Wajahnya sedikit berminyak tapi terlihat juga
sedikit kesegaran, kupikir dalam tidur dia masih sempat bermimpi tentang hijau, mungkin karena dia terlalu merah dalam nyata--semangat yang senantiasa
berkobar-kobar bagai nyala api yang siap membakar; ya, lelakiku siap membakar
sang tiran, siap mati dalam garda perlawanan--tapi ada yang lucu darinya,
merahnya sering menjadikannya pemarah hingga dua kepribadiannya--yang
"manis" dan "jahat"--menyatu dalam jiwanya yang labil.
Oh ya, semalaman bersama. Menemaniku mengisi
undangan sebagai fasilitator di kampus (Bulsyet dengan ruang-ruang diskusi, mentok
katanya), beranjak ke kota malam & bercengkrama dengan akar-akar rumput
kecil yang terserabut oleh dominasi modal serta tergusur dalam kubangan ilusi
tentang "sejahtera".
Lalu, lelakiku mengajakku pulang (ke gubuk
derita, begitu kata Bang Mansur. S); di teras rumah dia marah! marah karena sikap
kawanku yang tak pantas menurutnya, aku memilih diam sampai akhirnya emosinya
dilampiaskan lewat sebuah kecupan manis penuh cinta di jidatku. Agh,
lelakiku... semakin merasuki kalbu yang terdalam (kata Ungu). Dia beranjak
berdiri dan masuk kedalam rumah (maksudnya gubuk derita), sementara aku masih duduk
dengan sebuah buku harian yang hendak kugoreskan tinta hitam (bkn tinta emas
karena kami tak cakup uang tuk' memilikinya), tentang kisahku malam ini bersama lelakiku.
Lelakiku keluar lagi (lagi: dari dalam gubuk
derita) tapi aneh, dia keluar dengan lantunan "tifa" dari suaranya
disertai gerakan "soya-soya" oleh tubuhnya penuh semangat.... ya,
lelakiku berperingai aneh tapi aku suka caranya meluapkan amarahnya, aku
tersenyum sambil melihatnya yang tetap asik (tanpa beban apalagi harta)
menari-nari dalam kegundahannya akan sakitnya bumi yang tergores peradaban
kotor. Kaki dan tangannya memacu dengan lincah, hebat! dia benar-benar paham
dengan setiap makna dalam gerakan soya-soya yang dilakoninya.
Malam semakin pekat dan lelakikupun lelah
(mungkin) hingga direbahkan kepalanya di dadaku sembari bermanja tentang
lelahnya, akupun membelai kepalanya. Kutahu, lelakiku terlalu berpura-pura
kuat, bersembunyi sejuta kerapuhannya dibalik setitk ketegarannya (mengutip
bahasanya).
Larut malam hendak kami taklukan (sometime:
mata "rongo" tidak kuat menahan kantuk), berdiskusi tentang lapar, sakit,
miskin... ya, kami bagian dari mereka... akar rumput yang tak harus dikasihani
tapi harus diperjuangkan (karena mereka telah melawan, begitu kata guruku, guru
kami).
Sudut Gubuk Derita,
2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar