Tuthy Feminisosialistha

Minggu, 07 Desember 2014

“Nenek Moyangku Seorang Pelaut”

 ANAK DARI SEMUA BANGSA--PRAMOEDYA

PERTAMA, tulisan ini didedikasikan bagi para nelayan. Semua nelayan, tak peduli berbangsa apapun: Bugis, Halmahera, Alifuru, Buton, Jawa, Andalas, Borneo, Celebes, Bali, Kupang, Mataram, Sunda, Papua; bernegara apapun: Indonesia, Vietnam, Philipina, Malaysia, India, Arab, Jepang, Belanda, Inggris, Jerman, Kuba, Venezuela, Mexico atau dari negara ‘adikuasa’ USA sekalipun. Kedua, tulisan ini untuk kemanusiaan—yang kerap kali hilang dari logika sistem negara. 
 
Mari melihat kembali kepentingan kelas dibalik lahirnya setiap kebijakan negara. Tanggalkan hukum dan segala aturan formil yang meletakkan batas-batas teritori pada para nelayan, sementara semua itu tidak berlaku bagi korporasi perikanan—baik lingkup lokal, nasional maupun transnasional; entah legal atau illegal menurut hukum negara. Faktanya, merekalah ‘pencuri’ sumber kekayaan laut terbesar di dunia, yang mempersempit wilayah tangkap nelayan dan mengatur pasar ikan serta hasil laut. Lalu memaksa nelayan tak memiliki kedaulatan menentukan harga dan pasar distribusi.

Jika pernyataan ini dipandang ‘bodoh’ dan salah kaprah, maka ilmu pengetahuan modern pun harus diadili lebih tidak berperi. Ilmu pengetahuan berbasis kepentingan segelintir tuan yang diadopsi dan diklaim sebagai pengetahuan global, lalu diyakini dan diimani sebagai standar kecerdasan. Kemudian menegasikan pengetahuan-pengetahuan lokal, bahkan dihakimi sebagai pengetahuan ‘primitif’, ‘tertinggal’, ‘kampungan’, ‘barbar’ atau ‘separatis’.

Jika pengetahuan modern mulai bicara tentang kepentingan ekologi ‘palsu’, maka sejak dulu, pengetahuan lokal dan tradisional itu telah beratus abad menjalankan sistem produksi tanpa merusak alam. Kesadaran bahwa alam (tanah, tumbuhan, hutan, air, biota dan ekosistem lainnya) mampu mereproduksi dirinya sendiri sebagaimana perempuan, menancap sebagai bagian dari kebudayaan spiritual pengetahuan-pengetahuan lokal tersebut. Pengetahuan tradisional ini tidak membutuhkan bibit ‘racun’ pestisida untuk tanaman, juga pukat atau bom ikan untuk mengail.
Tapi hari ini, ketika ilmu pengetahuan modern tersebut berkembang pesat seiring dijaga ketat oleh perangkat hukum dan aparaturnya, produktifitas tradisional itu pun dipaksa bersaing dengan koorporasi yang menggunakan teknologi modern. Semua itu dikampanyekan dengan apik melalui media-media koorporat yang turut serta menjadi pendukung. Karena persaingan yang sengaja diciptakan dan tanpa perimbangan inilah, sebagian merasa frustasi lalu ‘melanggar’ hukum-hukum alam serta hukum-hukum negara mengenai batas teritori. Ooopsss... tunggu dulu, bukankah sebelum ada negara modern, bahkan berpuluh abad lalu, para nelayan tradisional sudah melaut dan menyeberangi samudera hingga ke bangsa-bangsa lain?

NELAYAN VS NEGARA

DIA berjalan mengitari tiap sudut kota pulau ini. Berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Seorang lelaki paruh baya, kisaran 50-an tahun. Ia menggunakan kaos berkrak dan celana pendek berwarna gelap. Sebagian kaosnya bolong dan sobek. Sendal jepit kotor dan menipis menjadi alas kakinya. Setiap kali berpapasan, yang terdengar dari suara yang keluar dari komat-kamit mulutnya adalah bahasa yang tidak dikenal dan dipahami.

Lelaki ini gila. Kerap kali ia bercakap dalam bahasanya seorang diri: saat duduk, berdiri ataupun berjalan; ketika hujan, mendung ataupun panas. Ia juga sering mengais sisa-sisa makanan dari tong dan bak-bak sampah di sepanjang emperan toko dan depan jejeran warung makan. Sempat terlihat beberapa kali, satu-dua orang pejalan kaki merasa iba, lalu memberi uang atau makanan padanya. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu merupakan seorang nelayan asal Philipina yang kapalnya ditangkap oleh negara, karena dituduh ‘mencuri’ ikan di Perairan Indonesia. Mungkin karena malu, beban utang dan tekanan psikologi lainnya mengantarkan lelaki seperdua abad itu menjadi hilang akal sehat.
**

PADA ruang dan waktu yang berbeda. Jum’at, 05 Desember 2014, delapan Nelayan Vietnam diasingkan dari kapalnya dan ditempatkan di sebuah kapal milik TNI-AL. Dari sajian gambar para jurnalis, nelayan-nelayan ini duduk bersandar pada pagar anjungan kapal. Kapal nelayan ini dibakar dan ditenggelamkan oleh TNI-AL, yang disertai dengan pengawasan melalui kapal dan helikopter. Saat pembakaran berlangsung, ke-delapan lelaki dengan postur tubuh berbeda ini, memutar badan dan posisi duduk lalu bertumpuh tangan di atas terali pagar. Mereka tengah menonton aksi ‘heroik’ serdadu Indonesia. Seorang diantaranya, bahkan menyeka mata dengan punggung telapak tangan. Mungkin menangis.



Sebelum prosesi pemusnahan kapal berkapasitas muatan kurang dari 100GT itu, para nelayan—yang juga disebut awak kapal oleh negara ini, disuruh berdiri sejajar dan merentangkan tangan ke atas. Mungkin untuk memastikan mereka memang nelayan tak bersenjata, atau mungkin juga hanya bagian dari prosedur penangkapan.
***

SAAT media mainstream gencar memberitakan sikap pemerintah membakar dan menenggelamkan kapal nelayan Vietnam tersebut, yang tampak hanya dua perbedaan pandangan dari golongan dan kelas yang sama. Media koorporat pertama—yang sejak awal mendukung pemerintahan, memamerkannya sebagai sikap berani dan tegas yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, serta menonjolkan sikap seorang nasionalis yang patut dicontoh. Sementara media kedua—yang saham dan pimpinan direksinya dihuni oleh kalangan oposan ‘palsu’, menyerangnya sebagai tindakan yang biasa saja dan justru akan mengancam hubungan bilateral antar negara. Yang kedua ini tak perlu ditanggapi, karena oposan ‘palsu’ ini juga akan berkawin dengan pihak lawan, ketika itu berkaitan dengan kepentingan kelas mereka sebagaimana tergambar dalam sikap politik mendukung pencabutan subsidi BBM kemarin.

Lalu bagaimana dengan posisi kita? Pada kelas yang manakah kita berdiri? Di luar dugaan. Sebagian kita merasa berbangga hati memiliki pemimpin negara seperti di atas, bahkan turut serta mengkampanyekan sikap ‘heroik’ tersebut. Ada yang karena memang melepaskan analisis kelas, namun tak sedikit juga yang punya kesadaran kelas tapi telampau takut pada hadirnya militer, orba, sipil reaksioner yang mengancam demokrasi dengan merebut dan kudeta kekuasaan. Lantas apapun yang dilakukan oleh presiden 'demokratis'nya selalu dinilai baik dan tidak lagi dikritisi sebagaimana kekritisan itu pernah subur di masa pemerintahan sebelumnya. Akhirnya, kontradiksi pokok lagi dan lagi menegasikan kontradiksi dasar.

Dari banyak komentar dan argumen, sebagian besar menyebut hal itu untuk menunjukkan ‘kedaulatan politik’ kita sebagai negara merdeka. Intinya nasionalisme yang dikedepankan, bukan kemanusiaannya. Sebagian lagi berdalih bahwa tidak ada pelanggaran HAM di sana, karena yang dibakar adalah kapalnya, sementara para nelayan telah lebih dulu diungsikan ke kapal TNI-AL. Ada juga yang mengatakan bahwa akibat aktivitas ‘pencurian’ ikan oleh nelayan tradisional asing ini, pendapatan nelayan lokal menurun. Dan yang terakhir dan seringkali membuat kita terjebak adalah penggunaan logika hukum, dimana berdasarkan undang-undang nasional tentang perikanan dan peraturan lain tentang batas-batas teritori, maupun hukum laut internasional yang menyebutkan, bahwa penghakiman terhadap nelayan asing yang ‘ceroboh’ adalah tindakan yang benar.

Yang terakhir itu kita cukupkan sampai di sini, karena kita tidak akan berdebat pada wilayah hukum positif negara-negara. Sejatinya semua hukum positif negara-negara modern bercorak kapitalistik dirumuskan semata-mata untuk kepentingan menjaga laju arus kapital. Hitung saja, bagaimana Pemerintah Indonesia dikendalikan oleh koorporasi perikanan saat hendak meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau maraknya titipan regulasi berkaitan dengan kepentingan koorporasi seperti UU Penataan Ruang, UU PMA, UU Migas, UU Perikanan, PP MP3EI, UU Ketenagakerjaan, Penetapan Upah, bla bla bla...

Terlampau banyak untuk diuraikan satu per satu. Intinya, negara—melalui aparaturnya—merasa berhak atas tanah, laut dan kekayaan yang terkandung di atasnya, sehingga semakin marak saja praktek perampasan ruang hidup dijalankan dengan berbasiskan regulasi dan kekuatan serdadu, semata-mata demi kepentingan akumulasi kekayaan penguasa modal.

Sejatinya negara ini baru berdiri 69 tahun lalu, sementara nelayan tradisional telah melaut menyeberangi dan melewati batas-batas pulau bahkan benua sejak berabad-abad silam. Apakah ada perang nasionalisme dan batas-batas di sana? Mari menjawab sendiri. Sebelum memperdebatkan pernyataan-pernyataan di atas, mari simak cerita lain dari kisah yang sama.



NASIONALISME BATAS DAN BATAS NASIONALISME

KISAH sama tapi tak serupa. Tak serupa hanya karena berbeda bangsa, bahasa dan tanah air. Walaupun kisah dan kelasnya sama: NELAYAN.

Kapal perahu bernama Ekta Sakti milik nelayan Oesapu-Kupang, NTT-Indonesia dibakar dan dimusnahkan oleh otoritas keamanan laut Austalia. Tuduhan yang dialamatkan pada para nelayan tradisional ini adalah ‘mencuri’ ikan di teritori perairan Australia. Dimana menurut otoritas keamanan laut negara tersebut, para nelayan ini telah menangkap ikan dan teripang di dasar laut. Itu berarti melanggar kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah setempat, dimana wilayah tangkap Australia berada di dasar laut sementara Indonesia di permukaannya saja. Sebuah kesepakatan ‘irasional’.

"Ini bukan kisah baru. Kami sudah berulang kali mengalami nasib seperti itu. Kami tunjukkan GPS, namun mereka tidak menerima bukti rekaman GPS tersebut. Kami digiring terus sampai ke Darwin dengan tuduhan memasuki wilayah perairan Australia secara ilegal," ungkap Mustafa, nelayan asal Oesapa-Kupang, NTT kepada media.



Para nelayan ini sedikit beruntung karena mereka memiliki perlengkapan GPS dan kapalnya dirancang khusus hanya untuk menangkap ikan dengan wilayah operasi di sekitar ZEE  Indonesia, sehingga tuduhan otoritas keamanan perairan Australia terbukti tidak benar. Setelah bertahun menempuh sidang di Pengadilan Federal Australia di Darwin, Australia Utara, akhirnya para nelayan dinyatakan menang dan pemerintah negara kanguru itu diwajibkan membayar kompensasi sebesar 44.000 dolar Australia.

Berdasarkan data konsulat RI di Australia pada tahun 2008, terdapat 253 nelayan tradisional Indonesia yang ditahan otoritas keamanan laut Australia di Pusat Penahanan Darwin. Artinya nelayan dimanapun dan dari bangsa manapun sedang terancam oleh batas teritori negara-negara.

***

APA yang terlintas dalam benak kita sebagai rakyat Indonesia saat pertama kali membaca, mendengar atau menonton kisah barusan? Terlepas dari salah dan benarnya nelayan kita di mata hukum negara. Marah, sedih, geram, kecam, iba atau bahkan murka, bukan? Kenapa perasaan dan ekspresi demikian tidak terlintas saat kita menyaksikan nelayan Vietnam mengalami hal yang sama? Sekali lagi terlepas dari salah-benarnya mereka di mata hukum negara. Bukankah mereka juga nelayan tradisional yang wilayah tangkapnya dibatasi teritori negara? Bukankah mereka juga kelas pekerja yang tidak bebas menentukan harga dan pasar? Harus ber-utang pada pemilik kapal? Melaut berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga? Hasil tangkapan yang dibeli murah oleh korporasi perikanan sebagai penadah? Dilarang bertransaksi langsung dengan konsumen? Apakah karena mereka bukan nelayan dari Indonesia? Bukankah nasib mereka sama di semua negara-negara agen kapitalisme hari ini?


Lantas ‘kedaulatan politik’ seperti apa yang berhasil kita buktikan? Apakah dengan mempraktekan ‘kejahatan’ yang sama, membakar dan menenggelamkan kapal nelayan asing—tua, reyot dan mungkin masih dalam kondisi utang, maka kita telah berdaulat secara politik? Apakah itu untuk menegakkan nasionalisme? Apakah nasionalisme hanya bicara pada batas-batas? Ataukah memang kepekaan dan kepedulian kita hanya berada pada batas-batas nasionalisme?

Jika demikian, lantas kenapa kapal-kapal Freeport yang mengangkut ribuan, ratusan bahkan jutaan ton emas dari tanah Papua tidak ditenggelamkan atas nama nasionalisme? Kenapa kapal-kapal Chevron yang mengangkut jutaan barel minyak dan memaksa kita ‘ikhlas’ dengan pencabutan subsidi, tidak dibakar atas nama nasionalisme? Atau kenapa bukan kapal-kapal Eramet dan Mitsubishi, yang mengangkut tanah-tanah mengandung biji nikel dari Halmahera yang dimusnahkan atas nama nasionalisme? Bukankah kapal yang ‘mencuri’ kekayaan alam kita itu milik korporasi asing?

Oh iya, korporasi-korporasi di atas telah mengantongi ijin ‘pencurian’ dari negara, sekalipun dampaknya jelas bagi nelayan, petani, buruh dan warga setempat. Nasionalisme itu tak berlaku bagi korporasi asing yang sekelas dengan penguasa-pengusaha kita. Ijin akan terus mengalir demi penumpukan surplus segelintir tuan. Tak peduli pengerukan itu merampas serta mengancam ruang hidup dan keselamatan Warga Negara Indonesia. Inilah nasionalisme kita. Maka waspada dan berhati-hatilah dengan penyakit nasionalisme, pelan-pelan ia akan melenyapkan kepekaan, kepedulian dan rasa solidaritas kita pada sesama, dan sampai pada stadium chauvinisme, praktek fasisme dan rasisme dipandang lumrah serta menjadi sebuah keharusan.


AWAS NELAYAN ASING!
Siapakah yang dirugikan? Nelayan, Negara ataukah Industri Perikanan?

"Apabila ada sekitar 500-1.000 kapal motor asing yang ditangkap mencuri sekitar 100 ton ikan, dikalikan Rp 90 ribu/kilogram ikan, artinya Rp 9 miliar kerugian negara untuk satu kapal motor, kemudian kalau dikalikan 1.000 kapal motor, kerugian negara sekitar Rp 9 triliun akibat pencurian ikan," tandas Susi, sebagaimana dilansir merdeka.com.

Siapa yang menentukan jenis-jenis ikan hasil tangkap nelayan? Siapa yang menentukan harga? Apakah harga ditetapkan oleh nelayan? Ataukah sebaliknya, harga ditentukan pengepul—korporat besar macam ibu menteri ini? Berapa lagi harga yang ditentukan bagi konsumen? Berapa diskon yang wajib diberikan nelayan kepada pengepul yang memborong hasil tangkapannya? Jika ini berkaitan dengan keberpihakan pemerintah pada nelayan lokal/nasional, maka mari juga menghitung jumlah kerugian mereka: dari hasil perasan korporasi perikanan terhadap nelayan tradisional kita. Jangan lupa hitung juga berapa jumlah kapal-kapal besar milik korporasi yang mempekerjakan buruh (nelayan tak berarea tangkap) dan mempersempit atau menutup akses wilayah tangkap nelayan tradisional.

“Pasalnya, kapal-kapal yang ditenggelamkan tersebut telah terbukti melakukan pencurian dan beroperasi atas nama perorangan atau perusahaan tertentu, bukan atas nama negara," ini kutipan pernyataan pimpinan teritori TNI-AL yang diambil dari salah satu isi berita media online. Pernyataan di atas mengisyaratkan keberpihakan kelas negara. Artinya jika kapal-kapal nelayan itu beroperasi atas nama negara (pemerintah) asalnya dan mendapatkan ijin dari negara (pemerintah) kita, maka pasti tidak bermasalah, apalagi sampai bakar-bakar kapal. Sayangnya pengurusan ijin administrasi negara-negara tersebut hanya mampu dipenuhi oleh industri perikanan besar, yang tentu saja tidak pernah bermasalah dengan hukum positif. Semua logika itu menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak berkaitan dengan kepentingan nelayan lokal.

Faktanya kerugian itu dialami oleh negara dan bukan nelayan. Bukankah kas negara akan mengalami lonjakan luar biasa melalui ijin-ijin dan setoran non pajak bagi korporasi-korporasi perikanan? Tentu saja tidak hanya kas negara yang bertambah, tapi dollar juga berpotensi mengalir dan memenuhi kantong-kantong para oknum. Maka pernyataan terakhir susi pada kutipan di atas ada benarnya, “kerugian negara sekitar Rp. 9 triliun akibat pencurian ikan,” dan negara selalu saja diwakilkan oleh penguasa modal. Kerugian negara berarti kerugian bagi korporasi perikanan. Keberpihakan itu pun semakin jelas, ketika negara justru memperlancar arus laju kapitalisasi ruang kelola laut dengan program andalan bernama: MEGA MINAPOLITAN.
 
Apakah semua kebijakan sistem negara itu tidak melanggar HAM? Semua orang juga tahu (tak butuh sekolah untuk tahu itu) bahwa kapal nelayan Vietnam itu dibakar setelah sebelumnya para nelayan ‘diamankan’. Seperti yang disebutkan, jika nelayan dibakar beserta kapal, itu namanya cari perang. Yang harus ditekankan adalah pelanggaran HAM tidak harus dipahami sedangkal membakar orang saja. Namun ketika hak atas ruang hidup dan keselamatan dirampas, disitulah pelanggaran bahkan kejahatan atas HAM itu terjadi. Dan negara modern—yang baru ada sekitar empat abad lalu itu, telah banyak melakukan pelanggaran HAM, tidak hanya bagi nelayan asing, tapi juga terhadap nelayan, petani, buruh, pelajar/mahasiswa ataupun masyarakat urban lokal/nasional.

Ini bukan sekedar tentang nasionalisme batas dan batas nasionalisme. Ini tentang perang kelas yang coba dipelintir oleh para state and capital leader. Tentang bagaimana kita (sesama kelas pekerja) diideologisasi dengan nasionalisme untuk saling berkonflik. Kenyataannya penguasa politik dan ekonomi ini akan saling mendukung demi kepentingan kelas mereka. Mereka akan pura-pura berdebat dan bersaing, agar kita buta pada perang sesuangguhnya. Perang dimana kita bercita-cita menghancurkan sistem gila ini, mengambil alih alat-alat produksi yang dikuasai para pengausa modal.
Ah sudahlah, karena kita masih asyik berperang dengan sesama jelata. Sementara para penguasa-pengusaha menyaksikan tontonan dari atas singgasan bertabur mata uang, sambil sesekali tertawa ngakak. Selayak bersorak: MENANG. Setelah mengalami nasib sama dengan kelas pekerja dari bangsa-negara lain tersebut, lalu meratapi dan menyesali tindakan. Oh sudahlah, pemahaman kita tentang sense memang telah tersekat pada batas pasal, teritori dan nasionalisme. Dan hanya uang serta logika modal yang mampu menembus semua batas-batas.

*Dari pada bakar kapal, mari bakar ikan, lebih manusiawi dan lezat pastinya...*