaga ketat oleh perangkat hukum dan aparaturnya, produktifitas tradisional
itu pun dipaksa bersaing dengan koorporasi yang menggunakan teknologi modern. Semua
itu dikampanyekan dengan apik melalui media-media koorporat yang turut serta
menjadi pendukung. Karena persaingan yang sengaja diciptakan dan tanpa
perimbangan inilah, sebagian merasa frustasi lalu ‘melanggar’ hukum-hukum alam
serta hukum-hukum negara mengenai batas teritori. Ooopsss... tunggu dulu,
bukankah sebelum ada negara modern, bahkan berpuluh abad lalu, para nelayan
tradisional sudah melaut dan menyeberangi samudera hingga ke bangsa-bangsa lain?
NELAYAN VS NEGARA
DIA
berjalan mengitari tiap sudut kota pulau ini. Berpasang-pasang mata memandang
ke arahnya. Seorang lelaki paruh baya, kisaran 50-an tahun. Ia menggunakan kaos
berkrak dan celana pendek berwarna gelap. Sebagian kaosnya bolong dan sobek.
Sendal jepit kotor dan menipis menjadi alas kakinya. Setiap kali berpapasan,
yang terdengar dari suara yang keluar dari komat-kamit mulutnya adalah bahasa
yang tidak dikenal dan dipahami.
Lelaki
ini gila. Kerap kali ia bercakap dalam bahasanya seorang diri: saat duduk,
berdiri ataupun berjalan; ketika hujan, mendung ataupun panas. Ia juga sering
mengais sisa-sisa makanan dari tong dan bak-bak sampah di sepanjang emperan
toko dan depan jejeran warung makan. Sempat terlihat beberapa kali, satu-dua
orang pejalan kaki merasa iba, lalu memberi uang atau makanan padanya.
Belakangan diketahui bahwa lelaki itu merupakan seorang nelayan asal Philipina
yang kapalnya ditangkap oleh negara, karena dituduh ‘mencuri’ ikan di Perairan
Indonesia. Mungkin karena malu, beban utang dan tekanan psikologi lainnya
mengantarkan lelaki seperdua abad itu menjadi hilang akal sehat.
**
PADA
ruang dan waktu yang berbeda. Jum’at, 05 Desember 2014, delapan Nelayan Vietnam
diasingkan dari kapalnya dan ditempatkan di sebuah kapal milik TNI-AL. Dari
sajian gambar para jurnalis, nelayan-nelayan ini duduk bersandar pada pagar
anjungan kapal. Kapal nelayan ini dibakar dan ditenggelamkan oleh TNI-AL, yang
disertai dengan pengawasan melalui kapal dan helikopter. Saat pembakaran
berlangsung, ke-delapan lelaki dengan postur tubuh berbeda ini, memutar badan
dan posisi duduk lalu bertumpuh tangan di atas terali pagar. Mereka tengah
menonton aksi ‘heroik’ serdadu Indonesia. Seorang diantaranya, bahkan menyeka
mata dengan punggung telapak tangan. Mungkin menangis.
Sebelum prosesi pemusnahan kapal berkapasitas muatan kurang dari 100GT itu, para nelayan—yang juga disebut awak kapal oleh negara ini, disuruh berdiri sejajar dan merentangkan tangan ke atas. Mungkin untuk memastikan mereka memang nelayan tak bersenjata, atau mungkin juga hanya bagian dari prosedur penangkapan.
***
SAAT
media mainstream gencar memberitakan
sikap pemerintah membakar dan menenggelamkan kapal nelayan Vietnam tersebut,
yang tampak hanya dua perbedaan pandangan dari golongan dan kelas yang sama.
Media koorporat pertama—yang sejak awal mendukung pemerintahan, memamerkannya sebagai
sikap berani dan tegas yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, serta
menonjolkan sikap seorang nasionalis yang patut dicontoh. Sementara media
kedua—yang saham dan pimpinan direksinya dihuni oleh kalangan oposan ‘palsu’,
menyerangnya sebagai tindakan yang biasa saja dan justru akan mengancam
hubungan bilateral antar negara. Yang kedua ini tak perlu ditanggapi, karena
oposan ‘palsu’ ini juga akan berkawin dengan pihak lawan, ketika itu berkaitan
dengan kepentingan kelas mereka sebagaimana tergambar dalam sikap politik
mendukung pencabutan subsidi BBM kemarin.
Lalu
bagaimana dengan posisi kita? Pada kelas yang manakah kita berdiri? Di luar
dugaan. Sebagian kita merasa berbangga hati memiliki pemimpin negara seperti di
atas, bahkan turut serta mengkampanyekan sikap ‘heroik’ tersebut. Ada yang
karena memang melepaskan analisis kelas, namun tak sedikit juga yang punya
kesadaran kelas tapi telampau takut pada hadirnya militer, orba, sipil
reaksioner yang mengancam demokrasi dengan merebut dan kudeta kekuasaan. Lantas
apapun yang dilakukan oleh presiden 'demokratis'nya selalu dinilai baik dan
tidak lagi dikritisi sebagaimana kekritisan itu pernah subur di masa
pemerintahan sebelumnya. Akhirnya, kontradiksi pokok lagi dan lagi menegasikan
kontradiksi dasar.
Dari
banyak komentar dan argumen, sebagian besar menyebut hal itu untuk menunjukkan
‘kedaulatan politik’ kita sebagai negara merdeka. Intinya nasionalisme yang
dikedepankan, bukan kemanusiaannya. Sebagian lagi berdalih bahwa tidak ada
pelanggaran HAM di sana, karena yang dibakar adalah kapalnya, sementara para
nelayan telah lebih dulu diungsikan ke kapal TNI-AL. Ada juga yang mengatakan
bahwa akibat aktivitas ‘pencurian’ ikan oleh nelayan tradisional asing ini,
pendapatan nelayan lokal menurun. Dan yang terakhir dan seringkali membuat kita
terjebak adalah penggunaan logika hukum, dimana berdasarkan undang-undang
nasional tentang perikanan dan peraturan lain tentang batas-batas teritori,
maupun hukum laut internasional yang menyebutkan, bahwa penghakiman terhadap
nelayan asing yang ‘ceroboh’ adalah tindakan yang benar.
Yang
terakhir itu kita cukupkan sampai di sini, karena kita tidak akan berdebat pada
wilayah hukum positif negara-negara. Sejatinya semua hukum positif
negara-negara modern bercorak kapitalistik dirumuskan semata-mata untuk
kepentingan menjaga laju arus kapital. Hitung saja, bagaimana Pemerintah
Indonesia dikendalikan oleh koorporasi perikanan saat hendak meningkatkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau maraknya titipan regulasi berkaitan
dengan kepentingan koorporasi seperti UU Penataan Ruang, UU PMA, UU Migas, UU
Perikanan, PP MP3EI, UU Ketenagakerjaan, Penetapan Upah, bla bla bla...
Terlampau
banyak untuk diuraikan satu per satu. Intinya, negara—melalui aparaturnya—merasa
berhak atas tanah, laut dan kekayaan yang terkandung di atasnya, sehingga semakin
marak saja praktek perampasan ruang hidup dijalankan dengan berbasiskan
regulasi dan kekuatan serdadu, semata-mata demi kepentingan akumulasi kekayaan
penguasa modal.
Sejatinya
negara ini baru berdiri 69 tahun lalu, sementara nelayan tradisional telah
melaut menyeberangi dan melewati batas-batas pulau bahkan benua sejak
berabad-abad silam. Apakah ada perang nasionalisme dan batas-batas di sana?
Mari menjawab sendiri. Sebelum memperdebatkan pernyataan-pernyataan di atas,
mari simak cerita lain dari kisah yang sama.
NASIONALISME BATAS DAN BATAS NASIONALISME
KISAH
sama tapi tak serupa. Tak serupa hanya karena berbeda bangsa, bahasa dan tanah
air. Walaupun kisah dan kelasnya sama: NELAYAN.
Kapal
perahu bernama Ekta Sakti milik nelayan Oesapu-Kupang, NTT-Indonesia dibakar
dan dimusnahkan oleh otoritas keamanan laut Austalia. Tuduhan yang dialamatkan
pada para nelayan tradisional ini adalah ‘mencuri’ ikan di teritori perairan Australia.
Dimana menurut otoritas keamanan laut negara tersebut, para nelayan ini telah
menangkap ikan dan teripang di dasar laut. Itu berarti melanggar kesepakatan
antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah setempat, dimana wilayah tangkap
Australia berada di dasar laut sementara Indonesia di permukaannya saja. Sebuah
kesepakatan ‘irasional’.
"Ini
bukan kisah baru. Kami sudah berulang kali mengalami nasib seperti itu. Kami
tunjukkan GPS, namun mereka tidak menerima bukti rekaman GPS tersebut. Kami digiring
terus sampai ke Darwin dengan tuduhan memasuki wilayah perairan Australia
secara ilegal," ungkap Mustafa, nelayan asal Oesapa-Kupang, NTT kepada
media.
Para nelayan ini sedikit beruntung karena mereka memiliki perlengkapan GPS dan kapalnya dirancang khusus hanya untuk menangkap ikan dengan wilayah operasi di sekitar ZEE Indonesia, sehingga tuduhan otoritas keamanan perairan Australia terbukti tidak benar. Setelah bertahun menempuh sidang di Pengadilan Federal Australia di Darwin, Australia Utara, akhirnya para nelayan dinyatakan menang dan pemerintah negara kanguru itu diwajibkan membayar kompensasi sebesar 44.000 dolar Australia.
Berdasarkan
data konsulat RI di Australia pada tahun 2008, terdapat 253 nelayan tradisional
Indonesia yang ditahan otoritas keamanan laut Australia di Pusat Penahanan
Darwin. Artinya nelayan dimanapun dan dari bangsa manapun sedang terancam oleh
batas teritori negara-negara.
***
APA
yang terlintas dalam benak kita sebagai rakyat Indonesia saat pertama kali
membaca, mendengar atau menonton kisah barusan? Terlepas dari salah dan
benarnya nelayan kita di mata hukum negara. Marah, sedih, geram, kecam, iba
atau bahkan murka, bukan? Kenapa perasaan dan ekspresi demikian tidak terlintas
saat kita menyaksikan nelayan Vietnam mengalami hal yang sama? Sekali lagi
terlepas dari salah-benarnya mereka di mata hukum negara. Bukankah mereka juga
nelayan tradisional yang wilayah tangkapnya dibatasi teritori negara? Bukankah
mereka juga kelas pekerja yang tidak bebas menentukan harga dan pasar? Harus
ber-utang pada pemilik kapal? Melaut berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga? Hasil tangkapan yang dibeli murah oleh
korporasi perikanan sebagai penadah? Dilarang bertransaksi langsung dengan
konsumen? Apakah karena mereka bukan nelayan dari Indonesia? Bukankah nasib
mereka sama di semua negara-negara agen kapitalisme hari ini?
Lantas
‘kedaulatan politik’ seperti apa yang berhasil kita buktikan? Apakah dengan
mempraktekan ‘kejahatan’ yang sama, membakar dan menenggelamkan kapal nelayan
asing—tua, reyot dan mungkin masih dalam kondisi utang, maka kita telah
berdaulat secara politik? Apakah itu untuk menegakkan nasionalisme? Apakah nasionalisme
hanya bicara pada batas-batas? Ataukah memang kepekaan dan kepedulian kita
hanya berada pada batas-batas nasionalisme?
Jika
demikian, lantas kenapa kapal-kapal Freeport yang mengangkut ribuan, ratusan
bahkan jutaan ton emas dari tanah Papua tidak ditenggelamkan atas nama
nasionalisme? Kenapa kapal-kapal Chevron yang mengangkut jutaan barel minyak
dan memaksa kita ‘ikhlas’ dengan pencabutan subsidi, tidak dibakar atas nama
nasionalisme? Atau kenapa bukan kapal-kapal Eramet dan Mitsubishi, yang
mengangkut tanah-tanah mengandung biji nikel dari Halmahera yang dimusnahkan
atas nama nasionalisme? Bukankah kapal yang ‘mencuri’ kekayaan alam kita itu
milik korporasi asing?
Oh
iya, korporasi-korporasi di atas telah mengantongi ijin ‘pencurian’ dari
negara, sekalipun dampaknya jelas bagi nelayan, petani, buruh dan warga
setempat. Nasionalisme itu tak berlaku bagi korporasi asing yang sekelas dengan
penguasa-pengusaha kita. Ijin akan terus mengalir demi penumpukan surplus segelintir tuan. Tak peduli
pengerukan itu merampas serta mengancam ruang hidup dan keselamatan Warga
Negara Indonesia. Inilah nasionalisme kita. Maka waspada dan berhati-hatilah
dengan penyakit nasionalisme, pelan-pelan ia akan melenyapkan kepekaan, kepedulian
dan rasa solidaritas kita pada sesama, dan sampai pada stadium chauvinisme,
praktek fasisme dan rasisme dipandang lumrah serta menjadi sebuah keharusan.
AWAS NELAYAN ASING!
Siapakah
yang dirugikan? Nelayan, Negara ataukah Industri Perikanan?
"Apabila
ada sekitar 500-1.000 kapal motor asing yang ditangkap mencuri sekitar 100 ton
ikan, dikalikan Rp 90 ribu/kilogram ikan, artinya Rp 9 miliar kerugian negara
untuk satu kapal motor, kemudian kalau dikalikan 1.000 kapal motor, kerugian negara
sekitar Rp 9 triliun akibat pencurian ikan," tandas Susi, sebagaimana
dilansir merdeka.com.
Siapa
yang menentukan jenis-jenis ikan hasil tangkap nelayan? Siapa yang menentukan
harga? Apakah harga ditetapkan oleh nelayan? Ataukah sebaliknya, harga ditentukan
pengepul—korporat besar macam ibu menteri ini? Berapa lagi harga yang
ditentukan bagi konsumen? Berapa diskon yang wajib diberikan nelayan kepada
pengepul yang memborong hasil tangkapannya? Jika ini berkaitan dengan
keberpihakan pemerintah pada nelayan lokal/nasional, maka mari juga menghitung
jumlah kerugian mereka: dari hasil perasan korporasi perikanan terhadap nelayan
tradisional kita. Jangan lupa hitung juga berapa jumlah kapal-kapal besar milik
korporasi yang mempekerjakan buruh (nelayan tak berarea tangkap) dan
mempersempit atau menutup akses wilayah tangkap nelayan tradisional.
“Pasalnya,
kapal-kapal yang ditenggelamkan tersebut telah terbukti melakukan pencurian dan
beroperasi atas nama perorangan atau perusahaan tertentu, bukan atas nama
negara," ini kutipan pernyataan pimpinan teritori TNI-AL yang diambil dari
salah satu isi berita media online. Pernyataan di atas mengisyaratkan
keberpihakan kelas negara. Artinya jika kapal-kapal nelayan itu beroperasi atas
nama negara (pemerintah) asalnya dan mendapatkan ijin dari negara (pemerintah)
kita, maka pasti tidak bermasalah, apalagi sampai bakar-bakar kapal. Sayangnya
pengurusan ijin administrasi negara-negara tersebut hanya mampu dipenuhi oleh
industri perikanan besar, yang tentu saja tidak pernah bermasalah dengan hukum
positif. Semua logika itu menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak berkaitan
dengan kepentingan nelayan lokal.
Faktanya
kerugian itu dialami oleh negara dan bukan nelayan. Bukankah kas negara akan
mengalami lonjakan luar biasa melalui ijin-ijin dan setoran non pajak bagi
korporasi-korporasi perikanan? Tentu saja tidak hanya kas negara yang
bertambah, tapi dollar juga
berpotensi mengalir dan memenuhi kantong-kantong para oknum. Maka pernyataan
terakhir susi pada kutipan di atas ada benarnya, “kerugian negara sekitar Rp. 9
triliun akibat pencurian ikan,” dan negara selalu saja diwakilkan oleh penguasa
modal. Kerugian negara berarti kerugian bagi korporasi perikanan. Keberpihakan
itu pun semakin jelas, ketika negara justru memperlancar arus laju kapitalisasi
ruang kelola laut dengan program andalan bernama: MEGA MINAPOLITAN.
Apakah
semua kebijakan sistem negara itu tidak melanggar HAM? Semua orang juga tahu
(tak butuh sekolah untuk tahu itu) bahwa kapal nelayan Vietnam itu dibakar
setelah sebelumnya para nelayan ‘diamankan’. Seperti yang disebutkan, jika
nelayan dibakar beserta kapal, itu namanya cari perang. Yang harus ditekankan
adalah pelanggaran HAM tidak harus dipahami sedangkal membakar orang saja.
Namun ketika hak atas ruang hidup dan keselamatan dirampas, disitulah
pelanggaran bahkan kejahatan atas HAM itu terjadi. Dan negara modern—yang baru
ada sekitar empat abad lalu itu, telah banyak melakukan pelanggaran HAM, tidak
hanya bagi nelayan asing, tapi juga terhadap nelayan, petani, buruh,
pelajar/mahasiswa ataupun masyarakat urban lokal/nasional.
Ini bukan sekedar tentang nasionalisme batas dan batas nasionalisme. Ini tentang perang kelas yang coba dipelintir oleh para state and capital leader. Tentang bagaimana kita (sesama kelas pekerja) diideologisasi dengan nasionalisme untuk saling berkonflik. Kenyataannya penguasa politik dan ekonomi ini akan saling mendukung demi kepentingan kelas mereka. Mereka akan pura-pura berdebat dan bersaing, agar kita buta pada perang sesuangguhnya. Perang dimana kita bercita-cita menghancurkan sistem gila ini, mengambil alih alat-alat produksi yang dikuasai para pengausa modal.
Ah sudahlah, karena kita masih asyik
berperang dengan sesama jelata. Sementara para penguasa-pengusaha menyaksikan
tontonan dari atas singgasan bertabur mata uang, sambil sesekali tertawa ngakak.
Selayak bersorak: MENANG. Setelah mengalami nasib sama dengan kelas pekerja
dari bangsa-negara lain tersebut, lalu meratapi dan menyesali tindakan. Oh
sudahlah, pemahaman kita tentang sense memang telah tersekat pada batas
pasal, teritori dan nasionalisme. Dan hanya uang serta logika modal yang mampu
menembus semua batas-batas.
*Dari pada
bakar kapal, mari bakar ikan, lebih manusiawi dan lezat pastinya...*