Pada
tahun 1967, dibawah pemerintahan Soeharto, Undang-Undang Penanaman Modal Asing
dilahirkan di Indonesia sebagai bentuk pelayanan negara terhadap koorporasi.
Pengerukan terhadap tanah serta sumberdaya yang terkandung didalamnya oleh
investasi padat modal menjadi sebuah hal yang wajib dilakukan demi: Mengejar Pembangunan.
Pembangunan
siapa dan dimana yang mau dikejar? Pembangunan, kemajuan dan kehidupan modern
negara-negara kapitalis maju yang diwakili oleh Amerika Serikat, Eropa, Australia,
Jepang, Cina dan India. Disana ada surga dunia yang menjanjikan, bangunan
bertingkat, mobil mewah, hotel yang ada kolam renangnya, rumah yang ada kolam
ikannya dan pakaian-pakaian bermerek. Tentu saja gaya hidup seperti ini harus
dipenuhi dengan nilai tukar (bukan nilai guna!) yang bernama
“uang”—satu-satunya nilai tukar yang diakui dunia modern hari ini.
Mengejar
pembangunan yang dimaksud adalah bagaimana merubah Jakarta menjadi New York; padi
menjadi pabrik; cengkeh dan pala menjadi emas dan nikel; kelapa dotu-dotu menjadi kelapa sawit; kampung
menjadi kota kecil; atap rumbia menjadi seng; dinding bambu menjadi
tembok-tembok berwarna-warni; alas tanah menjadi marmer; gerobak sapi menjadi
kendaraan berpolusi; hamparan kebun pisang dan kasbi menjadi jalanan lebar beraspal; dan seterusnya, dan
seterusnya.
Intinya
merubah tanah menjadi modal, menjadi “uang”, untuk kepentingan akumulasi
keuntungan. Keuntungan siapa? Tentunya bukan keuntungan bagi kolektif rakyat
Indonesia, melainkan keuntungan segelintir tuan-tuan pemilik modal berdasi,
yang duduk nyaman di atas kursi putar, memilih menu “santapan” emas, nikel,
batubara, sawit, minyak dan gas yang disediakan sang “pelayan” berdasi dari
atas gedung hotel ruang VVIP.
Pembangunan
yang memaksa orang kampung berbondong-bondong datang ke kota, membeli sebuah
telepon genggam, handpone. Bukan
hanya difungsikan untuk menelepon, tapi juga untuk mendengarkan musik karena mereka
tak cukup melek huruf untuk bisa memanfaatkan layanan SMS dan browsing internet. Inilah modern,
kemajuan zaman dan teknologi. Jika tidak memiliki semua itu, maka kita
dipandang “tertinggal” dan “primitif”. Sebuah doktrin tunggal, atas apa yang
disebut Pembangunan.
Tampak
indah diluar. Tapi tak cukup banyak orang sadari, bagaimana semua itu dibangun
dengan merampas dan menggusur ratusan ribu bahkan jutaan hektar hutan dan tanah
perkebunan warga lokal. Bahkan pada perkembangannya, lautpun diprivatisasi
untuk kepentingan akumulasi modal industri perikanan dan pariwisata. Serta
lebih dari satu juta orang dibantai dan meregang nyawa demi pembangunan dan
kemajuan Indonesia yang lebih modern ini.
Praktek
perampasan dan penggusuran lahan-lahan produktif warga bukan lagi cerita baru
di negara ini. Praktek koorporasi yang didukung penuh oleh negara melalui
berbagai regulasi dan kebijakan. UU PMA, UU Minerba, UU Migas, UU
Ketanagakerjaan dan masih banyak lagi,
adalah bukti bagaimana negara difungsikan untuk menjadi pelayan bagi
kepentingan akumulasi kekayaan para pemilik modal. Negara adalah alat untuk
menunjang sistem kapitalisme terus tumbuh sumbur.
Semoga
kita tidak lupa. Bahwa ada warga Bima yang harus meregang nyawa karena
mempertahankan tanahnya dari investasi pertambangan emas; atau bagaimana warga
Mesuji ditembaki karena melawan perampasan tanah oleh perkebunan sawit; atau
mama-mama Papua yang berlari-lari mencari bantuan untuk anaknya yang menderita
busung lapar, padahal mereka hidup di atas bongkahan emas yang dikuasai PT.
Freeport; atau Andini, balita 8 bulan di Buyat Pante, meninggal dengan kulit hancur,
gatal-gatal dan benjolan di sekujur tubuh, di seberang ada PT. Newmont Minahasa
Raya, mengeruk emas dan membuang limbahnya ke Teluk Buyat.
Terdapat
167 IUP, 12 IUPHHK dan 3 Kontrak karya, yang mengepung Maluku Utara dari
berbagai sudut. Maluku Utara yang hanya memiliki luas daratan kurang dari 30%
ini, kaya dengan emas dan nikel, tapi diperuntukan dan dikuasai oleh investasi
keruk. Sekali lagi bukan untuk kesejahteraan rakyat Maluku Utara. Tahun 2004,
Rusli Tungkapi harus meregang nyawa oleh peluru panas serdadu BRIMOB, karena
melakukan perlawanan terhadap PT. Nusa Halmahera Mineral, yang merampas tanah
dan kebun warga sekitar Teluk Kao (Malifut dan Kao) Halmahera Utara untuk
kepentingan mengeruk kandungan emas didalamnya.
Pada
2009, Rusni, balita berusia 8 bulan menderita gatal-gatal dan benjolan di
kepala hingga mengalami pendarahan hebat, Rakiba (50 tahun) mengalami hal yang
serupa, keduanya warga Teluk Kao yang memenuhi kebutuhan air bersihnya di
sungai Kobok dan Tabobo. Kedua sungai ini bersebelahan dengan wilayah ekstraksi
PT. NHM (tambang emas gosowong) yang beroperasi sejak tahun 1997. Di tahun
2013, 13 (tiga belas) orang mengalami gejala penyakit serupa, 7 diantaranya
adalah perempuan.
Pada
tahun 2010 dan 2012, warga melaporkan pipa tailings (saluran limbah) PT. NHM
terlepas selama lebih dari 12 jam dan mengairi sungai Sambiki, salah satu anak
sungai Tabobo. Akibatnya, empat hari pasca itu, warga mendapati ikan-ikan mati
dan mengambang di permukaan sungai.
Warga
Desa Tabobo, Kecamatan Malifut, Kabupaten Halmahera Utara memanfaatkan sungai
Tabobo sebagai sumber pemenuhan air bersih mereka seperti minum, mandi, mencuci
hingga memasak. Selain itu, sungai Tabobo juga dimanfaatkan oleh warga sebagai
bekal air minum ke kebun. Umumnya warga Desa Tabobo, sebagaimana warga Desa
sekitar Teluk Kao lainnya, bekerja sebagai petani kebun, nelayan dan berburu
hewan di hutan. Pada periode 1980-1990-an, ikan dan hewan buruan sangat mudah
didapat.
Berkebun
tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki desa ini, tapi perempuan juga. Selain
berkebun, sebagian kaum perempuan bekerja sebagai pembuat terasi ikan. Ya,
karena Teluk Kao dulunya dikenal sebagai daerah penghasil ikan teri terbesar di
Maluku Utara. Pada budaya masyarakat Maluku Utara secara umum, perempuan tidak
diperkenankan untuk melaut dan berburu, sehingga pekerjaan membuat terasi ikan
(hasil melaut suami) merupakan pekerjaan khas kaum perempuan di Desa Tabobo dan
desa-desa sekitar Teluk Kao lainnya.
Namun,
sejak beroperasinya PT. NHM atau pasca 1997, ikan dan hewan buruan semakin
sulit ditemukan. Sebagian perempuan pembuat terasi terpaksa beralih profesi
menjadi petani kebun dan pemecah batu, ada juga yang akhirnya memilih menjadi
urban ke Ternate atau Tobelo, hanya sebagian kecil yang masih bertahan sebagai
pembuat terasi. Perempuan pekebun pun mengalami hal serupa. Mereka terpaksa
membawa persediaan air dari rumah—yang diperoleh dari depot-depot air
minum—untuk pergi ke kebun. Ketika persediaannya habis, mereka juga harus
dengan terpaksa mengkonsumsi air dari sungai Kobok ataupun Tabobo.
Inilah
pembangunan yang dibentuk di atas mimpi-mimpi tentang kemajuan dan kehidupan
modern. Pembangunan yang memaksa petani dan nelayan menjadi buruh. Perempuan
menjadi pekerja ekstra, melakoni sejumlah peran ganda, beban kerja yang
berlipat. Dari mengurus pekerjaan rumah tangga sampai bekerja di kebun , hutan dan
laut guna menunjang kebutuhan keluarga. Dari melayani suami, mengurus anak,
membersihkan rumah, mencuci dan memasak, sampai pergi ke kebun dengan jarak
kiloan meter, mencangkul, menanam, merawat dan memanen.