Tuthy Feminisosialistha

Jumat, 20 Desember 2013

Jazirah Berkabung


Titah modal telah menjarah tawa lucu akar2 rumput kecil,
hingga mereka terserabut dari tanah penopang hidup.

Tak lagi camar2 berkicau merdu krn laut kini bercampur darah.
 Aromanya amis. Pekat tak berwarna namun beracun.

Desau sepoi angin. Kini mendayu-dayu licik berkandung merkuri.
Perih sengatannya jika terhirup.

Hingga lambaian nyiur tak lagi tegak karena kuning bertanda kering.
Ilalang punah tanpa bekas, berubah tandus singgahi dahaga.

"Pacul & mata kail" tak lagi berproduksi, tergilas teknologi kapital.

Petani & Nelayan tinggal nama. Mangkat dari tahta singgasana zaman!
Kini, hanya sebagai buruh tuk' menjawab lapar.

Dan bagai anjing setia pada tuannya, serdadu berlaras senantiasa menjilat pada sang tuan,
berdiri mengangkang dgn congkak sembari mengokang senjata,
siap berlandas di medan.

Tapi miris!
Tuan2 serdadu berperang melawan para budak sahaya tanpa senjata, apalagi harta!

Manusia terlindas pada peradaban kotor, hingga terpenjara diujung malam.

Dan esok,
merah kan menyuplai asa.

Dalam Khilaf


Langit kian pekat,
tancapkan sembilu pada yang merindu
tanpa kiasan rasi di angkasa

Bahkan,
dengan lantang gemuruh guntur mengumandangkan tasbih
pecahkan kesunyian yang menyayat

Di sudut ruang pengap,
aku tengah menanti maaf
dari yang terkasih

Akan kutunggu
walau takdir tak berkenaan
biarlah kerinduan terus menyemai
batin yang tergores hina

Jika masih patut
bibir ini bercurah rasa pada kiasan malam
dan padamu
yang tak menjauh dari pelupuk mata

Akan kulantangkan suaraku
melawan surau2 malam yang menjalankan titah-Nya

Dan....

"Ketiadaanmu membenahi ada-ku
di balik cahaya temaram sang purnama
masih kuyakini
Nirwana kan hantarkanku selami jiwamu
Ketika esok tak lagi miliki Ruh"

Di penghujung fajar; Bukit Gam Lamo, 29 Juli 2011

Coretan Tak Bertuan


Ada keramaian di sini tapi bukan pasar.

Kapal laut tengah berlabuh, dan suara-suara bising berterbangan di atas udara ruang kapal yang sumpek ini.
Ada puluhan asongan bertawar-tawar dagangannya dengan gesit pada para penghuni kapal.

Dan kegetiran hati semaikan naluri kala tatap netra terkaburi perih pemandangan yang kontras, ada jurang yang dalam antar klas di sini.

Semua pedagang itu adalah perempuan2 tangguh yang tak kenal apa itu "kapitalisme" & siapa itu "Adam Smith" serta apa yang telah dilakukannya hingga merenggut mimpi kesejahteraan mereka.

Yang mereka tahu hanya menjajah roti & air mineral kepada para pengguna jasa kapal laut ini guna menopang hidup yang keras.

Di sudut semenanjung pasir putih.

Diantara mereka, ada gadis-gadis kecil yang ikut menjajah dagangannya guna biaya sekolah. Perih.

Tersentak lamunanku pada sesosok perempuan muda dengan perut membuncit.
Tuhan... ternyata dia tengah hamil dan harus berjuang hidup bersama teman-temannya sesama pedagang asongan.

Tiba-tiba hal yang kontras terlintas di sebuah berita infotainment yang diputar padd salah satu TV yang ada di dalam kapal tersebut. Nia Ramadhani, seorang artis muda yang juga tengah hamil. Tentu saja dia tak perlu bersusah2 seperti perempuan muda penjajah asongan tadi untuk memenuhi kebutuhannya dan jabang bayinya.

Ya. Bukankah dia menantu Aburizal Bakrie? Pemilik PT. Bakrie yg memiliki jutaan hektar perkebunan sawit dan tambang batu bara di atas tanah adat borneo & andalas hingga menghadiahkan hutan gundul & tanah gersang. Juga memiliki kekayaan berlimpah dari hasil eksploitasi minyak di tanah Jawa hingga memberikan "Kado lumpur lapindo" untuk rakyat Sidoarjo.

Peluh keringat lelah memang hanya milik perempuan muda yang tengah hamil itu bersama teman-temannya penjajah asongan, sementara setetes keringat amatlah "haram" bagi Aburizal dan kroninya serta para borjuase lainnya.

Brruuug...!
Gadis kecil pedagang asongan sedang menawarkan dagangannya kepada sebuah keluarga yang sedang asik bercengkerama dengan buah hati mereka, gadis kecil yang centil & modis. Mereka duduk dalam sebuah ruang VIP kapal itu. Namun sayang, gadis pedagang asongan itu diusir dengan kasar hingga terjatuh.

Sepoi angin menerpa wajah kusam nan pasi namun tetap santun itu.
Tak hanya kesenjangan yang terlihat namun pudarnya kepekaan pun tergambar jelas dalam potret kapal very ini.

Akhirnya, tembang "Saksi katong pung cinta" menutup pemandangan miris ini, seiring dengan berlalunya kapal dari pelabuhan hunimua & semenanjung pantai Liang yang indah, meninggalkan para pedagang asongan yang tengah menunggu kapal selanjutnya untuk kembali berjuang.

Waipirit di depan mata.

Biru Seram, 03/03/2012

Cadar ILAHI


Hei perempuan bercadar embun,
sembari melangkah kau tuang setetes
tuk' hilangkan dahaga jiwa-jiwa
yang tengah merindu air

Hei perempuan bercadar angin,
seraya hembusanmu memberi oksigen kesegaran
pada jiwa2 yang tengah sakit

Dan kau perempuan bercadar juang,
lantang teriakmu hentakkan jiwa-jiwa
yang telah lawas larut dlm sudut klas-klas penindas

Kaulah perempuan
yang menguak tabir palsu kehidupan
yang dibaluti dogma-dogma atas nama Tuhan

Kau bongkar ketabuan manusia-manusia
yang terus membungkuk pada laparnya

Sejatinya Ruhmu dibalut cahaya Ilahi

19 Februari 2011

AKU PEREMPUAN


Andai kuterlahir berpenis, maka kebebasan senantiasa mengisi hari-hari yang padat. Tak perlu takut pada malam, apalagi pada sasus mereka yang mengadili. Pantang dengan ocehan mama yang mengungkung. Aku hendak bebas mengarungi hidup, tanpa belenggu, tanpa pasung! Aku tak meminta lebih, tak menuntut waris dan harta.

Pelecehan kerap kualami karena bajuku tak begitu sopan menurut mereka. Sering pula aku dikerasi karena menentang, memberontak pada didikan kolot mereka. Aku hanya perempuan, yang dipaksakan mengikut pada perintah, walau batin tetap menyiksa. Aku adalah perempuan, yang meratapi nasib terpasung dalam lembaga keluarga, agama bahkan negara.

Woi…. !!! Siapa yang hendak mendengar tangis dan ratapku? Tangis perempuan yang dipingit untuk kemudian dijual. Ratap perempuan 25 tahun yang terus diawasi dengan aturan sosial. Aku tak mau diemong, dimanja. Aku hanya butuh bebas. Karena ini hidupku.

Pergi kalian pengungkung! Jika tidak, maka aku yang akan pergi. Hatiku senantiasa berteriak, dengarlah! Aku bukan belia, yang patut awas! Aku manusia dewasa yang ingin bebas! Manusia dewasa! Pergi, pergi dan jangan kembali! Karena aku butuh bebas!

“Refleksi 15 Tahun Reformasi; Tolak RUU KAMNAS dan ORMAS, Pemasung Demokrasi!”


Gerakan Mahasiswa Indonesia yang bangkit kembali pada 1980-an dan 1990-an, bukan merupakan suatu hal yang aneh, bila kita melihat landasan material sistem ekonomi politik Orde Baru
yang dijalankan saat itu. Gerakan mahasiswa yang muncul kemudian, seperti menentang represifitas dan kesewenang-wenangan yang ada dalam kampus dan masyarakat, merupakan pembuktian, bahwa gerakan mahasiswa mempunyai tujuan bagi terciptanya ruang demokrasi di negara ini. Gerakan mahasiswa mulai menyadari, bahwa tugas tersebut merupakan suatu usaha sadar untuk merekonstruksi dan mentransformasikan kehidupan sosial.

Gerakan Rakyat dan Mahasiswa 1998—Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran.
            
Keberhasilan gerakan rakyat dan mahasiswa pada 21 Mei 1998—lahirnya reformasi—memperkenalkan pada kita, suatu cerminan tentang pentingnya mempersatukan kekuatan-kekuatan rakyat dan mahasiswa—sekalipun hanya bersifat mobilisir. Keberhasilan yang melahirkan ruang demokrasi ini, membuka pintu bagi lahir dan menjamurnya organisasi massa di berbagai sektor-sektor kerakyatan seperti buruh, tani, kaum miskin kota, seniman, perempuan dan mahasiswa. Setelah sebelumnya kekuatan-kekuatan ini pernah massiv, lalu diberangus pada massa Orde Baru (1965-67). Kesadaran untuk mengorganisasikan diri adalah kemajuan yang patut untuk diperhitungkan. Walau demikian, kita juga tak patut hanya bereuforia dengan semua kemenangan tersebut. Karena terdapat kelemahan-kelemahan dari gerakan 1998, yang patut untuk dianalisis dan diperbaharui dalam membangun kekuatan gerakan kedepan.
            
Menjamurnya berbagai organisasi massa di Indonesia pasca reformasi adalah suatu kemajuan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Namun, organisasi yang semakin banyak ini—yang harusnya menjadi kekuatan—justru semakin mengkerdilkan gerakan rakyat dan mahasiswa dalam perspektif sektarianisme. Tak ada persatuan kekuatan dan gerakan yang bersifat massiv, kuat dan berkelanjutan (strategis), yang ada hanya persatuan-persatuan gerakan yang bersifat momentum dan taktis. Sentiment gerakan antar tiap organisasi adalah hal yang paling harus diberangus saat ini.

RUU KAMNAS dan ORMAS—Ancaman Bagi Demokrasi Indonesia.
            
Selain kegagalan menyatukan kekuatan gerakan di Indonesia, reformasi juga telah gagal menghancurkan dominasi militerisme. Militer Indonesia—yang sebelumnya telah dibuat tunduk pada kekuatan rakyat, dengan menghapus dwi fungsi ABRI—belakangan mulai menunjukkan taring dalam perpolitikan di tanah air. Lihat saja, bagaimana para jenderal pelanggar HAM—yang tak pernah diadili—justru mendirikan partai dan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah maupun kepala negara. Atau bagaimana militer Indonesia saat ini bergerak menembaki rakyat di kota maupun desa; di pabrik maupun wilayah konsesi investasi ekstraktif; di tambang maupun perkebunan; di pasar maupun kampus. Semua itu dilakukan dengan mengatasnamakan stabilitas keamanan negara. Ya, stabilitas negara dalam mengamankan kepentingan investasi skala besar dan massiv; kepentingan akumulasi kapital negara-negara annex 1; kepentingan menjaga pasar KFC dan AQUA; kepentingan menjadikan kita sebagai manusia konsumtif, yang bergerak hanya untuk berbelanja; kepentingan membuat kita terasing di atas tanah sendiri; dan seterusnya, dan seterusnya.
            
Untuk menjaga semua kepentingan itu, maka demokrasi hanya bagi mereka yang bermodal. Karena patung liberty didirikan atas nama kebebasan individu dalam memperkaya diri—tanpa peduli kekayaan itu ditumpuk dengan bayaran tengkorak, darah dan keringat para buruh dan  rakyat di negara-negara dunia ketiga (miskin).

Agar rakyat semakin terlihat “bodoh”, maka mereka harus dididik menaati setiap regulasi yang dibuat—tak peduli regulasi-regulasi itu memarginalkan mereka—sebagaimana yang diamanatkan dalam Washington Consensus 1984 yakni Deregulasi. UU Penanaman Modal Asing—yang menyalahi pasal 33 UUD 1945; UU Perburuhan; UU Minerba; UU Intelejen dan berbagai regulasi lainnya, adalah bukti konkrit bahwa para penguasa negara ini sangat berkepentingan menjaga keamanan sistem kapitalisme dalam mengeksploitasi, mengekspansi dan mengakumulasi modalnya.
            
Salah satu upaya menjaga stabilitas keamanan modal adalah, dengan melahirkan regulasi yang dapat memberikan kewenangan sebesar-besarnya bagi militer, dalam menjalankan tugasnya sebagai “anjing” penjaga modal, diantaranya UU Intelejen yang baru disahkan 2012 kemarin, serta RUU Kamnas dan Ormas—yang lahir dari titisan dolar Amerika—yang rencananya akan disahkan pada pertengahan tahun ini.
            
Telah 15 tahun berlalu, ketika puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan rakyat dan mahasiswa Indonesia, yang telah mengorbankan keringat dan darah untuk sebuah kebebasan yang bernama “DEMOKRASI”. Dan saat ini, ketika kebebasan itu masih terpasung—dan dikerdilkan demi kebebasan segelintir memperkaya diri—kita justru akan kehilangan kemenangan itu. Bukan karena kita kalah, kawan! Tapi karena kita belum bertarung; belum merasa mampu; belum merasa kuasa; belum merasa kuat; belum bersatu; masih belajar; masih sibuk di ruang diskusi, karena kita “aktivis klik”; masih menjadi perwakilan-perwakilan rakyat, karena kita “seleb gerakan”; masih berdebat dan saling melemahkan; masih merasa benar; masih menghakimi kawan; dan masih belum mengenal lawan.
        
“Refleksi 15 Tahun Reformasi; Tolak RUU Kamnas dan Ormas, Pemasung Demokrasi!”, harus dijadikan sebagai topik isu.  Berdiskusi bukan untuk mengukur kemampuan, tapi merumuskan akar permasalahan; melahirkan stratak perjuangan bersama; menjadi generasi penerus yang tidak hanya “numpang bebas” dan impoten, tapi penuh ide dan kreasi; karena kita akan terus belajar untuk bekerja, berjuang dan memperbaiki setiap salah.

HARI HAM SEDUNIA, “MARI BERSATU, KAWAN!”


(Seutas cerita dibalik upaya penyatuan gerakan di Maluku Utara)

JIKA rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Secarik sajak yang ditulis dan diberi judul “Peringatan” oleh Wiji Tukul diatas, patut menjadi renungan bagi kami yang hadir dalam forum ini, kami yang berdiskusi tentang pelanggaran HAM dan pengungkungan demokrasi saat ini, kami yang bersuara untuk akar rumput yang terserabut dari tanahnya, kami yang senantiasa berteriak lantang, “Hanya ada satu kata : LAWAN!”. Ceritanya dimulai disini, kawan.

Siang itu, kami menghadiri undangan konsolidasi aksi untuk momentum hari HAM sedunia—yang jatuh pada tanggal 10/12/12—oleh Gerakan Pelopor Perjuangan Rakyat (GERPOLEK). Huuuuffh…. “Menunggu, sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku”!!! Lirik lagu dari Zivilia ini mencerminkan kemelut dalam benakku—antara menunggu atau pulang—Budaya “laste”, membuat kami (saya & Asmi) harus menunggu dari jam 3 sore (sesuai undangan) sampai kedatangan kawan-kawan dari organisasi yang lain. Sekitar jam 5 sore, rapat konsolidasi baru dimulai dengan agenda membedah situasi nasional dan situasi daerah.

Kawan Idham dan beberapa kawan dari Gerakan Mahasiswa Penyambung Aspirasi Rakyat (GEMPAR), menyampaikan situasi nasional yang sedang gencar dengan isu kasus korupsi, selain itu ada juga kawan-kawan dari oranisasi-organisasi yang hadir, diantaranya dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perempuan Mahardhika, Sekolah Kritis, Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (GAMHAS), Himpunan Mahasiswa Foya Kotalou (HIPMA FK), Himpunan Mahasiswa Gane Luar (HIPMA GALUR), Himpunan Mahasiswa Gane Dalam (HIPMA GAD), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Pertanian dan Perikanan Universitas Khairun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Serikat Hijau Indonesia (SHI), yang coba mendudukkan frame awal, dengan menguraikan dan menganalisis situasi nasional terkait dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi akibat dari konflik agraria—perebutan lahan rakyat oleh koorporatokrasi—di Indonesia. Kawan Bongky dari SHI mencoba menguraikan data-data pelanggaran HAM terkait dengan konflik agraria yang dilatarbelakangi oleh semakin masivnya investasi ekstraktif—perkebunan dan pertambangan—di Indonesia, Bongky juga membuka wacana tentang skematik REDD dan REDD plus yang dicanangkan oleh negara-negara Anex 1, yang akan semakin menggusur asset vital rakyat tempatan. Terkait dengan itu, menurut Bongky, korupsi yang paling besar justru terjadi di sektor pembebasan lahan untuk pertambangan dan perkebunan skala masiv. 

Kawan Tuthy (saya sendiri, red) dari Perempuan Mahardhika, kemudian mencoba menganalisis dari kacamata ekonomi-politik, bahwa kasus pelanggaran HAM, korupsi dan perampasan lahan-lahan produktif rakyat, dilatarbelakangi oleh Sistem Neoliberalisme yang dilahirkan pada pertemuan Washington Consensus tahun 1984, ketika teori liberalism (ala Adam Smith) dan Keynesian tidak lagi relevan dalam menanggulangi krisis kapitalisme, yang disebabkan oleh akumulasi/over produksi ini. Neoliberalisme membutuhkan 3 hal yakni SDA, SDM dan Pasar dalam mengakumulasi modalnya, dan guna mensukseskan semua itu, deregulasi berbagai UU dan liberalisasi pasar adalah program-program yang tercantum dalam 10 program Washington Consensus di atas. Menurut saya, korupsi juga marak terjadi dan semakin membudaya, sebab gaya hidup mewah dan konsumeris yang diciptakan oleh kapitalisme, yang tentunya berdampak pada semakin meningkatnya kecenderungan orang untuk berupaya mencari cara instan agar bisa “luks”, salah satunya dengan korupsi.

Setelah saya menyampaikan analisis saya, kawan Idho dari WALHI pun masuk dan menyampaikan, bahwa persoalan korupsi juga penting tapi dalam diskusi ini kajian kita harus lebih mendalam dan mengakar, “sekarang saya ingin tanyakan ke kawan-kawan, pilih mana, sekedar memukul daun atau memukul sekalian dengan batangnya” ramai-ramai kami pun menjawab memukul batangnya, yang dimaksudkan oleh Idho adalah dalam kasus korupsi, kita tidak harus menyentuh oknum tapi sistem yang melahirkan dan menguatkannya.

Sesuai kesepakatan, keesokan harinya (hari ini ketika tulisan ini dibuat) akan diselenggarakan setingan aksi, lagi dan lagi… hufh… menunggu lagi. Untungnya hari ini, banyak kawan-kawan yang ngumpul di serambi depan rumah (Basecamp Gerpolek). “kenalilah tiga setan, setan penindas rakyat” lirik tembang milik KEPAL SPI ini menghiasi forum non formal kami. Dipandu kawan Sham dari PEMBEBASAN dengan memainkan jari jemarinya—yang tampak kasar dan tebal—pada sebuah gitar usang, kami pun hanyut dalam banyak tembang juang yang didendangkan (mulai dari genre Balada sampai Reagge). Tembang-tembang juang ini mengisi waktu luang kami, menanti kawan-kawan pelaku jam karet. Diantara semua tembang-tembang yang ada, “satukanlah dirimu semua, seluruh rakyat senasib serasa, susah senang dirasa sama, bangun… bangunlah segera…”, sempat membuat saya termangu dalam ilusi, menurut saya tembang ini yang paling tepat tuk’ menggambarkan kondisi objektif gerakan yang ada di Maluku Utara, sentiment gerakan yang tercermin dalam fanatisme organisasi dan bendera, sangat berdampak pada perpecahan dan perang ideology serta garis politik.

Setelah banyak tembang yang dinyanyikan secara berafiliasi antar kawan-kawan yang ada, aku “dipaksa” untuk mendendangkan “Donna… Donna…” sebagai penutup semua tembang. Akhirnya kulantunkan dengan kepekaan yang senantiasa terjaga, kepalan tinju yang tak letih menancap ke langit, keletihan berkobar di sepanjang jalan revolusi, kegemaran berlesehan dengan kaum dhuafa serta kerinduan akan revolusi di esok hari.

Karena hidup adalah pilihan, mencari kenyamanan ataukah kebebasan. Kau tak akan bisa hidup dengan kedua-duanya—begitu petuah sang Comandante. Dan saya sedang mencoba dan berupaya hidup dengan kebebasan, walaupun godaan kenyamanan hidup mewah masih senantiasa mengganggu malam-malam saya, namun inilah pilihan atas hidup, yang tak letih mengajarkan kami.

“ayo, kawan-kawan, masuk ke ruangan, setingan akan dimulai” begitu sapa seorang kawan yang mengganggu aktivitas “manggung” kami. Setingan aksi akhirnya dibuka pada pukul 16.20 WIT—telat lebih dari 3 jam dari yang disepakati pukul 13.00 WIT. Dari hasil setingan, saya terpilih menjadi Koordinator Lapangan (Korlap) dengan isu central aksi “TOLAK RUU KAMNAS+ORMAS, TUNTASKAN KASUS-KASUS KORUPSI DAN PELANGGARAN HAM”. Setingan aksi akhirnya saya tutup dengan kesepakatan jam 10 pagi aksi dimulai esok harinya.

Sabtu, 25 Mei 2013

BOBO DI PENGHUJUNG UNGU

Ketika mentari pagi menyuplai energi,
kutetapkan langkah menuju desa kecil yang terlupakan oleh kemajuan.

Bobo,
Desa yang berpenghuni lebih dari 1000 jiwa ini sangatlah jauh dari sentuhan zaman ini.
Struktur pemerintahan desa yang tidak berfungsi, ADD yang tak tahu bertuju kemana, SDA melimpah yang tak berakses jual.

Dan terlupakan oleh "Sang Penguasa",
padahal letak geografis desa yang berada di Kec. Jailolo Kab. Halbar ini
sangatlah berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten.

Bobo,
Desa asri yang dengan hutannya yang subur,
aroma cengkeh, pala & kopra yang wangi, pisang & "kasbi" yang melimpah ruah
dan orang-orang yang tak pandai berteori tentang ekologis
tapi berpraktek dalam mencintai alam,
mereka tak cakap dalam ruang diskusi tentang keadilan tapi mereka ikhlas dalam berperilaku hidup yang adil.
Karena mereka mengambil SDA untuk perut hari ini dan tidak untuk ditumpuk.

Dan kini, ketika krisis energi dan isu pemanasan global menggempar dunia,
semua mata asing tertuju pada Bobo dan desa-desa sekitar,
yang menyediakan sumber air panas untuk dijadikan sebagai energi alternatif, geotermal (PLTU).

Namun, mereka menolak
karena bukan mereka yang harus bertanggungjawab,
atas semakin menipisnya energi fosil dll, bukan mereka yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan energi yang besar oleh kaum bermodal.

Karena ini tanah mereka!!
Mereka tak menuntut apapun
kecuali biarkan mereka berdaulat dan mandiri
di atas tanah yang hantarkan peradaban mulia,
bukan peradaban kotor hari ini!

Dan senja akan hantarkan malam,
lambaian tangan orang-orang kampung
disertai lambaian nyiur disemenanjung pantai juga turut hantarkan langkahku
kembali ke Kie Gam Lamo, bergelut dengan rutinitas tak bernilai.


Di atas gelombang yang pasang, 21 November 2011

Jumat, 24 Mei 2013

Perempuan dan Perubahan Iklim

“Bumi adalah rahim yang mampu memberikan kehidupan bagi manusia”.

Perempuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Perempuan dan masyarakat adat, pedesaan dan pesisir  adalah potret perempuan dan (manusia lainnya) yang memanfaatkan alam untuk kebutuhannya  dengan tidak secara berlebihan, serta selalu menjaga dan merawat alam sebagaimana alam memberi dan memenuhi kebutuhan hidup mereka, semua itu dilakukan demi kehidupan yang berkelanjutan[1]. Perempuan-perempuan inilah yang tahu dan paham bahwa alam telah menyediakan segalanya untuk kebutuhan keberlangsungan hidup mereka dan bukan untuk memenuhi segala keinginan manusia yang serakah. Merekalah perempuan-perempuan yang hidup bersama manusia lainnya dengan pendidikan egaliter yang diajarkan alam. Hingga di beberapa budaya, simbol-simbol perempuan dilekatkan pada aktivitas alam seperti ibu pertiwi sebagai simbol  alam yang dekat dengan perempuan (ibu) atau dewi kesuburan yang dipercaya dan disimboliskan kesuburan reproduksi perempuan sebagai kesuburan bagi produktifitas pertanian. 

Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan adalah pahlawan atas kemajuan dunia pertanian hingga hari ini. Data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam yang terjadi di Sumeria dan Mesir sekitar 8000-11000 tahun yang lalu, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan. Dan di saat inilah, kaum perempuan muncul sebagai juru selamat. Mereka menggunakan keterampilan mereka untuk mengolah biji-bijian yang didapat dari ketersediaan di alam menjadi tanaman, untuk mendapatkan bahan makanan bagi seluruh komunitas. Bercocok tanam (hortikultura) inilah yang tadinya hanya sebagai pengisi waktu senggang perempuan pada fase nomaden kini menjadi sumber penghidupan utama seluruh masyarakat.[2] 

Hingga pada periode penghancuran bumi hari ini, Perempuan dan masyarakat adat, pedesaan dan pesisir sangat menggantungkan hidup mereka pada segala sesuatu yang bisa mereka manfaatkan dari alam dan semua pekerjaan produktif ekonomi dan domestik mereka lakukan sesuai dengan perputaran iklim yang ada. Bertani bagi kaum laki-laki dan berkebun bagi kaum perempuan adalah potret masyarakat pedesaan, sementara melaut bagi kaum laki-laki dan mengolah serta mendagangkan hasil melaut ke pasar bagi perempuan adalah cermin masyarakat pesisir. Perempuan adat, pedesaan dan pesisir juga mampu meramu tumbuh-tumbuhan yang terdapat di alam sebagai obat-obatan tradisional. Semua pengelolaan atas sumber daya alam oleh perempuan dan (masyarakat) ini selalu mempertimbangkan keberlanjutan bumi, agar tetap layak ditempati oleh makhluk hidup. Namun, sampai pada titik dimana alam tak lagi mampu memenuhi kebutuhan mereka, dimana bencana dan perubahan iklim yang ekstrim mulai melanda bumi akibat tangan-tangan serakah para pemilik modal.

Perubahan Iklim dan Solusi Palsu ala Kapitalisme

Perubahan Iklim merupakan suatu akibat dari fenomena pemanasan global. Sementara pemanasan global sendiri merupakan suatu kejadian dimana suhu rata-rata permukaan bumi, air laut dan atmosfer meningkat[3], yang diakibatkan oleh semakin banyaknya gas-gas rumah kaca yang memerangkap panas matahari pada lapisan atmosfer atau yang sering disebut dengan peristiwa efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menjaga suhu di bumi agar tetap hangat[4], hanya saja gas-gas rumah kaca yang merupakan faktor terjadinya efek rumah kaca semakin massiv dan banyak mengendap di udara akibat dari aktifitas manusia di bumi saat ini, sehingga panas matahari yang terperangkap pada lapisan atmosfer pun semakin meningkat, dan akhirnya suhu di bumi pun menjadi semakin panas.

Dan Seperti telah disebutkan di atas bahwa pemanasan global diakibatkan oleh aktivitas manusia dan manusia-manusia itu adalah penggiat sistem Kapitalisme sebagai biang kerok pemanasan global dan ketidakadilan di muka bumi. Kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi politik yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi modal dalam mengakumulasi keuntungan, terutama modal-modal dalam skala besar dan massiv. Dan sampai pada titik perubahan kapitalisme hari ini yang terus berdialektik seiring dengan krisis yang terus melanda akibat over produksi  yakni neoliberalisme, dimana Negara tidak lagi memiliki kedaulatan dan kemandirian di segala bidang baik ekonomi, politik, hukum, budaya hingga pada hak pengelolaan atas sumber daya alam.

Emisi gas rumah kaca yang menjadi sumber dari pemanasan global adalah kontribusi dari  semakin meningkatnya penggunaan energy fosil serta semakin menipisnya hutan sebagai penyerap karbon. Dalam ekonomi liberal (ala kapitalisme), tidak ada pengecualian dalam mengekspansi, mengeksploitasi dan mengakumulasi modalnya, sementara pengendali ekonomi liberal ini adalah negara-negara anex 1 yang memiliki banyak industri-indusri besar, produsen transportasi serta pemakai listrik yang boros. Semua aktivitas ini menggunakan bahan bakar fosil yang menyumbangkan emisi gas rumah kaca sangat besar. Selain itu, negara-negara kapitalis ini jugalah yang memilki banyak investasi skala massiv di sektor pertambangan dan perkebunan—baik yang terdapat di negaranya sendiri maupun yang diekspansi ke negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia)—kedua sektor ini juga merupakan sumber dari semakin maraknya degradasi hutan—baik melalui mekanisme “penebangan maupun pembakaran”.  Akibatnya adalah semakin banyaknya emisi karbon yang diproduksi ke udara  sementara semakin sedikit pula pohon dan tumbuhan yang bertugas menyerap karbon, akhirnya panas matahari yang masuk ke bumi kembali ke atmosfer dan terperangkap disana, bumi pun menjadi panas.

Dampak paling nyata dari fenomena pemanasan global ini adalah terjadi perubahan cuaca ekstrim, dimana di suatu belahan dunia terjadi bencana banjir akibat  curah hujan yang meningkat, sementara di belahan dunia lain terjadi bencana kekeringan akibat krisis air tanah. Apa yang terjadi dengan manusia? Banyak nyawa hilang akibat bencana, ribuan bahkan jutaan rumah yang rusak, dan tentu saja angka kematian yang meningkat drastis karena kelaparan akibat krisis pangan yang disebabkan pada penurunan produktifitas pertanian. Dan dampak lainnya yang menjadi ketakutan semua orang adalah akan mencairnya es terakhir di kutub utara[5]—yang menyimpan cadangan 70% air di muka bumi—maka kiamatlah bumi karena permukaan air laut akan meningkat dan menenggelamkan daratan bumi—terutama pulau-pulau kecil.

Fenomena pemanasan global ini juga yang kemudian mendorong berbagai pihak di berbagai belahan dunia untuk melahirkan berbagai kebijakan dan regulasi baik dalam skala global, nasional maupun lokal. Pada lingkup global ada berbagai macam pertemuan yang dilakukan dengan latar balakang penyelamatan lingkungan hidup diantaranya Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nation Frame work Convention on Climate/UNFCC), KTT Bumi, National Summit dan sebagainya. Namun, banyaknya pertemuan global yang melahirkan berbagai regulasi seputar solusi atas pemanasan global ini, belum mampu teraplikasi dengan baik dan tidak solutif tentunya. Bahkan negara-negara anex 1 seperti Amerika Serikat, China, India, Canada, Inggris, Jepang, Australia dan Jerman yang ditetapkan sebagai negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia menolak menjalankan ketetapan protokol Kyoto  untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil terutama pada sektor industri dan transportasi, serta mengurangi eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Hal ini disebabkan oleh akumulasi kapital negara-negara ini didapatkan dari kedua sumber pemanasan global tersebut. Pada akhirnya, negara-negara penyumbang emisi terbesar ini lebih memilih untuk melakukan perdagangan karbon atau yang dikenal dengan program REDD (Reducing Emision from Deforestation and forest Degradation), salah satunya dengan pemberian insentif atau kompensasi finansial kepada negara-negara dunia ketiga yang menjalankan program REDD tersebut. REDD akan menjadi ancaman baru bagi masyarakat lokal/tempatan yang sejak berabad-abad lalu, telah menggantungkan hidup pada hutan.

Sementara program REDD ini tidak dapat menjadi solusi atas pemanasan global, berbagai aktivitas pencemaran lingkungan dan penghancuran hutan untuk perkebunan dan pertambangan oleh koorporasi padat modal terus saja terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia tentunya. Data yang terhimpun menyebutkan, terdapat 165 miliar pohon yang hilang di Indonesia[6], penyebabnya didominasi oleh pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan dan pertambangan skala besar dan massiv. Penghancuran kawasan hutan ini telah terbukti memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pelepasan emisi karbon, IPCC menyebutkan emisi karbon dari deforestasi hutan tropis pada tahun 1990-an adalah 1,6 miliar ton karbon setiap tahunnya. Jika merunut pada program 1 miliar pohon tiap tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, maka membutuhkan 165 tahun untuk mengembalikan hutan Indonesia. Sementara disisi lain, obral perizinan terhadap aktivitas alih fungsi hutan oleh koorporasi perkebunan dan pertambangan skala massiv terus saja mengalir baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah.

Perempuan, Korban Utama Perubahan Iklim

Jauh sebelum adanya sistem ekonomi kapitalisme dan fenomena pemanasan global, perempuan telah memiliki peran ganda yang dibebankan padanya dalam struktur masyarakat patriarki—bekerja di ruang publik sebagai pencari nafkah tambahan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga dan juga sebagai pekerja domestik yang dari harus mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus anak sampai melayani kebutuhan suami. Tidak hanya beban ganda yang menjadi masalah bagi peningkatan produktifitas perempuan, tapi penempatan perempuan sebagai manusia inferior berdasarkan jenis kelamin juga menyebabkan perempuan menjadi sangat rentan mengalami kekerasan dan marginalisasi (Determenisme Biologis).

Setelah menguatnya sistem kapitalisme yang mengatur kehidupan bumi, semakin menambah petaka baru bagi perempuan—terutama perempuan dengan latar belakang ekonomi lemah. Lihat saja, bagaimana maraknya pertambangan, perkebunan dan investasi skala massiv lainnya di wilayah pedesaan dan pesisir yang memberikan dampak pada semakin  sempitnya ruang hidup perempuan dan (masyarakat) tempatan[7]. Akibatnya semakin banyak perempuan-perempuan pedesaan yang bekerja serabutan, dan semakin meningkatkan urbanisasi. Faktanya banyak perempuan lingkar tambang yang harus mencari pekerjaan ke kota dengan menjadi PKL, buruh harian dll—yang pekerjaannya penuh tantangan, PKL misalnya tiap hari harus berhadapan dengan tameng SATPOL PP atau buruh harian yang dikontrak per hari dengan upah sangat rendah, dan tentu saja tanpa ada jaminan kesehatan atau keselamatan kerja. Jika tidak ke kota, maka Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah jawaban atas perut anak-anak yang lapar, perempuan-perempuan “miskin” ini pun dengan ikhlas merantau ke negara lain—dengan tanpa ada jaminan keselamatan dari negara, sementara  pekerjaan di luar negeri sebagai tenaga kerja ini sangat rentan dengan pemerkosaan , penganiayaan bahkan perdagangan organ tubuh dan/atau pembunuhan. Atau mari kita tengok tragedi lainnya, dimana perempuan-perempuan miskin kota yang umumnya menggantungkan hidup dengan menjadi pedagang di pasar-pasar tradisional harus tergusur pendapatannya karena kalah bersaing dengan pertokoan, mall dan investasi pasar skala besar lainnya.

Semua masalah ini bersumber dari penggerogotan kapitalisme terhadap sumber-sumber kehidupan rakyat, dan kemudian rakyat dididik menjadi manusia konsumtif yang tidak produktif. Selain itu, kebijakan Negara yang tunduk pada kekuasaan modal juga  ikut mendorong tidak adanya Political Will untuk mengembangkan tenaga produktif perempuan dan rakyat guna peningkatan ekonomi real.

Menurut laporan World Disaster Report pada tahun 2011, terdapat 925 juta penduduk dunia yang menderita kelaparan dan 62% tinggal di Asia Paisfik yang menjadi pusat investasi perekenomian dunia. PBB juga mencatat di awal tahun 2012 jumlah kemiskinan meningkat menjadi 1,5 miliar orang dan 70% nya adalah perempuan, serta 3 – 5 ribu orang mati setiap hari akibat kelaparan. Dari itu, sebagai solusi untuk mengurangi dampak pemanasan global terhadap bumi yang harus dilakukan oleh negara adalah bersikap berani dengan membatasi pembukaan kawasan hutan untuk investasi skala besar dan massiv.  Yang paling mendesak juga untuk dilakukan saat ini adalah menghentikan segala bentuk aktivitas eksploitasi pertambangan dan perkebunan yang faktanya banyak merugikan dan menciptakan konflik pada masyarakat tempatan, serta berkontribusi besar terhadap kegundulan hutan dan kerusakan lingkungan. Setelah itu menasionalisasi industri dibawah kontrol rakyat dengan mencontoh pada Venezuela yang mampu meningkatkan pendapatan negara, mensejahterakan rakyat (dan perempuan) serta mengontrol kelestarian lingkungan adalah wajib dilaksanakan oleh negara. Kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi adalah jalan menuju keselamatan Indonesia dan bumi kita.

“Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tapi tidak cukup untuk satu orang serakah” (Mohandas K. Gandhi)

Selamat Hari Bumi, 22 April 2013.


[2] Zely Ariane, Antropologi Gender dan Asal-Usul Ketidaksertaraan Perempuan, Perempuan Mahardhika
[3] Ismet Soelaiman, Pemanasan Global dan Perubahan Iklim, WALHI Malut Mei 2012
[4] Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Berbasis Gas Rumah Kaca: Tinjauan Kritis, Sawit Watch, 2009
[6] Kompas, 9 Oktober 2011
[7] Perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, WALHI, Desember 2010