(Seutas
cerita dibalik upaya penyatuan gerakan di Maluku Utara)
JIKA rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa
ditimbang
Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!
Secarik sajak yang ditulis dan diberi
judul “Peringatan” oleh Wiji Tukul diatas, patut menjadi renungan bagi kami
yang hadir dalam forum ini, kami yang berdiskusi tentang pelanggaran HAM dan pengungkungan
demokrasi saat ini, kami yang bersuara untuk akar rumput yang terserabut dari
tanahnya, kami yang senantiasa berteriak lantang, “Hanya ada satu kata :
LAWAN!”. Ceritanya dimulai disini, kawan.
Siang itu, kami menghadiri undangan
konsolidasi aksi untuk momentum hari HAM sedunia—yang jatuh pada tanggal
10/12/12—oleh Gerakan Pelopor Perjuangan Rakyat (GERPOLEK). Huuuuffh…. “Menunggu,
sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku”!!! Lirik lagu dari Zivilia ini mencerminkan
kemelut dalam benakku—antara menunggu atau pulang—Budaya “laste”, membuat kami (saya & Asmi) harus menunggu dari jam 3 sore
(sesuai undangan) sampai kedatangan kawan-kawan dari organisasi yang lain.
Sekitar jam 5 sore, rapat konsolidasi baru dimulai dengan agenda membedah
situasi nasional dan situasi daerah.
Kawan
Idham dan beberapa kawan dari Gerakan Mahasiswa Penyambung Aspirasi Rakyat
(GEMPAR), menyampaikan situasi nasional yang sedang gencar dengan isu kasus
korupsi, selain itu ada juga kawan-kawan dari oranisasi-organisasi yang hadir,
diantaranya dari Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
(PEMBEBASAN), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perempuan Mahardhika,
Sekolah Kritis, Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (GAMHAS), Himpunan Mahasiswa
Foya Kotalou (HIPMA FK), Himpunan Mahasiswa Gane Luar (HIPMA GALUR), Himpunan
Mahasiswa Gane Dalam (HIPMA GAD), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Pertanian dan
Perikanan Universitas Khairun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Serikat
Hijau Indonesia (SHI), yang coba mendudukkan frame awal, dengan menguraikan dan
menganalisis situasi nasional terkait dengan maraknya pelanggaran HAM yang
terjadi akibat dari konflik agraria—perebutan lahan rakyat oleh koorporatokrasi—di
Indonesia. Kawan Bongky dari SHI mencoba menguraikan data-data pelanggaran HAM
terkait dengan konflik agraria yang dilatarbelakangi oleh semakin masivnya
investasi ekstraktif—perkebunan dan pertambangan—di Indonesia, Bongky juga
membuka wacana tentang skematik REDD dan REDD plus yang dicanangkan oleh
negara-negara Anex 1, yang akan semakin menggusur asset vital rakyat tempatan. Terkait
dengan itu, menurut Bongky, korupsi yang paling besar justru terjadi di sektor
pembebasan lahan untuk pertambangan dan perkebunan skala masiv.
Kawan
Tuthy (saya sendiri, red) dari
Perempuan Mahardhika, kemudian mencoba menganalisis dari kacamata
ekonomi-politik, bahwa kasus pelanggaran HAM, korupsi dan perampasan
lahan-lahan produktif rakyat, dilatarbelakangi oleh Sistem Neoliberalisme yang
dilahirkan pada pertemuan Washington
Consensus tahun 1984, ketika teori liberalism (ala Adam Smith) dan Keynesian
tidak lagi relevan dalam menanggulangi krisis kapitalisme, yang disebabkan oleh
akumulasi/over produksi ini. Neoliberalisme membutuhkan 3 hal yakni SDA, SDM
dan Pasar dalam mengakumulasi modalnya, dan guna mensukseskan semua itu,
deregulasi berbagai UU dan liberalisasi pasar adalah program-program yang
tercantum dalam 10 program Washington
Consensus di atas. Menurut saya, korupsi juga marak terjadi dan semakin
membudaya, sebab gaya hidup mewah dan konsumeris yang diciptakan oleh
kapitalisme, yang tentunya berdampak pada semakin meningkatnya kecenderungan
orang untuk berupaya mencari cara instan agar bisa “luks”, salah satunya dengan korupsi.
Setelah
saya menyampaikan analisis saya, kawan Idho dari WALHI pun masuk
dan menyampaikan, bahwa persoalan korupsi juga penting tapi dalam diskusi ini
kajian kita harus lebih mendalam dan mengakar, “sekarang saya ingin tanyakan ke
kawan-kawan, pilih mana, sekedar memukul daun atau memukul sekalian dengan
batangnya” ramai-ramai kami pun menjawab memukul batangnya, yang dimaksudkan
oleh Idho adalah dalam kasus korupsi, kita tidak harus menyentuh oknum tapi
sistem yang melahirkan dan menguatkannya.
Sesuai
kesepakatan, keesokan harinya (hari ini ketika tulisan ini dibuat) akan
diselenggarakan setingan aksi, lagi dan lagi… hufh… menunggu lagi. Untungnya
hari ini, banyak kawan-kawan yang ngumpul
di serambi depan rumah (Basecamp Gerpolek). “kenalilah tiga setan, setan
penindas rakyat” lirik tembang milik KEPAL SPI ini menghiasi forum non formal
kami. Dipandu kawan Sham dari PEMBEBASAN dengan memainkan jari jemarinya—yang
tampak kasar dan tebal—pada sebuah gitar usang, kami pun hanyut dalam banyak
tembang juang yang didendangkan (mulai dari genre
Balada sampai Reagge). Tembang-tembang juang ini mengisi waktu luang kami,
menanti kawan-kawan pelaku jam karet. Diantara semua tembang-tembang yang ada,
“satukanlah dirimu semua, seluruh rakyat senasib serasa, susah senang dirasa
sama, bangun… bangunlah segera…”, sempat membuat saya termangu dalam ilusi,
menurut saya tembang ini yang paling tepat tuk’ menggambarkan kondisi objektif
gerakan yang ada di Maluku Utara, sentiment gerakan yang tercermin dalam
fanatisme organisasi dan bendera, sangat berdampak pada perpecahan dan perang
ideology serta garis politik.
Setelah
banyak tembang yang dinyanyikan secara berafiliasi antar kawan-kawan yang ada,
aku “dipaksa” untuk mendendangkan “Donna… Donna…” sebagai penutup semua
tembang. Akhirnya kulantunkan dengan kepekaan yang senantiasa terjaga, kepalan
tinju yang tak letih menancap ke langit, keletihan berkobar di sepanjang jalan
revolusi, kegemaran berlesehan dengan kaum dhuafa serta kerinduan akan revolusi
di esok hari.
Karena
hidup adalah pilihan, mencari kenyamanan ataukah kebebasan. Kau tak akan bisa
hidup dengan kedua-duanya—begitu petuah sang Comandante. Dan saya sedang
mencoba dan berupaya hidup dengan kebebasan, walaupun godaan kenyamanan hidup
mewah masih senantiasa mengganggu malam-malam saya, namun inilah pilihan atas
hidup, yang tak letih mengajarkan kami.
“ayo,
kawan-kawan, masuk ke ruangan, setingan akan dimulai” begitu sapa seorang kawan
yang mengganggu aktivitas “manggung” kami. Setingan aksi akhirnya dibuka pada
pukul 16.20 WIT—telat lebih dari 3 jam dari yang disepakati pukul 13.00 WIT. Dari
hasil setingan, saya terpilih menjadi Koordinator Lapangan (Korlap) dengan isu
central aksi “TOLAK RUU KAMNAS+ORMAS, TUNTASKAN KASUS-KASUS KORUPSI DAN
PELANGGARAN HAM”. Setingan aksi akhirnya saya tutup dengan kesepakatan jam 10 pagi
aksi dimulai esok harinya.