Tuthy Feminisosialistha

Selasa, 23 Desember 2014

MOR



Mata Air jadi Air Mata


AIR. Gemericiknya berpadu dengan nyanyian burung-burung. Aroma cengkeh dan pala menyeruak ke seantero ruang hijau. Daun-daun kuning berguguran. Jatuh. Jatuh menempah tanah basah. Ah... bau tanah basah itu. Basah setelah disetubuhi embun malam tadi. Oh... terlalu basah dan sedikit becek. Mungkin semalam rinai hujan pun turut membasahi tubuh Bumi Mor.

Air... gerombolan anak-anak tengah bercengkerama, membangun cerita masa di sana. Sebagian bermain air di dalam kolam renang alami yang lahir dari rahim bumi: Sungai. Sebagian lagi saling kejar sembari tangan-tangan kecil mereka menarik benang panjang, yang dibawa terbang bersama layangan ke angkasa biru. Awan-awan putih tak kabut, cerah tak mendung.

“Awas pohon!” seru Mor, gadis berambut keriting sebahu itu. Bola mata besar Mor yang memancar kesejukan seperti namanya yang berarti air, terbelalak hampir saja keluar saat ia melihat layangan milik temannya, Kenanga yang hampir saja mengenai sebuah pohon cengkeh di samping kiri sungai.

Mor dan Kenanga. Gadis belia usia 10 tahun memang tengah bermain layangan bersama tiga teman lelaki mereka. Di sini tak ada aturan layangan adalah mainan untuk para anak lelaki. Mereka, anak-anak berkulit coklat itu bermain tanpa mengenal batas-batas kelamin. Seperti air yang menghilangkan dahaga pada semua makhluk hidup tanpa batasan: entah manusia, hewan atau tumbuhan. Ah sayang... air memang tidak memberikan batasan pada siapa dan apa dia akan bermanfaat, tapi air sendiri tidaklah linear: AIR ITU BERBATAS!

Ungu pada senja sebentar lagi menghantarkan surya bertolak ke lapisan bumi lain dan gelap segera menggantikan hari. Air sungai sudah sangat dingin. Udara sekitarnya juga mulai lebih sejuk. Anak-anak tanpa baju—lelaki juga perempuan—itu, berkejar-kejaran menuju pemukiman yang tak berada jauh dari sungai tersebut. Mor dan Kenanga bangkit dari dalam air setelah sebelumnya menceburkan diri ke sungai, mereka lalu berlari dengan tubuh menggigil: berlari mengejar yang lain.

**

AIR laut itu biru. Ikan-ikan berlimpah di atas dan dalamnya. Di laut dangkal, ikan teri dan udang tumpah ruah. Teripang dan gurita apalagi. Beberapa ekor lumba-lumba melompat riang di tengah teluk itu.  Pesisir masih panjang. Pasirnya putih. Nyiur masih rajin melambai memberi pesan di sekitar bibir pantai.

Air laut itu asin. Perahu-perahu nelayan melaju ke kedalaman sekian ratus meter. Bahu legam itu memikul beban lapar para sanak. Tangan-tangan berkulit hitam sibuk mendayung hingga jauh. Laki-laki berambut ikal kusut, mata tajam memerah dan bibir hitam tebal sedang menyeruput sebatang tembakau. Ia mengenakan kaos oblong kuning berlambang salah satu partai politik negeri ini, mulai robek di sana-sini, serta celana selutut abu-abu menutup bagian bawah tubuhnya, ah mungkin warnanya putih tapi memudar dan kotor. Amis tubuh berotot itu seperti menyaingi bau sebokor ikan cakalang, kerapu dan goropa yang dibawanya.

“Airnya Mor,” pinta laki-laki berusia 35 tahun itu kepada Mor yang menyambut sang papa di pantai teluk ini. Sebelumnya senyum Mor merekah melihat perahu sang papa mulai mendekat ke pesisir. Setelah mengikat dan menyimpan perahunya di pantai, papa lalu bertati ke arah putri tercinta. Mor pun langsung memberi air kepada papanya. Laki-laki bernama Pedeke itu lalu meneguk air di dalam batang damar tersebut hingga tetesan terakhir, habis. Mor langsung merobohkan tubuh ke pelukan sang papa. Ia tak sedikitpun jijik, walaupun bau amis itu kian menyengat.

Beberapa lelaki dan perempuan tampak sedang mengangkat jemuran kasia (udang halus) di sepanjang utara pantai. Kasia yang telah dikeringkan akan diolah menjadi terasi tradisional berbungkus daun woka. Orang lainnya terlihat tengah asyik membakar ikan-ikan hasil tangkapan siang itu, sembari beberapa diantara mereka bercengkerama dan tertawa renyah. Anak-anak lebih banyak bermain: batobo, berenang di laut. Sebagian dari bocah-bocah itu berlarian, saling kejar. Permainan tradisional: boi pante menjadi pilihan mereka. Mor tidak tergoda melihat semua itu. Ia justru mengambil dua ekor ikan dari dalam bokor yang masih dipegang sang papa, lalu berlari menuju rumah. Sang Air itu tak sabar nikmati malam sambil makan ikan kerapu bakar, ditambah dengan dabu-dabu rica kesukaannya. Hmmm...

Malam itu memang selalu dinanti oleh semua orang kampung, tidak hanya Mor. Ada sajian limpahan makanan tradisional yang lezat dan sehat. Juga tarian dana-dana, lalayon dan tide-tide diiringi tabuh tifa yang disukai muda-mudi kampung ini. Beberapa laki-laki juga akan tampil bernyanyi dan bermain perkusi. Memainkan musik bergenre yanger. Ya, pesta kampung atau pesta adat menyambut natal akan digelar malam ini.

**


MOR dewasa. Usia 30 tahun. Air mukanya tidak secerah dulu. Bola mata itu mulai mengecil dan tak lagi memancarkan sejuta mimpi akan masa depan yang telah pupus. Mor begitu cinta pada air dan tanah moyangnya. Ah... Mor... Air... Dia selalu memberi kesejukan dan meredam dahaga.

“Itu cerita dulu. Semua berubah sejak Tahun Anggrek itu. Sebuah perusahaan emas datang dan orang-orang mulai menukar tanah dengan uang, hutan dengan mobil dan air dengan rumah,” Mor berkisah sembari tertunduk lesuh, tatapannya menerawang.

Mor... Air teduh itu. Ia berjalan menyusuri kampung bermotif ‘kota’ ini. Langkahnya terhenti di depan sekolah dasar. Tatapannya tajam mengarah ke sebuah papan bertuliskan: MALAS PANGKAL MISKIN, RAJIN PANGKAL KAYA.

“Dulu kami tidak mengenal miskin atau kaya. Yang kami tahu hanya melaut dan berkebun. Semua orang bekerja. Laki-laki juga perempuan. Tapi kami juga masih punya banyak waktu beristirahat. Semua orang. Tidak ada yang jadi boss di sini!” tegas Mor... Air menyejukkan batin.

Perusahaan itu hadir dengan memberikan mimpi-mimpi pada Mor dan warga kampung ini. Mimpi bernama ‘Pembangunan’ dan ‘Kemajuan’. Lalu Mor kecil melihat begitu banyak praktek perampasan tanah dan pembakaran hutan untuk pembangunan; juga semakin banyak petani menjual tanah, warisan bagi generasi; lalu mereka menjadi petani tak bertanah atau buruh upahan atau mereka sendiri menyebutnya budak korporasi yang dihisap tenaga dan jam kerjanya.

Mor juga menyaksikan pemandangan aneh di kampungnya. Orang-orang tak lagi melaut dan berkebun. Wajah mereka masih tetap sama tapi penampilannya berbeda. Sebagian kecil mereka telah menjadi orang-orang berdasi yang wangi, kontras dengan sebagian lainnya yang berpakaian lusuh, dekil dan bau. Ia mendengar begitu banyak jerit kelaparan. Tapi Mor juga mendengar tabuh irama musik yang belum pernah didengar sebelumnya, sembari menyaksikan limpahan makanan ‘asing’ tersebar dan tak tersentuh. Ia melihat malam-malam berhias cahaya, bukan dari bintang tapi lampu-lampu itu yang memancarkannya.

Mor... Air jernih itu melihat kehadiran wajah-wajah baru yang menakutkan. Wajah-wajah itu bernama pengemis, pengamen 'jalanan', tenaga kerja ke luar negeri, pembantu rumah tangga, buruh cuci, tukang ojeg, sopir angkot, taksi, truk, buruh transportasi, pedagang asongan, pedagang kaki lima, anak jalanan, pekerja seks, pemulung, bahkan diantara wajah-wajah dekil itu ada yang mengais sisa-sisa makanan pada tong sampah. Mor bingung dan mencari arah untuk kembali pulang. Tapi pulang kemana? Bukankah ia terlanjur berlari? Berlari mengejar teman-temannya yang telah jauh meninggalkannya: mengejar ketertinggalannya.

Ia melangkahkan kakinya. Kembali menyusuri jalanan beraspal. Mor... Air teduh itu benar. Di sini jurang kaya dan miskin itu kian menganga. Mobil-mobil mewah berderet rapi di tengah kemacetan; hotel-hotel berbintang menjulang tinggi; tindak kriminal meningkat; tubuh dan nyawa setara dengan kacang; mall-mall dan pasar modern yang menggusur keberadaan pasar tradisional; pakaian bermerk; makanan restaurant; makanan cepat saji (KFC, CFC, Mc Donalds, Humberger, Pizza) mengandung msg. “Kata orang pintar penyedap masakan itu adalah penyebab terbesar kanker,” Mor mengeluh.

Dan Mor... Air... Hak dasar itu pun tergantikan. Air kemasan yang membuat gengsi orang kampung menurun untuk melestarikan kebudayaan bersilaturahmi. Mereka semakin malu untuk sekedar bertamu meminta air ke rumah-rumah kerabatnya. Mereka lebih memilih menyodorkan seribu/dua ribu perak utk Aqua atau Fit ke penjaga kios. Lalu air sebagai kebutuhan dasar manusia dan makhluk lainnya yang disediakan alam dengan gratis pun wajib mereka beli.

“Oh... Lautku... Air lautku. Tak ada lagi ikan dan hasil lainnya di sana. Teluk ini penuh limbah dan dikotori minyak. Kapal-kapal perusahaan lalu lalang. Sianida membunuh ikan. Tidak ada lagi pesisir dan lambaian nyiur. Kini hanya ada timbunan tanah dan batu. Terumbu karang rusak. Ikan menjauh. Nelayan oh nelayan. Papa... ia tergerus melawan badai pembangunan itu...” Mor terus bercerita, sesekali tersendat di tenggorokan. Meluapkan marah.

“Air... Mor... Papa memberi nama Mor ini agar saya bisa menjaga mor, air dan tanah yang memberi kami hidup. Tapi apa yang bisa saya lakukan dengan tangan kecil ini?” sembari mengangkat telapak tangannya. “Sungai kami tercemar. Warna airnya coklat. Ikan-ikan mati mengambang berkandung merkuri. Badan sungai diperkecil untuk perluasan area keruk tambang. Tidak ada lagi perigi di sini. Air tanah juga meracuni tubuh. Oh... anak-anak harus minum air bersih dan sehat, sebagaimana saya pun dulu mengecapnya dengan kenikmatan. Tidak! Bagaimana bisa kami dipaksa membeli air padahal alam memberi gratis pada semua manusia? Bagaimana bisa perusahaan-perusahaan air kemasan itu menyerbu pasar di tengah derita kekeringan dan dahaga menerjang kampung kami?” Ia mulai berhenti sejenak, mengatur nafas dan mengontrol emosinya.

“Ma... mama... minta seribu beli aqua ya? Matari haus,” pinta Matari, putra kedua Mor, seketika membuatnya diam seribu bahasa. Matanya berkaca. Ditatapnya dalam-dalam malaikat kecilnya. Anak sekecil ini harus menanggung akibat dari dosa para ‘pelacur’ rakus. Anak itu sangat kurus dan dia menderita batu ginjal serta gangguan pencernaan. Rambutnya botak, kepalanya dipenuhi benjolan dari seukuran kacang hingga sebesar bola pingpong, dan kulitnya gatal-gatal penuh luka.

Setelah memberi selembar uang lusuh bergambar dua pulau dan seorang lelaki memegang pedang, kepada sang anak, Mor lalu melanjutkan kisah.

“Mor... Air adalah kebutuhan dasar kita. Tidak hanya manusia, hewan dan tumbuhan juga memiliki hak di atasnya. Lihat! Anak saya meminta uang bukan buat beli mainan, tapi dia memelas hanya untuk beli air. BELI AIR! Inilah warisan ‘pembangunan’ dan ‘kemajuan’ dari kita untuk anak cucu. Pernahkah kita berpikir bagaimana uang bisa menggantikan peran Mor bagi kehidupan? Bisakah kita menghilangkan dahaga dengan sebongkah emas? Bisakah tanpa sagu dan ikan kita kenyang? Bisakah orang-orang kaya itu memberi minum anak mereka dengan nikel dan tembaga? Tentu saja tidak. Tapi ternyata diantara kita ada yang lebih haus pada kekayaan dan kakuasaan, dari pada mewariskan air pada generasi,” tutup Mor, sang peneduh zaman, disertai setetes air mengairi kedua pipinya yang kering, sekering tandus Tanah Mor.

***

Tidak ada komentar: