Tuthy Feminisosialistha

Sabtu, 08 Maret 2014

LOGIKA PEMBANGUNAN BERBASIS KAPITAL


Pada tahun 1967, dibawah pemerintahan Soeharto, Undang-Undang Penanaman Modal Asing dilahirkan di Indonesia sebagai bentuk pelayanan negara terhadap koorporasi. Pengerukan terhadap tanah serta sumberdaya yang terkandung didalamnya oleh investasi padat modal menjadi sebuah hal yang wajib dilakukan demi: Mengejar Pembangunan.

Pembangunan siapa dan dimana yang mau dikejar? Pembangunan, kemajuan dan kehidupan modern negara-negara kapitalis maju yang diwakili oleh Amerika Serikat, Eropa, Australia, Jepang, Cina dan India. Disana ada surga dunia yang menjanjikan, bangunan bertingkat, mobil mewah, hotel yang ada kolam renangnya, rumah yang ada kolam ikannya dan pakaian-pakaian bermerek. Tentu saja gaya hidup seperti ini harus dipenuhi dengan nilai tukar (bukan nilai guna!) yang bernama “uang”—satu-satunya nilai tukar yang diakui dunia modern hari ini.

Mengejar pembangunan yang dimaksud adalah bagaimana merubah Jakarta menjadi New York; padi menjadi pabrik; cengkeh dan pala menjadi emas dan nikel; kelapa dotu-dotu menjadi kelapa sawit; kampung menjadi kota kecil; atap rumbia menjadi seng; dinding bambu menjadi tembok-tembok berwarna-warni; alas tanah menjadi marmer; gerobak sapi menjadi kendaraan berpolusi; hamparan kebun pisang dan kasbi menjadi jalanan lebar beraspal; dan seterusnya, dan seterusnya.

Intinya merubah tanah menjadi modal, menjadi “uang”, untuk kepentingan akumulasi keuntungan. Keuntungan siapa? Tentunya bukan keuntungan bagi kolektif rakyat Indonesia, melainkan keuntungan segelintir tuan-tuan pemilik modal berdasi, yang duduk nyaman di atas kursi putar, memilih menu “santapan” emas, nikel, batubara, sawit, minyak dan gas yang disediakan sang “pelayan” berdasi dari atas gedung hotel ruang VVIP.

Pembangunan yang memaksa orang kampung berbondong-bondong datang ke kota, membeli sebuah telepon genggam, handpone. Bukan hanya difungsikan untuk menelepon, tapi juga untuk mendengarkan musik karena mereka tak cukup melek huruf untuk bisa memanfaatkan layanan SMS dan browsing internet. Inilah modern, kemajuan zaman dan teknologi. Jika tidak memiliki semua itu, maka kita dipandang “tertinggal” dan “primitif”. Sebuah doktrin tunggal, atas apa yang disebut Pembangunan.

Tampak indah diluar. Tapi tak cukup banyak orang sadari, bagaimana semua itu dibangun dengan merampas dan menggusur ratusan ribu bahkan jutaan hektar hutan dan tanah perkebunan warga lokal. Bahkan pada perkembangannya, lautpun diprivatisasi untuk kepentingan akumulasi modal industri perikanan dan pariwisata. Serta lebih dari satu juta orang dibantai dan meregang nyawa demi pembangunan dan kemajuan Indonesia yang lebih modern ini.

Praktek perampasan dan penggusuran lahan-lahan produktif warga bukan lagi cerita baru di negara ini. Praktek koorporasi yang didukung penuh oleh negara melalui berbagai regulasi dan kebijakan. UU PMA, UU Minerba, UU Migas, UU Ketanagakerjaan  dan masih banyak lagi, adalah bukti bagaimana negara difungsikan untuk menjadi pelayan bagi kepentingan akumulasi kekayaan para pemilik modal. Negara adalah alat untuk menunjang sistem kapitalisme terus tumbuh sumbur.

Semoga kita tidak lupa. Bahwa ada warga Bima yang harus meregang nyawa karena mempertahankan tanahnya dari investasi pertambangan emas; atau bagaimana warga Mesuji ditembaki karena melawan perampasan tanah oleh perkebunan sawit; atau mama-mama Papua yang berlari-lari mencari bantuan untuk anaknya yang menderita busung lapar, padahal mereka hidup di atas bongkahan emas yang dikuasai PT. Freeport; atau Andini, balita 8 bulan di Buyat Pante, meninggal dengan kulit hancur, gatal-gatal dan benjolan di sekujur tubuh, di seberang ada PT. Newmont Minahasa Raya, mengeruk emas dan membuang limbahnya ke Teluk Buyat.

Terdapat 167 IUP, 12 IUPHHK dan 3 Kontrak karya, yang mengepung Maluku Utara dari berbagai sudut. Maluku Utara yang hanya memiliki luas daratan kurang dari 30% ini, kaya dengan emas dan nikel, tapi diperuntukan dan dikuasai oleh investasi keruk. Sekali lagi bukan untuk kesejahteraan rakyat Maluku Utara. Tahun 2004, Rusli Tungkapi harus meregang nyawa oleh peluru panas serdadu BRIMOB, karena melakukan perlawanan terhadap PT. Nusa Halmahera Mineral, yang merampas tanah dan kebun warga sekitar Teluk Kao (Malifut dan Kao) Halmahera Utara untuk kepentingan mengeruk kandungan emas didalamnya.
Pada 2009, Rusni, balita berusia 8 bulan menderita gatal-gatal dan benjolan di kepala hingga mengalami pendarahan hebat, Rakiba (50 tahun) mengalami hal yang serupa, keduanya warga Teluk Kao yang memenuhi kebutuhan air bersihnya di sungai Kobok dan Tabobo. Kedua sungai ini bersebelahan dengan wilayah ekstraksi PT. NHM (tambang emas gosowong) yang beroperasi sejak tahun 1997. Di tahun 2013, 13 (tiga belas) orang mengalami gejala penyakit serupa, 7 diantaranya adalah perempuan.

Pada tahun 2010 dan 2012, warga melaporkan pipa tailings (saluran limbah) PT. NHM terlepas selama lebih dari 12 jam dan mengairi sungai Sambiki, salah satu anak sungai Tabobo. Akibatnya, empat hari pasca itu, warga mendapati ikan-ikan mati dan mengambang di permukaan sungai.

Warga Desa Tabobo, Kecamatan Malifut, Kabupaten Halmahera Utara memanfaatkan sungai Tabobo sebagai sumber pemenuhan air bersih mereka seperti minum, mandi, mencuci hingga memasak. Selain itu, sungai Tabobo juga dimanfaatkan oleh warga sebagai bekal air minum ke kebun. Umumnya warga Desa Tabobo, sebagaimana warga Desa sekitar Teluk Kao lainnya, bekerja sebagai petani kebun, nelayan dan berburu hewan di hutan. Pada periode 1980-1990-an, ikan dan hewan buruan sangat mudah didapat.

Berkebun tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki desa ini, tapi perempuan juga. Selain berkebun, sebagian kaum perempuan bekerja sebagai pembuat terasi ikan. Ya, karena Teluk Kao dulunya dikenal sebagai daerah penghasil ikan teri terbesar di Maluku Utara. Pada budaya masyarakat Maluku Utara secara umum, perempuan tidak diperkenankan untuk melaut dan berburu, sehingga pekerjaan membuat terasi ikan (hasil melaut suami) merupakan pekerjaan khas kaum perempuan di Desa Tabobo dan desa-desa sekitar Teluk Kao lainnya.

Namun, sejak beroperasinya PT. NHM atau pasca 1997, ikan dan hewan buruan semakin sulit ditemukan. Sebagian perempuan pembuat terasi terpaksa beralih profesi menjadi petani kebun dan pemecah batu, ada juga yang akhirnya memilih menjadi urban ke Ternate atau Tobelo, hanya sebagian kecil yang masih bertahan sebagai pembuat terasi. Perempuan pekebun pun mengalami hal serupa. Mereka terpaksa membawa persediaan air dari rumah—yang diperoleh dari depot-depot air minum—untuk pergi ke kebun. Ketika persediaannya habis, mereka juga harus dengan terpaksa mengkonsumsi air dari sungai Kobok ataupun Tabobo.

Inilah pembangunan yang dibentuk di atas mimpi-mimpi tentang kemajuan dan kehidupan modern. Pembangunan yang memaksa petani dan nelayan menjadi buruh. Perempuan menjadi pekerja ekstra, melakoni sejumlah peran ganda, beban kerja yang berlipat. Dari mengurus pekerjaan rumah tangga sampai bekerja di kebun , hutan dan laut guna menunjang kebutuhan keluarga. Dari melayani suami, mengurus anak, membersihkan rumah, mencuci dan memasak, sampai pergi ke kebun dengan jarak kiloan meter, mencangkul, menanam, merawat dan memanen.