Tuthy Feminisosialistha

Kamis, 23 Mei 2013

I Remember, My Nigth

Wajahnya sedikit berminyak tapi terlihat juga sedikit kesegaran, kupikir dalam tidur dia masih sempat bermimpi tentang hijau, mungkin karena dia terlalu merah dalam nyata--semangat yang senantiasa berkobar-kobar bagai nyala api yang siap membakar; ya, lelakiku siap membakar sang tiran, siap mati dalam garda perlawanan--tapi ada yang lucu darinya, merahnya sering menjadikannya pemarah hingga dua kepribadiannya--yang "manis" dan "jahat"--menyatu dalam jiwanya yang labil.

Oh ya, semalaman bersama. Menemaniku mengisi undangan sebagai fasilitator di kampus (Bulsyet dengan ruang-ruang diskusi, mentok katanya), beranjak ke kota malam & bercengkrama dengan akar-akar rumput kecil yang terserabut oleh dominasi modal serta tergusur dalam kubangan ilusi tentang "sejahtera".

Lalu, lelakiku mengajakku pulang (ke gubuk derita, begitu kata Bang Mansur. S); di teras rumah dia marah! marah karena sikap kawanku yang tak pantas menurutnya, aku memilih diam sampai akhirnya emosinya dilampiaskan lewat sebuah kecupan manis penuh cinta di jidatku. Agh, lelakiku... semakin merasuki kalbu yang terdalam (kata Ungu). Dia beranjak berdiri dan masuk kedalam rumah (maksudnya gubuk derita), sementara aku masih duduk dengan sebuah buku harian yang hendak kugoreskan tinta hitam (bkn tinta emas karena kami tak cakup uang tuk' memilikinya), tentang kisahku malam ini bersama lelakiku.

Lelakiku keluar lagi (lagi: dari dalam gubuk derita) tapi aneh, dia keluar dengan lantunan "tifa" dari suaranya disertai gerakan "soya-soya" oleh tubuhnya penuh semangat.... ya, lelakiku berperingai aneh tapi aku suka caranya meluapkan amarahnya, aku tersenyum sambil melihatnya yang tetap asik (tanpa beban apalagi harta) menari-nari dalam kegundahannya akan sakitnya bumi yang tergores peradaban kotor. Kaki dan tangannya memacu dengan lincah, hebat! dia benar-benar paham dengan setiap makna dalam gerakan soya-soya yang dilakoninya.

Malam semakin pekat dan lelakikupun lelah (mungkin) hingga direbahkan kepalanya di dadaku sembari bermanja tentang lelahnya, akupun membelai kepalanya. Kutahu, lelakiku terlalu berpura-pura kuat, bersembunyi sejuta kerapuhannya dibalik setitk ketegarannya (mengutip bahasanya).

Larut malam hendak kami taklukan (sometime: mata "rongo" tidak kuat menahan kantuk), berdiskusi tentang lapar, sakit, miskin... ya, kami bagian dari mereka... akar rumput yang tak harus dikasihani tapi harus diperjuangkan (karena mereka telah melawan, begitu kata guruku, guru kami).

Sudut Gubuk Derita, 2020

Tidak ada komentar: