Tuthy Feminisosialistha

Selasa, 02 Desember 2014

SELAMATKAN BUMI REMBANG, MARI BERSOLIDARITAS!




Politik perampasan ruang tengah gencar membayangi negeri ini. Dimana-mana rakyat dipaksa melepaskan tanah dan sumber penghidupannya, demi kepentingan akumulasi kekayaan. Negara kemudian menjadi kaki tangan modal melalui kebijakan-kebijakannya. Tak lupa pula para serdadu dikirimkan untuk memberangus perlawanan. Ya, rakyat ditembaki dengan senjata dan peluru yang dibeli dari upeti (pajak) rakyat untuk negara.

Rusli Tungkapi meregang nyawa di atas bumi Kao; penembakan rakyat di Mesuji; penembakan rakyat di Bima; kriminalisasi warga Gane dan Wasilei; dan masih banyak lagi.

Yang paling anyar adalah perampasan tanah dan pengalih-fungsian kawasan lindung di Rembang-Jawa Tengah yang akan berdampak terhadap krisis air bersih, hilangnya situs-situs bersejarah serta kerusakan ekologi. Politik kebijakan tidak berbasis ekologi ini, semata-mata untuk kepentingan industri pabrik semen. Karts yang ada di Rembang kemudian menjadi pundi-pundi rupiah bagi para pelaku usaha. PT. Semen Indonesia dengan legalitas Pemerintah Daerah Jawa Tengah, telah menancapkan taring ekasavator dan raung boulduzernya yang memekakkan telinga. Alat-alat berat telah siap landas di atas bumi Rembang. Ya, tanah warga Rembang akan dikeruk menjadi tambang kapur dan pabrik semen untuk kepentingan pembangunan infrastruktur di daerah-daerah timur (termasuk Maluku Utara).

Infrastruktur untuk apa dan siapa? Infrastruktur untuk memaksimalkan proyek MP3EI yang dicanangkan oleh pemerintahan SBY pada tahun 2011. Proyek membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi kapital. Proyek yang akan meningkatkan kekayaan para pemilik modal besar dan massiv. Sementara ruang kelola rakyat (tanah dan laut) akan dialih-fungsikan menjadi industri tambang migas, mineral, perikanan, perkebunan. Lalu jurang kesenjangan akan semakin terbuka lebar. Kita pun ternina-bobokan, menjual tanah demi rupiah, memaksa anak-cucu untuk menjadi kuli bagi perusahaan. Dan pada akhirnya kita menjadi pelupa bahwa tanah adalah warisan untuk anak cucu.

Bagaimana dengan kita yang menolak menjual tanah dan melawan? Kita akan direpresi, dikriminalisasi, dipenjara, dihukum, ditembak, dibunuh, diculik bahkan dicari-cari sebagai teroris atau separatis. Itulah yang telah terjadi di Gane, Kao, Bima, Mesuji, Luwuk, Wasilei atau Papua.

Lalu apakah kita harus diam? TIDAK. Karena ini laut kita, tanah kita. Bahkan nenek moyang kita telah hidup di sini jauh sebelum negara ini ada. Mereka juga pernah berjuang melawan penjajah yang merampas tanah air kita, menyatukan perlawanan ke seantero nusantara, hingga melahirkan sebuah kemerdekaan untuk negara yang kita kenal dengan sebutan Indonesia ini. Maka tidak bisa kita hanya diam ketika cara-cara penjajah itu dipraktekkan kembali di negeri ini. Inilah yang tengah dilakoni oleh ratusan ibu-ibu dan warga Rembang yang sudah berhari-hari membangun tenda, menduduki area pabrik, menuntut diangkatnya alat-alat berat dari Pegunungan Kendeng-Bumi Rembang. Direpresi dan mendapatkan tindak kekerasan dari sejumlah aparat TNI, POLRI dan preman tidak membuat mereka gentar. Beberapa warga dilempar dari atas tebing, enam orang ditahan dan akses bantuan makanan dan logistik ditutup. Mereka masih bertahan hingga hari ini, menunjukkan pada dunia bahwa mereka tidak takut pada kematian, karena keadilan harus diperjuangkan. Karena Rembang adalah tanah mereka. Merekalah pejuang dan sebenar-benarnya guru bagi kita semua.



“Mari Galang Solidaritas, Karena Solidaritas Adalah Ancaman Bagi Tatanan”

Tidak ada komentar: