dan Tetap pada kebijakan politik perampasan ruang
hidup?
Kebebasanmu
adalah Hadiah Terbaik di Hari Ibu (22/12) Ini.
“Saya akan tetap berorasi,” Eva Bande.
PUAN
berambut seleher itu tampil dengan kaos oblong dan celana jeans biru. Selendang
tenunan lokal tak lepas dari pundak hingga dadanya. Boots tinggi menjadi alas
kakinya. Ia menghadiri pertemuan aktivis perempuan yang diselenggarakan oleh
Komnas Perempuan, dalam rangka membahas rekomendasi untuk sidang HAM (Desember
2013). Sang puan tak menyampaikan
sepatah katapun. Dia hanya duduk diam di sudut meja paling kanan belakang ruang
meeting salah satu hotel berbintang
di Jakarta tersebut.
Eva
Bande namanya. Ya, dia adalah salah satu aktivis agraria yang dikriminalisasi
oleh negara dan korporasi atas tuduhan melanggar pasal 160 KUHP (“melakukan
penghasutan”). Salah satu pasal warisan Kolonial Belanda yang kerap kali
digunakan sebagai alat meredam daya kritis dan perlawanan. Pada 2010, ibu tiga
anak ini ditangkap dan ditahan oleh Polres Luwuk, Sulawesi Tengah dengan
tuduhan telah ‘melakukan provokasi’ terhadap massa aksi hingga ‘merusak’ aset
perusahaan sawit, PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) milik seorang kapitalis lokal
bernama Murad Husain, yang juga dikenal sebagai ‘tokoh bisnis nasional’. Dimana
PT. KLS ini telah melakukan praktek pembebasan lahan petani yang tentu saja
mengundang gejolak perlawanan. (kronologi singkat ‘tidak mendalam’ dapat
dilihat di sini http://politikerja.blogspot.com/2014/12/Eva-Bande-Saya-Akan-Terus-Orasi-Saya-Tidak-Akan-Berhenti.html)
Proses
hukum dari sidang di tingkat pengadilan negeri, banding hingga kasasi di
Mahkamah Agung (MA) berakhir pada 2013, dengan vonis hukuman bagi Eva dan dua
petani lainnya masing-masing tiga hingga empat tahun, dimana permohonan kasasi
Eva ditolak oleh MA. Eva kemudian menjadi DPO dan ditangkap di Jogja pada awal
2014.
JOKOWI DAN ‘DAGANG SDA’ DI
PERTEMUAN APEC
“Sekarang kita bicara tentang
perijinan. Kami akan membangun kantor pelayanan nasional agar kami dapat
sepenuhnya membantu, melayani dan memfasilitasi anda, agar memudahkan anda
mendapatkan ijin bisnis. Sebagai contoh, hanya butuh tiga hari untuk proses
perijinan tersebut,”
Kutipan di atas adalah salah satu
rangkaian kalimat ‘jualan’ yang dipromosikan Jokowi dalam pertemuan dengan para
pebisnis dunia tersebut. Jokowi berjanji akan memberikan kemudahan bagi
investasi dalam mengurus perijinan dengan membangun sebuah gedung perkantoran
khusus yang bisa langsung dipantau olehnya. Sebelumnya presiden dari ‘kalangan
sipil’ ini menunjukkan peta kepulauan nusantara, diantaranya jumlah penduduk,
luas wilayah laut, total luas wilayah dari timur ke barat, total APBN dan
pemborosan subsidi BBM serta total investasi yang telah masuk. Lalu dilanjutkan
dengan presentasi kebutuhan membangun infrastruktur untuk kepentingan laju arus
keluar-masuk barang dan jasa kapital di seluruh wilayah Indonesia.
“Lima tahun ke depan kita ingin
membangun dan memperluas 24 pelabuhan. Seperti yang anda tahu kami memiliki
17.000 pulau sehingga kami membutuhkan seaports
adan deep seaports. Ini juga
kesempatan yang bisa bapak/ibu masuki dalam memperbaiki infrastruktur yang ada
di Indonesia.”
Pada kutipan ini, tampak sangat
jelas orientasi dan arah kebijakan ekonomi bapak presiden yang satu ini. Sebuah
kebijakan ekonomi neoliberal yang menegaskan bahwa Jokowi tidak berbeda dengan
Megawati ataupun SBY, juga presiden-presiden dan politisi elit lainnya yang
berkepentingan untuk menjadi calo bagi
korporasi (tak terkecuali itu berlaku juga bagi Prabowo atau ‘oposan palsu’
lainnya). Sebuah pidato yang mencerminkan kepentingan besarnya melanjutkan mega
proyek pemerintahan sebelumnya: MP3EI.
MP3EI atau Masterplain Percepatan
Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia. Sebuah proyek besar yang
dilahirkan rezim SBY pada tahun 2011, yang bertujuan untuk pembangunan
infrastruktur besar-besaran dan terbagi menjadi enam koridor ekonomi. Koridor-koridor
ini berfungsi menyambungkan sarana transportasi antar pulau-kota-provinsi-region-negara.
Tujuannya hanya satu: Memperlancar Laju Arus Keluar-Masuk Komoditi Kapital.
Proyek
yang diklaim sebagai terobosan sejarah oleh negara dalam mengawali perjalanan
percepatan transformasi ekonomi Indonesia. Ya, tentu saja akan menjadi mega proyek
bersejarah bagi Indonesia. Dimana praktek pembebasan lahan dan pengalih-fungsian
kawasan semakin meluas. Dimana hutan, lahan gambut dan pohon-pohon akan
ditebang-dibabat-dibakar; kebun-lahan pertanian-pemukiman akan digusur; laut
terus ditimbun; urbanisasi meningkat; pemiskinan struktural dan masih banyak
lagi, yang semua itu semakin memperkecil ruang hidup dan keselamatan mayoritas
rakyat Indonesia di area-area koridor tersebut. Lalu mari menjadi kuli dan babu
di atas tanah moyang, warisan untuk generasi yang menjadi bangkai atas nama
‘pembangunan’.
Belum lagi
anggaran pembangunan yang tentu saja luar biasa. 100 miliar? Tidak, 1000
miliar? Tidak, satu triliun? Tentu saja tidak cukup. Ribuan bahkan berpuluh ribu triliun. Dana itu
didapat dari investasi yang berkepentingan mengeruk ‘sumber daya’ alam kita
baik pada sektor hulu maupun hilir, baik migas maupun mineral, pasar (mall,
perhotelan, KFC, Mc Donald, Hypermart, Multimart, Indomart dll) maupun
perkebunan dan privatisasi kebutuhan dasar makhluk hidup: AIR untuk industri
air kemasan. Semua itu tergambar jelas dalam Buku MP3EI 2011 dan diperkuat
dengan pidato Jokowi pada pertemuan APEC kemarin. Lalu pembangunan yang belum
atau tidak didanai oleh investasi, akan didanai oleh negara. Bagaimana bisa,
sementara kita kerap kali mengalami defisit anggaran? Pasti bisa, karena
kemarin pemerintahan hari ini telah membuktikan itu dengan memotong 30% hak
(subsidi itu bahasanya pemerintah) rakyat atas BBM. Sebagian peralihan dana
dari subsidi tersebut dialokasikan untuk pendanaan obsesi proyeksi pemerintah
ini.
Tidak cukup dan tidak akan pernah cukup. Untuk apa bapak ‘populis’
ini menyebutkan jumlah penduduk disertai kepentingan meningkatkan sarana
pendidikan formalnya? Jika bukan untuk ‘dagang’ tenaga kerja murah. Ya, dagang
‘SDA’ dan ‘SDM’. Iya Bapak Jokowi yang terhormat, kita sangat kompetitif sampai-sampai
upah buruh kita ja...uh lebih murah dari buruh Tiongkok. Oh ya, ‘SDA’ kita juga
bisa dikeruk dengan mudah oleh investasi, asalkan transaksi perijinannya
berjalan lancar, pemerintah juga harus memberikan dukungan penuh bagi investasi
yang bermasalah dengan pembebasan lahan. Kalau petani dikasih makan dua kali
masih 'ngeyel' ya ditodong saja dengan senjata para serdadu. Kan APBN kita sudah
banyak terkuras juga buat pertahanan dan pengamanan
stabilitas serta kenyamanan investasi. BBM bersubsidi itu memang
memboroskan anggaran negara, harus dialokasikan untuk sektor-sektor yang lebih ‘produktif’,
agar jadinya rakyat tak perlu lagi 'diperbantukan' dari uang negara. Mendingan
pajak rakyat itu dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, agar memudahkan
jalur keluar-masuk komoditi. Ya alhamdulillah,
kalau bisa dimanfaatkan sebagai transportasi rakyat.
LIHATLAH! Dengan sangat tidak manusiawi, seorang yang
menampilkan dirinya ‘humanis’ dan gemar blusukan dalam lingkaran sistem setan
ini, tampil di depan semua ‘mata rakus’ para penghisap dengan memperdagangkan alam
dan manusia Indonesia, tentu saja dengan begitu murah atas nama KOMPETISI dan
PERSAINGAN membangun kerajaan BISNIS.
PEMBEBASAN EVA BANDE bukan HADIAH
JOKOWI
Karena Eva terus berjuang, kawan-kawan masih bergerak dan
Jokowi hanyalah makelar modal
KAPITALISME hidup dari sebuah
ideologi besar bernama: Pembangunan. Sebuah ideologi yang memaksa petani
menjual tanah agar bisa menjalankan mitos ‘mengejar pembangunan’ yang sama
dengan daerah-daerah yang diklaim lebih ‘maju’ dan ‘modern’. Uang hasil
penjualan tanah untuk menyekolahkan anak agar tidak menjadi petani/nelayan;
membeli televisi, motor, mobil, membangun rumah dengan arsitektur ‘modern’,
menjadi buruh (karyawan/pekerja kantoran bahasa orang-orang 'modern') karena
petani dipandang 'hina' sekalipun jam kerja tidak diatur dan alat produksinya
dikuasai sendiri. Media sangat berperan dalam mengkampanyekan ideologi ini dan
tanpa sadar kita pun turut memperkuatnya.
Pembangunan
ini tentu saja tidak berorientasi pada keberlanjutan bumi. Semata-mata
tujuannya untuk surplus dan monopoli ruang hidup oleh segelintir orang terhadap
mayoritas orang lainnya. Dan segelintir orang ini menyebut mereka sebagai
perwakilan masyarakat ‘global’, ‘modern’ dan ‘beradab’. Dan mayoritas yang
berbeda dengan corak hidup yang sama dengan mereka didikte dengan pemilihan
diksi negatif: 'tertinggal', 'tidak beradab', 'kuno', 'primitif' dan 'barbar'.
Atau bahkan diadili sebagai 'separatis' jika menolak tanah dan hutan mereka
dialihfungsikan menjadi tambang, sawit, pabrik, mall dan investasi lainnya.
Vandana Shiva (1993) menyebutnya reduksi pengetahuan. Makhluk hidup (hewan,
tumbuhan dan manusia) memiliki sifat alami untuk mereproduksi dirinya, tapi
ilmu pengetahuan 'modern' hari ini justru merubahnya menjadi komoditas yang
harus memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi modal. Kasus revolusi hijau
dimana pembibitan dilakukan dengan menggunakan pupuk kimia seperti pestisida
dan herbisida ke tanaman agar bisa subur dan tumbuh dengan cepat, lalu
mempercepat proses akumulasi keuntungan, justru berdampak negatif bagi
kesehatan manusia, serta menghancurkan reproduksi alami tanah, ditambah lagi
dengan pencemaran terhadap air.
Lefebvre
(1992) menyatakan politik penciptaan (penataan) ruang merupakan sebuah
reproduksi ruang dalam konteks kontrol, dominasi dan akumulasi kapital. Dimana
UU Penataan Ruang adalah bagian dari deregulasi peraturan perundang-undangan
untuk mempermudah proses pengalih-kuasaan tanah, air dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya untuk kepentingan akumulasi modal. Masyarakat lokal akan
semakin diserabut dari akar budayanya, kehilangan akses dan kontrol atas ruang
hidup dan yang paling mendasar adalah keselamatan yang terancam. Maka memang
benar bahwa tujuan tertinggi dari negara adalah untuk melindungi kepemilikan
pribadi, sebagaimana dibahasakan oleh Engels (1887).
Dan Jokowi
adalah perpanjangan tangan kapital dan negara untuk mensukseskan semua itu. Dia
adalah bagian dari rantai sistem yang menggurita ini. Tak peduli siapa dia,
dari mana asalnya, beragama apa dan berbangsa apa. Dia adalah alat politik bagi
kelasnya: Kelas Pengusaha. Mendapatkan mandat menjadi penguasa untuk mempertahankan
dan memperluas hegemoni dan status quo kerajaan
bisnis mereka di Indonesia. Lantas masih pantaskah kita berucap terima kasih
kepadanya karena telah memberikan grasi bagi Eva Bande?
"Saya
tahu, yang diperjuangkan oleh Ibu Eva Bande adalah hak-hak rakyat, yang
berkaitan dengan tanah, dengan lahan. Saya kira hal-hal seperti inilah yang
terus harus kita perjuangkan," kata Jokowi dalam sambutannya pada puncak
peringatan Hari Ibu. (http://nasional.kompas.com/read/2014/12/22/11585441/Pada.Hari.Ibu.Jokowi.Minta.Tak.Ada.Aktivis.Perempuan.yang.Ditangkap)
Tentu
saja kita semua sangat gembira dan berbahagia atas kebebasan Eva Bande. Tapi
saya (dan mungkin juga beberapa kawan) benar-benar tidak suka dengan komentar
Jokowi yang sok populis di atas.
Mencitrakan diri 'baik' pada para aktivis, ditengah kemarahan kita atas sikap
ACUHnya pada represifitas aparat kepolisian terhadap ibu-ibu petani yang
mempertahankan tanahnya dari perampasan PT. Semen Indonesia di Rembang;
pembantaian dan penembakan brutal 22 warga sipil hingga menewaskan enam pemuda oleh
koalisi bersenjata (TNI-Polri) di Paniai Papua; dagang alam di pertemuan APEC;
melanjutkan mega proyek MP3EI; mendorong pembentukan KODAM secepatnya di Papua
(lagi-lagi, dengan menggunakan logika kekerasan untuk menyelesaikan konflik
Papua yang pastinya tidak akan berakhir dengan cara demikian); menenggelamkan
perahu-perahu nelayan (tradisional) asing, lalu membiarkan ratusan korporasi
perikanan menggusur area tangkap nelayan lokal, membiarkan korporat seperti Ibu
Susi yang ‘baik hati’ itu menentukan harga dan pasar bagi nelayan hingga mereka
tak pernah bisa berdaulat atas hasil produksinya sendiri; hingga terus saja memberikan
legalitas bagi sawit dan tambang yang merajalela menggusur ruang-ruang hidup
warga dari Sabang hingga Merauke.
Mana
mungkin ada keberpihakan terhadap aktivis HAM, agraria, perempuan, buruh,
petani dan nelayan, sementara semua praktek
kekerasan oleh negara terus dilanjutkan sebagai kebijakannya? Bagaimana mungkin
melarang adanya kriminalisasi aktivis agraria dan HAM ditengah maraknya praktek
‘legal’ perampasan ruang? SAYA MARAH! BENCI! MUAK! JIJIK! dengan
politik-politik pencitraan yang ditampilkannya, juga para elit lainnya.
KEBEBASAN Eva Bande bukanlah PEMBEBASAN! Kebebasan Eva Bande adalah hal yang
mutlak! karena dia tidak bersalah, karena dia dikriminasilisasi,
DIKRIMINALISASI! dan karena kebebasan itu didapat dari hasil perjuangan Eva
bersama seluruh kawan-kawan yang setia membangun pergerakan mendorong
pembebasannya. BUKAN karena 'POLITIK BAIK HATI'nya bapak Jokowi.
Karena
Jokowi masih mengundang korporasi untuk merampas tanah, dan inilah menu penutup
APEC pagi itu, “We are waiting for you to come to Indonesia. We are waiting for you to
invest in Indonesia.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar