Tuthy Feminisosialistha

Selasa, 23 Desember 2014

MOR



Mata Air jadi Air Mata


AIR. Gemericiknya berpadu dengan nyanyian burung-burung. Aroma cengkeh dan pala menyeruak ke seantero ruang hijau. Daun-daun kuning berguguran. Jatuh. Jatuh menempah tanah basah. Ah... bau tanah basah itu. Basah setelah disetubuhi embun malam tadi. Oh... terlalu basah dan sedikit becek. Mungkin semalam rinai hujan pun turut membasahi tubuh Bumi Mor.

Air... gerombolan anak-anak tengah bercengkerama, membangun cerita masa di sana. Sebagian bermain air di dalam kolam renang alami yang lahir dari rahim bumi: Sungai. Sebagian lagi saling kejar sembari tangan-tangan kecil mereka menarik benang panjang, yang dibawa terbang bersama layangan ke angkasa biru. Awan-awan putih tak kabut, cerah tak mendung.

“Awas pohon!” seru Mor, gadis berambut keriting sebahu itu. Bola mata besar Mor yang memancar kesejukan seperti namanya yang berarti air, terbelalak hampir saja keluar saat ia melihat layangan milik temannya, Kenanga yang hampir saja mengenai sebuah pohon cengkeh di samping kiri sungai.

Mor dan Kenanga. Gadis belia usia 10 tahun memang tengah bermain layangan bersama tiga teman lelaki mereka. Di sini tak ada aturan layangan adalah mainan untuk para anak lelaki. Mereka, anak-anak berkulit coklat itu bermain tanpa mengenal batas-batas kelamin. Seperti air yang menghilangkan dahaga pada semua makhluk hidup tanpa batasan: entah manusia, hewan atau tumbuhan. Ah sayang... air memang tidak memberikan batasan pada siapa dan apa dia akan bermanfaat, tapi air sendiri tidaklah linear: AIR ITU BERBATAS!

Ungu pada senja sebentar lagi menghantarkan surya bertolak ke lapisan bumi lain dan gelap segera menggantikan hari. Air sungai sudah sangat dingin. Udara sekitarnya juga mulai lebih sejuk. Anak-anak tanpa baju—lelaki juga perempuan—itu, berkejar-kejaran menuju pemukiman yang tak berada jauh dari sungai tersebut. Mor dan Kenanga bangkit dari dalam air setelah sebelumnya menceburkan diri ke sungai, mereka lalu berlari dengan tubuh menggigil: berlari mengejar yang lain.

**

AIR laut itu biru. Ikan-ikan berlimpah di atas dan dalamnya. Di laut dangkal, ikan teri dan udang tumpah ruah. Teripang dan gurita apalagi. Beberapa ekor lumba-lumba melompat riang di tengah teluk itu.  Pesisir masih panjang. Pasirnya putih. Nyiur masih rajin melambai memberi pesan di sekitar bibir pantai.

Air laut itu asin. Perahu-perahu nelayan melaju ke kedalaman sekian ratus meter. Bahu legam itu memikul beban lapar para sanak. Tangan-tangan berkulit hitam sibuk mendayung hingga jauh. Laki-laki berambut ikal kusut, mata tajam memerah dan bibir hitam tebal sedang menyeruput sebatang tembakau. Ia mengenakan kaos oblong kuning berlambang salah satu partai politik negeri ini, mulai robek di sana-sini, serta celana selutut abu-abu menutup bagian bawah tubuhnya, ah mungkin warnanya putih tapi memudar dan kotor. Amis tubuh berotot itu seperti menyaingi bau sebokor ikan cakalang, kerapu dan goropa yang dibawanya.

“Airnya Mor,” pinta laki-laki berusia 35 tahun itu kepada Mor yang menyambut sang papa di pantai teluk ini. Sebelumnya senyum Mor merekah melihat perahu sang papa mulai mendekat ke pesisir. Setelah mengikat dan menyimpan perahunya di pantai, papa lalu bertati ke arah putri tercinta. Mor pun langsung memberi air kepada papanya. Laki-laki bernama Pedeke itu lalu meneguk air di dalam batang damar tersebut hingga tetesan terakhir, habis. Mor langsung merobohkan tubuh ke pelukan sang papa. Ia tak sedikitpun jijik, walaupun bau amis itu kian menyengat.

Beberapa lelaki dan perempuan tampak sedang mengangkat jemuran kasia (udang halus) di sepanjang utara pantai. Kasia yang telah dikeringkan akan diolah menjadi terasi tradisional berbungkus daun woka. Orang lainnya terlihat tengah asyik membakar ikan-ikan hasil tangkapan siang itu, sembari beberapa diantara mereka bercengkerama dan tertawa renyah. Anak-anak lebih banyak bermain: batobo, berenang di laut. Sebagian dari bocah-bocah itu berlarian, saling kejar. Permainan tradisional: boi pante menjadi pilihan mereka. Mor tidak tergoda melihat semua itu. Ia justru mengambil dua ekor ikan dari dalam bokor yang masih dipegang sang papa, lalu berlari menuju rumah. Sang Air itu tak sabar nikmati malam sambil makan ikan kerapu bakar, ditambah dengan dabu-dabu rica kesukaannya. Hmmm...

Malam itu memang selalu dinanti oleh semua orang kampung, tidak hanya Mor. Ada sajian limpahan makanan tradisional yang lezat dan sehat. Juga tarian dana-dana, lalayon dan tide-tide diiringi tabuh tifa yang disukai muda-mudi kampung ini. Beberapa laki-laki juga akan tampil bernyanyi dan bermain perkusi. Memainkan musik bergenre yanger. Ya, pesta kampung atau pesta adat menyambut natal akan digelar malam ini.

**


MOR dewasa. Usia 30 tahun. Air mukanya tidak secerah dulu. Bola mata itu mulai mengecil dan tak lagi memancarkan sejuta mimpi akan masa depan yang telah pupus. Mor begitu cinta pada air dan tanah moyangnya. Ah... Mor... Air... Dia selalu memberi kesejukan dan meredam dahaga.

“Itu cerita dulu. Semua berubah sejak Tahun Anggrek itu. Sebuah perusahaan emas datang dan orang-orang mulai menukar tanah dengan uang, hutan dengan mobil dan air dengan rumah,” Mor berkisah sembari tertunduk lesuh, tatapannya menerawang.

Mor... Air teduh itu. Ia berjalan menyusuri kampung bermotif ‘kota’ ini. Langkahnya terhenti di depan sekolah dasar. Tatapannya tajam mengarah ke sebuah papan bertuliskan: MALAS PANGKAL MISKIN, RAJIN PANGKAL KAYA.

“Dulu kami tidak mengenal miskin atau kaya. Yang kami tahu hanya melaut dan berkebun. Semua orang bekerja. Laki-laki juga perempuan. Tapi kami juga masih punya banyak waktu beristirahat. Semua orang. Tidak ada yang jadi boss di sini!” tegas Mor... Air menyejukkan batin.

Perusahaan itu hadir dengan memberikan mimpi-mimpi pada Mor dan warga kampung ini. Mimpi bernama ‘Pembangunan’ dan ‘Kemajuan’. Lalu Mor kecil melihat begitu banyak praktek perampasan tanah dan pembakaran hutan untuk pembangunan; juga semakin banyak petani menjual tanah, warisan bagi generasi; lalu mereka menjadi petani tak bertanah atau buruh upahan atau mereka sendiri menyebutnya budak korporasi yang dihisap tenaga dan jam kerjanya.

Mor juga menyaksikan pemandangan aneh di kampungnya. Orang-orang tak lagi melaut dan berkebun. Wajah mereka masih tetap sama tapi penampilannya berbeda. Sebagian kecil mereka telah menjadi orang-orang berdasi yang wangi, kontras dengan sebagian lainnya yang berpakaian lusuh, dekil dan bau. Ia mendengar begitu banyak jerit kelaparan. Tapi Mor juga mendengar tabuh irama musik yang belum pernah didengar sebelumnya, sembari menyaksikan limpahan makanan ‘asing’ tersebar dan tak tersentuh. Ia melihat malam-malam berhias cahaya, bukan dari bintang tapi lampu-lampu itu yang memancarkannya.

Mor... Air jernih itu melihat kehadiran wajah-wajah baru yang menakutkan. Wajah-wajah itu bernama pengemis, pengamen 'jalanan', tenaga kerja ke luar negeri, pembantu rumah tangga, buruh cuci, tukang ojeg, sopir angkot, taksi, truk, buruh transportasi, pedagang asongan, pedagang kaki lima, anak jalanan, pekerja seks, pemulung, bahkan diantara wajah-wajah dekil itu ada yang mengais sisa-sisa makanan pada tong sampah. Mor bingung dan mencari arah untuk kembali pulang. Tapi pulang kemana? Bukankah ia terlanjur berlari? Berlari mengejar teman-temannya yang telah jauh meninggalkannya: mengejar ketertinggalannya.

Ia melangkahkan kakinya. Kembali menyusuri jalanan beraspal. Mor... Air teduh itu benar. Di sini jurang kaya dan miskin itu kian menganga. Mobil-mobil mewah berderet rapi di tengah kemacetan; hotel-hotel berbintang menjulang tinggi; tindak kriminal meningkat; tubuh dan nyawa setara dengan kacang; mall-mall dan pasar modern yang menggusur keberadaan pasar tradisional; pakaian bermerk; makanan restaurant; makanan cepat saji (KFC, CFC, Mc Donalds, Humberger, Pizza) mengandung msg. “Kata orang pintar penyedap masakan itu adalah penyebab terbesar kanker,” Mor mengeluh.

Dan Mor... Air... Hak dasar itu pun tergantikan. Air kemasan yang membuat gengsi orang kampung menurun untuk melestarikan kebudayaan bersilaturahmi. Mereka semakin malu untuk sekedar bertamu meminta air ke rumah-rumah kerabatnya. Mereka lebih memilih menyodorkan seribu/dua ribu perak utk Aqua atau Fit ke penjaga kios. Lalu air sebagai kebutuhan dasar manusia dan makhluk lainnya yang disediakan alam dengan gratis pun wajib mereka beli.

“Oh... Lautku... Air lautku. Tak ada lagi ikan dan hasil lainnya di sana. Teluk ini penuh limbah dan dikotori minyak. Kapal-kapal perusahaan lalu lalang. Sianida membunuh ikan. Tidak ada lagi pesisir dan lambaian nyiur. Kini hanya ada timbunan tanah dan batu. Terumbu karang rusak. Ikan menjauh. Nelayan oh nelayan. Papa... ia tergerus melawan badai pembangunan itu...” Mor terus bercerita, sesekali tersendat di tenggorokan. Meluapkan marah.

“Air... Mor... Papa memberi nama Mor ini agar saya bisa menjaga mor, air dan tanah yang memberi kami hidup. Tapi apa yang bisa saya lakukan dengan tangan kecil ini?” sembari mengangkat telapak tangannya. “Sungai kami tercemar. Warna airnya coklat. Ikan-ikan mati mengambang berkandung merkuri. Badan sungai diperkecil untuk perluasan area keruk tambang. Tidak ada lagi perigi di sini. Air tanah juga meracuni tubuh. Oh... anak-anak harus minum air bersih dan sehat, sebagaimana saya pun dulu mengecapnya dengan kenikmatan. Tidak! Bagaimana bisa kami dipaksa membeli air padahal alam memberi gratis pada semua manusia? Bagaimana bisa perusahaan-perusahaan air kemasan itu menyerbu pasar di tengah derita kekeringan dan dahaga menerjang kampung kami?” Ia mulai berhenti sejenak, mengatur nafas dan mengontrol emosinya.

“Ma... mama... minta seribu beli aqua ya? Matari haus,” pinta Matari, putra kedua Mor, seketika membuatnya diam seribu bahasa. Matanya berkaca. Ditatapnya dalam-dalam malaikat kecilnya. Anak sekecil ini harus menanggung akibat dari dosa para ‘pelacur’ rakus. Anak itu sangat kurus dan dia menderita batu ginjal serta gangguan pencernaan. Rambutnya botak, kepalanya dipenuhi benjolan dari seukuran kacang hingga sebesar bola pingpong, dan kulitnya gatal-gatal penuh luka.

Setelah memberi selembar uang lusuh bergambar dua pulau dan seorang lelaki memegang pedang, kepada sang anak, Mor lalu melanjutkan kisah.

“Mor... Air adalah kebutuhan dasar kita. Tidak hanya manusia, hewan dan tumbuhan juga memiliki hak di atasnya. Lihat! Anak saya meminta uang bukan buat beli mainan, tapi dia memelas hanya untuk beli air. BELI AIR! Inilah warisan ‘pembangunan’ dan ‘kemajuan’ dari kita untuk anak cucu. Pernahkah kita berpikir bagaimana uang bisa menggantikan peran Mor bagi kehidupan? Bisakah kita menghilangkan dahaga dengan sebongkah emas? Bisakah tanpa sagu dan ikan kita kenyang? Bisakah orang-orang kaya itu memberi minum anak mereka dengan nikel dan tembaga? Tentu saja tidak. Tapi ternyata diantara kita ada yang lebih haus pada kekayaan dan kakuasaan, dari pada mewariskan air pada generasi,” tutup Mor, sang peneduh zaman, disertai setetes air mengairi kedua pipinya yang kering, sekering tandus Tanah Mor.

***

Senin, 22 Desember 2014

PARODI DILEMA: antara POLITIK ‘BAIK HATI’ dan PIDATO APEC




Memberikan grasi untuk Eva Bande
dan Tetap pada kebijakan politik perampasan ruang hidup?



Kebebasanmu adalah Hadiah Terbaik di Hari Ibu (22/12) Ini.

“Saya akan tetap berorasi,” Eva Bande.

PUAN berambut seleher itu tampil dengan kaos oblong dan celana jeans biru. Selendang tenunan lokal tak lepas dari pundak hingga dadanya. Boots tinggi menjadi alas kakinya. Ia menghadiri pertemuan aktivis perempuan yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan, dalam rangka membahas rekomendasi untuk sidang HAM (Desember 2013).  Sang puan tak menyampaikan sepatah katapun. Dia hanya duduk diam di sudut meja paling kanan belakang ruang meeting salah satu hotel berbintang di Jakarta tersebut.

Eva Bande namanya. Ya, dia adalah salah satu aktivis agraria yang dikriminalisasi oleh negara dan korporasi atas tuduhan melanggar pasal 160 KUHP (“melakukan penghasutan”). Salah satu pasal warisan Kolonial Belanda yang kerap kali digunakan sebagai alat meredam daya kritis dan perlawanan. Pada 2010, ibu tiga anak ini ditangkap dan ditahan oleh Polres Luwuk, Sulawesi Tengah dengan tuduhan telah ‘melakukan provokasi’ terhadap massa aksi hingga ‘merusak’ aset perusahaan sawit, PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) milik seorang kapitalis lokal bernama Murad Husain, yang juga dikenal sebagai ‘tokoh bisnis nasional’. Dimana PT. KLS ini telah melakukan praktek pembebasan lahan petani yang tentu saja mengundang gejolak perlawanan. (kronologi singkat ‘tidak mendalam’ dapat dilihat di sini http://politikerja.blogspot.com/2014/12/Eva-Bande-Saya-Akan-Terus-Orasi-Saya-Tidak-Akan-Berhenti.html)

Proses hukum dari sidang di tingkat pengadilan negeri, banding hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA) berakhir pada 2013, dengan vonis hukuman bagi Eva dan dua petani lainnya masing-masing tiga hingga empat tahun, dimana permohonan kasasi Eva ditolak oleh MA. Eva kemudian menjadi DPO dan ditangkap di Jogja pada awal 2014.


JOKOWI DAN ‘DAGANG SDA’ DI PERTEMUAN APEC

“Sekarang kita bicara tentang perijinan. Kami akan membangun kantor pelayanan nasional agar kami dapat sepenuhnya membantu, melayani dan memfasilitasi anda, agar memudahkan anda mendapatkan ijin bisnis. Sebagai contoh, hanya butuh tiga hari untuk proses perijinan tersebut,”
  
Kutipan di atas adalah salah satu rangkaian kalimat ‘jualan’ yang dipromosikan Jokowi dalam pertemuan dengan para pebisnis dunia tersebut. Jokowi berjanji akan memberikan kemudahan bagi investasi dalam mengurus perijinan dengan membangun sebuah gedung perkantoran khusus yang bisa langsung dipantau olehnya. Sebelumnya presiden dari ‘kalangan sipil’ ini menunjukkan peta kepulauan nusantara, diantaranya jumlah penduduk, luas wilayah laut, total luas wilayah dari timur ke barat, total APBN dan pemborosan subsidi BBM serta total investasi yang telah masuk. Lalu dilanjutkan dengan presentasi kebutuhan membangun infrastruktur untuk kepentingan laju arus keluar-masuk barang dan jasa kapital di seluruh wilayah Indonesia.


“Lima tahun ke depan kita ingin membangun dan memperluas 24 pelabuhan. Seperti yang anda tahu kami memiliki 17.000 pulau sehingga kami membutuhkan seaports adan deep seaports. Ini juga kesempatan yang bisa bapak/ibu masuki dalam memperbaiki infrastruktur yang ada di Indonesia.”

Pada kutipan ini, tampak sangat jelas orientasi dan arah kebijakan ekonomi bapak presiden yang satu ini. Sebuah kebijakan ekonomi neoliberal yang menegaskan bahwa Jokowi tidak berbeda dengan Megawati ataupun SBY, juga presiden-presiden dan politisi elit lainnya yang berkepentingan untuk menjadi calo bagi korporasi (tak terkecuali itu berlaku juga bagi Prabowo atau ‘oposan palsu’ lainnya). Sebuah pidato yang mencerminkan kepentingan besarnya melanjutkan mega proyek pemerintahan sebelumnya: MP3EI.

MP3EI atau Masterplain Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia. Sebuah proyek besar yang dilahirkan rezim SBY pada tahun 2011, yang bertujuan untuk pembangunan infrastruktur besar-besaran dan terbagi menjadi enam koridor ekonomi. Koridor-koridor ini berfungsi menyambungkan sarana transportasi antar pulau-kota-provinsi-region-negara. Tujuannya hanya satu: Memperlancar Laju Arus Keluar-Masuk Komoditi Kapital.

Proyek yang diklaim sebagai terobosan sejarah oleh negara dalam mengawali perjalanan percepatan transformasi ekonomi Indonesia.  Ya, tentu saja akan menjadi mega proyek bersejarah bagi Indonesia. Dimana praktek pembebasan lahan dan pengalih-fungsian kawasan semakin meluas. Dimana hutan, lahan gambut dan pohon-pohon akan ditebang-dibabat-dibakar; kebun-lahan pertanian-pemukiman akan digusur; laut terus ditimbun; urbanisasi meningkat; pemiskinan struktural dan masih banyak lagi, yang semua itu semakin memperkecil ruang hidup dan keselamatan mayoritas rakyat Indonesia di area-area koridor tersebut. Lalu mari menjadi kuli dan babu di atas tanah moyang, warisan untuk generasi yang menjadi bangkai atas nama ‘pembangunan’.

Belum lagi anggaran pembangunan yang tentu saja luar biasa. 100 miliar? Tidak, 1000 miliar? Tidak, satu triliun? Tentu saja tidak cukup.  Ribuan bahkan berpuluh ribu triliun. Dana itu didapat dari investasi yang berkepentingan mengeruk ‘sumber daya’ alam kita baik pada sektor hulu maupun hilir, baik migas maupun mineral, pasar (mall, perhotelan, KFC, Mc Donald, Hypermart, Multimart, Indomart dll) maupun perkebunan dan privatisasi kebutuhan dasar makhluk hidup: AIR untuk industri air kemasan. Semua itu tergambar jelas dalam Buku MP3EI 2011 dan diperkuat dengan pidato Jokowi pada pertemuan APEC kemarin. Lalu pembangunan yang belum atau tidak didanai oleh investasi, akan didanai oleh negara. Bagaimana bisa, sementara kita kerap kali mengalami defisit anggaran? Pasti bisa, karena kemarin pemerintahan hari ini telah membuktikan itu dengan memotong 30% hak (subsidi itu bahasanya pemerintah) rakyat atas BBM. Sebagian peralihan dana dari subsidi tersebut dialokasikan untuk pendanaan obsesi proyeksi pemerintah ini.

Tidak cukup dan tidak akan pernah cukup. Untuk apa bapak ‘populis’ ini menyebutkan jumlah penduduk disertai kepentingan meningkatkan sarana pendidikan formalnya? Jika bukan untuk ‘dagang’ tenaga kerja murah. Ya, dagang ‘SDA’ dan ‘SDM’. Iya Bapak Jokowi yang terhormat, kita sangat kompetitif sampai-sampai upah buruh kita ja...uh lebih murah dari buruh Tiongkok. Oh ya, ‘SDA’ kita juga bisa dikeruk dengan mudah oleh investasi, asalkan transaksi perijinannya berjalan lancar, pemerintah juga harus memberikan dukungan penuh bagi investasi yang bermasalah dengan pembebasan lahan. Kalau petani dikasih makan dua kali masih 'ngeyel' ya ditodong saja dengan senjata para serdadu. Kan APBN kita sudah banyak terkuras juga buat pertahanan dan pengamanan stabilitas serta kenyamanan investasi. BBM bersubsidi itu memang memboroskan anggaran negara, harus dialokasikan untuk sektor-sektor yang lebih ‘produktif’, agar jadinya rakyat tak perlu lagi 'diperbantukan' dari uang negara. Mendingan pajak rakyat itu dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, agar memudahkan jalur keluar-masuk komoditi. Ya alhamdulillah, kalau bisa dimanfaatkan sebagai transportasi rakyat.

LIHATLAH! Dengan sangat tidak manusiawi, seorang yang menampilkan dirinya ‘humanis’ dan gemar blusukan dalam lingkaran sistem setan ini, tampil di depan semua ‘mata rakus’ para penghisap dengan memperdagangkan alam dan manusia Indonesia, tentu saja dengan begitu murah atas nama KOMPETISI dan PERSAINGAN membangun kerajaan BISNIS.


PEMBEBASAN EVA BANDE bukan HADIAH JOKOWI
Karena Eva terus berjuang, kawan-kawan masih bergerak dan Jokowi hanyalah makelar modal

KAPITALISME hidup dari sebuah ideologi besar bernama: Pembangunan. Sebuah ideologi yang memaksa petani menjual tanah agar bisa menjalankan mitos ‘mengejar pembangunan’ yang sama dengan daerah-daerah yang diklaim lebih ‘maju’ dan ‘modern’. Uang hasil penjualan tanah untuk menyekolahkan anak agar tidak menjadi petani/nelayan; membeli televisi, motor, mobil, membangun rumah dengan arsitektur ‘modern’, menjadi buruh (karyawan/pekerja kantoran bahasa orang-orang 'modern') karena petani dipandang 'hina' sekalipun jam kerja tidak diatur dan alat produksinya dikuasai sendiri. Media sangat berperan dalam mengkampanyekan ideologi ini dan tanpa sadar kita pun turut memperkuatnya.

Pembangunan ini tentu saja tidak berorientasi pada keberlanjutan bumi. Semata-mata tujuannya untuk surplus dan monopoli ruang hidup oleh segelintir orang terhadap mayoritas orang lainnya. Dan segelintir orang ini menyebut mereka sebagai perwakilan masyarakat ‘global’, ‘modern’ dan ‘beradab’. Dan mayoritas yang berbeda dengan corak hidup yang sama dengan mereka didikte dengan pemilihan diksi negatif: 'tertinggal', 'tidak beradab', 'kuno', 'primitif' dan 'barbar'. Atau bahkan diadili sebagai 'separatis' jika menolak tanah dan hutan mereka dialihfungsikan menjadi tambang, sawit, pabrik, mall dan investasi lainnya. Vandana Shiva (1993) menyebutnya reduksi pengetahuan. Makhluk hidup (hewan, tumbuhan dan manusia) memiliki sifat alami untuk mereproduksi dirinya, tapi ilmu pengetahuan 'modern' hari ini justru merubahnya menjadi komoditas yang harus memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi modal. Kasus revolusi hijau dimana pembibitan dilakukan dengan menggunakan pupuk kimia seperti pestisida dan herbisida ke tanaman agar bisa subur dan tumbuh dengan cepat, lalu mempercepat proses akumulasi keuntungan, justru berdampak negatif bagi kesehatan manusia, serta menghancurkan reproduksi alami tanah, ditambah lagi dengan pencemaran terhadap air.


Lefebvre (1992) menyatakan politik penciptaan (penataan) ruang merupakan sebuah reproduksi ruang dalam konteks kontrol, dominasi dan akumulasi kapital. Dimana UU Penataan Ruang adalah bagian dari deregulasi peraturan perundang-undangan untuk mempermudah proses pengalih-kuasaan tanah, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan akumulasi modal. Masyarakat lokal akan semakin diserabut dari akar budayanya, kehilangan akses dan kontrol atas ruang hidup dan yang paling mendasar adalah keselamatan yang terancam. Maka memang benar bahwa tujuan tertinggi dari negara adalah untuk melindungi kepemilikan pribadi, sebagaimana dibahasakan oleh Engels (1887).

Dan Jokowi adalah perpanjangan tangan kapital dan negara untuk mensukseskan semua itu. Dia adalah bagian dari rantai sistem yang menggurita ini. Tak peduli siapa dia, dari mana asalnya, beragama apa dan berbangsa apa. Dia adalah alat politik bagi kelasnya: Kelas Pengusaha. Mendapatkan mandat menjadi penguasa untuk mempertahankan dan memperluas hegemoni dan status quo kerajaan bisnis mereka di Indonesia. Lantas masih pantaskah kita berucap terima kasih kepadanya karena telah memberikan grasi bagi Eva Bande?

"Saya tahu, yang diperjuangkan oleh Ibu Eva Bande adalah hak-hak rakyat, yang berkaitan dengan tanah, dengan lahan. Saya kira hal-hal seperti inilah yang terus harus kita perjuangkan," kata Jokowi dalam sambutannya pada puncak peringatan Hari Ibu. (http://nasional.kompas.com/read/2014/12/22/11585441/Pada.Hari.Ibu.Jokowi.Minta.Tak.Ada.Aktivis.Perempuan.yang.Ditangkap)

Tentu saja kita semua sangat gembira dan berbahagia atas kebebasan Eva Bande. Tapi saya (dan mungkin juga beberapa kawan) benar-benar tidak suka dengan komentar Jokowi yang sok populis di atas. Mencitrakan diri 'baik' pada para aktivis, ditengah kemarahan kita atas sikap ACUHnya pada represifitas aparat kepolisian terhadap ibu-ibu petani yang mempertahankan tanahnya dari perampasan PT. Semen Indonesia di Rembang; pembantaian dan penembakan brutal 22 warga sipil hingga menewaskan enam pemuda oleh koalisi bersenjata (TNI-Polri) di Paniai Papua; dagang alam di pertemuan APEC; melanjutkan mega proyek MP3EI; mendorong pembentukan KODAM secepatnya di Papua (lagi-lagi, dengan menggunakan logika kekerasan untuk menyelesaikan konflik Papua yang pastinya tidak akan berakhir dengan cara demikian); menenggelamkan perahu-perahu nelayan (tradisional) asing, lalu membiarkan ratusan korporasi perikanan menggusur area tangkap nelayan lokal, membiarkan korporat seperti Ibu Susi yang ‘baik hati’ itu menentukan harga dan pasar bagi nelayan hingga mereka tak pernah bisa berdaulat atas hasil produksinya sendiri; hingga terus saja memberikan legalitas bagi sawit dan tambang yang merajalela menggusur ruang-ruang hidup warga dari Sabang hingga Merauke. 



Mana mungkin ada keberpihakan terhadap aktivis HAM, agraria, perempuan, buruh, petani dan nelayan,  sementara semua praktek kekerasan oleh negara terus dilanjutkan sebagai kebijakannya? Bagaimana mungkin melarang adanya kriminalisasi aktivis agraria dan HAM ditengah maraknya praktek ‘legal’ perampasan ruang? SAYA MARAH! BENCI! MUAK! JIJIK! dengan politik-politik pencitraan yang ditampilkannya, juga para elit lainnya. KEBEBASAN Eva Bande bukanlah PEMBEBASAN! Kebebasan Eva Bande adalah hal yang mutlak! karena dia tidak bersalah, karena dia dikriminasilisasi, DIKRIMINALISASI! dan karena kebebasan itu didapat dari hasil perjuangan Eva bersama seluruh kawan-kawan yang setia membangun pergerakan mendorong pembebasannya. BUKAN karena 'POLITIK BAIK HATI'nya bapak Jokowi.

Karena Jokowi masih mengundang korporasi untuk merampas tanah, dan inilah menu penutup APEC pagi itu, “We are waiting for you to come to Indonesia. We are waiting for you to invest in Indonesia.”
***

Minggu, 07 Desember 2014

“Nenek Moyangku Seorang Pelaut”

 ANAK DARI SEMUA BANGSA--PRAMOEDYA

PERTAMA, tulisan ini didedikasikan bagi para nelayan. Semua nelayan, tak peduli berbangsa apapun: Bugis, Halmahera, Alifuru, Buton, Jawa, Andalas, Borneo, Celebes, Bali, Kupang, Mataram, Sunda, Papua; bernegara apapun: Indonesia, Vietnam, Philipina, Malaysia, India, Arab, Jepang, Belanda, Inggris, Jerman, Kuba, Venezuela, Mexico atau dari negara ‘adikuasa’ USA sekalipun. Kedua, tulisan ini untuk kemanusiaan—yang kerap kali hilang dari logika sistem negara. 
 
Mari melihat kembali kepentingan kelas dibalik lahirnya setiap kebijakan negara. Tanggalkan hukum dan segala aturan formil yang meletakkan batas-batas teritori pada para nelayan, sementara semua itu tidak berlaku bagi korporasi perikanan—baik lingkup lokal, nasional maupun transnasional; entah legal atau illegal menurut hukum negara. Faktanya, merekalah ‘pencuri’ sumber kekayaan laut terbesar di dunia, yang mempersempit wilayah tangkap nelayan dan mengatur pasar ikan serta hasil laut. Lalu memaksa nelayan tak memiliki kedaulatan menentukan harga dan pasar distribusi.

Jika pernyataan ini dipandang ‘bodoh’ dan salah kaprah, maka ilmu pengetahuan modern pun harus diadili lebih tidak berperi. Ilmu pengetahuan berbasis kepentingan segelintir tuan yang diadopsi dan diklaim sebagai pengetahuan global, lalu diyakini dan diimani sebagai standar kecerdasan. Kemudian menegasikan pengetahuan-pengetahuan lokal, bahkan dihakimi sebagai pengetahuan ‘primitif’, ‘tertinggal’, ‘kampungan’, ‘barbar’ atau ‘separatis’.

Jika pengetahuan modern mulai bicara tentang kepentingan ekologi ‘palsu’, maka sejak dulu, pengetahuan lokal dan tradisional itu telah beratus abad menjalankan sistem produksi tanpa merusak alam. Kesadaran bahwa alam (tanah, tumbuhan, hutan, air, biota dan ekosistem lainnya) mampu mereproduksi dirinya sendiri sebagaimana perempuan, menancap sebagai bagian dari kebudayaan spiritual pengetahuan-pengetahuan lokal tersebut. Pengetahuan tradisional ini tidak membutuhkan bibit ‘racun’ pestisida untuk tanaman, juga pukat atau bom ikan untuk mengail.
Tapi hari ini, ketika ilmu pengetahuan modern tersebut berkembang pesat seiring dijaga ketat oleh perangkat hukum dan aparaturnya, produktifitas tradisional itu pun dipaksa bersaing dengan koorporasi yang menggunakan teknologi modern. Semua itu dikampanyekan dengan apik melalui media-media koorporat yang turut serta menjadi pendukung. Karena persaingan yang sengaja diciptakan dan tanpa perimbangan inilah, sebagian merasa frustasi lalu ‘melanggar’ hukum-hukum alam serta hukum-hukum negara mengenai batas teritori. Ooopsss... tunggu dulu, bukankah sebelum ada negara modern, bahkan berpuluh abad lalu, para nelayan tradisional sudah melaut dan menyeberangi samudera hingga ke bangsa-bangsa lain?

NELAYAN VS NEGARA

DIA berjalan mengitari tiap sudut kota pulau ini. Berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Seorang lelaki paruh baya, kisaran 50-an tahun. Ia menggunakan kaos berkrak dan celana pendek berwarna gelap. Sebagian kaosnya bolong dan sobek. Sendal jepit kotor dan menipis menjadi alas kakinya. Setiap kali berpapasan, yang terdengar dari suara yang keluar dari komat-kamit mulutnya adalah bahasa yang tidak dikenal dan dipahami.

Lelaki ini gila. Kerap kali ia bercakap dalam bahasanya seorang diri: saat duduk, berdiri ataupun berjalan; ketika hujan, mendung ataupun panas. Ia juga sering mengais sisa-sisa makanan dari tong dan bak-bak sampah di sepanjang emperan toko dan depan jejeran warung makan. Sempat terlihat beberapa kali, satu-dua orang pejalan kaki merasa iba, lalu memberi uang atau makanan padanya. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu merupakan seorang nelayan asal Philipina yang kapalnya ditangkap oleh negara, karena dituduh ‘mencuri’ ikan di Perairan Indonesia. Mungkin karena malu, beban utang dan tekanan psikologi lainnya mengantarkan lelaki seperdua abad itu menjadi hilang akal sehat.
**

PADA ruang dan waktu yang berbeda. Jum’at, 05 Desember 2014, delapan Nelayan Vietnam diasingkan dari kapalnya dan ditempatkan di sebuah kapal milik TNI-AL. Dari sajian gambar para jurnalis, nelayan-nelayan ini duduk bersandar pada pagar anjungan kapal. Kapal nelayan ini dibakar dan ditenggelamkan oleh TNI-AL, yang disertai dengan pengawasan melalui kapal dan helikopter. Saat pembakaran berlangsung, ke-delapan lelaki dengan postur tubuh berbeda ini, memutar badan dan posisi duduk lalu bertumpuh tangan di atas terali pagar. Mereka tengah menonton aksi ‘heroik’ serdadu Indonesia. Seorang diantaranya, bahkan menyeka mata dengan punggung telapak tangan. Mungkin menangis.



Sebelum prosesi pemusnahan kapal berkapasitas muatan kurang dari 100GT itu, para nelayan—yang juga disebut awak kapal oleh negara ini, disuruh berdiri sejajar dan merentangkan tangan ke atas. Mungkin untuk memastikan mereka memang nelayan tak bersenjata, atau mungkin juga hanya bagian dari prosedur penangkapan.
***

SAAT media mainstream gencar memberitakan sikap pemerintah membakar dan menenggelamkan kapal nelayan Vietnam tersebut, yang tampak hanya dua perbedaan pandangan dari golongan dan kelas yang sama. Media koorporat pertama—yang sejak awal mendukung pemerintahan, memamerkannya sebagai sikap berani dan tegas yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, serta menonjolkan sikap seorang nasionalis yang patut dicontoh. Sementara media kedua—yang saham dan pimpinan direksinya dihuni oleh kalangan oposan ‘palsu’, menyerangnya sebagai tindakan yang biasa saja dan justru akan mengancam hubungan bilateral antar negara. Yang kedua ini tak perlu ditanggapi, karena oposan ‘palsu’ ini juga akan berkawin dengan pihak lawan, ketika itu berkaitan dengan kepentingan kelas mereka sebagaimana tergambar dalam sikap politik mendukung pencabutan subsidi BBM kemarin.

Lalu bagaimana dengan posisi kita? Pada kelas yang manakah kita berdiri? Di luar dugaan. Sebagian kita merasa berbangga hati memiliki pemimpin negara seperti di atas, bahkan turut serta mengkampanyekan sikap ‘heroik’ tersebut. Ada yang karena memang melepaskan analisis kelas, namun tak sedikit juga yang punya kesadaran kelas tapi telampau takut pada hadirnya militer, orba, sipil reaksioner yang mengancam demokrasi dengan merebut dan kudeta kekuasaan. Lantas apapun yang dilakukan oleh presiden 'demokratis'nya selalu dinilai baik dan tidak lagi dikritisi sebagaimana kekritisan itu pernah subur di masa pemerintahan sebelumnya. Akhirnya, kontradiksi pokok lagi dan lagi menegasikan kontradiksi dasar.

Dari banyak komentar dan argumen, sebagian besar menyebut hal itu untuk menunjukkan ‘kedaulatan politik’ kita sebagai negara merdeka. Intinya nasionalisme yang dikedepankan, bukan kemanusiaannya. Sebagian lagi berdalih bahwa tidak ada pelanggaran HAM di sana, karena yang dibakar adalah kapalnya, sementara para nelayan telah lebih dulu diungsikan ke kapal TNI-AL. Ada juga yang mengatakan bahwa akibat aktivitas ‘pencurian’ ikan oleh nelayan tradisional asing ini, pendapatan nelayan lokal menurun. Dan yang terakhir dan seringkali membuat kita terjebak adalah penggunaan logika hukum, dimana berdasarkan undang-undang nasional tentang perikanan dan peraturan lain tentang batas-batas teritori, maupun hukum laut internasional yang menyebutkan, bahwa penghakiman terhadap nelayan asing yang ‘ceroboh’ adalah tindakan yang benar.

Yang terakhir itu kita cukupkan sampai di sini, karena kita tidak akan berdebat pada wilayah hukum positif negara-negara. Sejatinya semua hukum positif negara-negara modern bercorak kapitalistik dirumuskan semata-mata untuk kepentingan menjaga laju arus kapital. Hitung saja, bagaimana Pemerintah Indonesia dikendalikan oleh koorporasi perikanan saat hendak meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau maraknya titipan regulasi berkaitan dengan kepentingan koorporasi seperti UU Penataan Ruang, UU PMA, UU Migas, UU Perikanan, PP MP3EI, UU Ketenagakerjaan, Penetapan Upah, bla bla bla...

Terlampau banyak untuk diuraikan satu per satu. Intinya, negara—melalui aparaturnya—merasa berhak atas tanah, laut dan kekayaan yang terkandung di atasnya, sehingga semakin marak saja praktek perampasan ruang hidup dijalankan dengan berbasiskan regulasi dan kekuatan serdadu, semata-mata demi kepentingan akumulasi kekayaan penguasa modal.

Sejatinya negara ini baru berdiri 69 tahun lalu, sementara nelayan tradisional telah melaut menyeberangi dan melewati batas-batas pulau bahkan benua sejak berabad-abad silam. Apakah ada perang nasionalisme dan batas-batas di sana? Mari menjawab sendiri. Sebelum memperdebatkan pernyataan-pernyataan di atas, mari simak cerita lain dari kisah yang sama.



NASIONALISME BATAS DAN BATAS NASIONALISME

KISAH sama tapi tak serupa. Tak serupa hanya karena berbeda bangsa, bahasa dan tanah air. Walaupun kisah dan kelasnya sama: NELAYAN.

Kapal perahu bernama Ekta Sakti milik nelayan Oesapu-Kupang, NTT-Indonesia dibakar dan dimusnahkan oleh otoritas keamanan laut Austalia. Tuduhan yang dialamatkan pada para nelayan tradisional ini adalah ‘mencuri’ ikan di teritori perairan Australia. Dimana menurut otoritas keamanan laut negara tersebut, para nelayan ini telah menangkap ikan dan teripang di dasar laut. Itu berarti melanggar kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah setempat, dimana wilayah tangkap Australia berada di dasar laut sementara Indonesia di permukaannya saja. Sebuah kesepakatan ‘irasional’.

"Ini bukan kisah baru. Kami sudah berulang kali mengalami nasib seperti itu. Kami tunjukkan GPS, namun mereka tidak menerima bukti rekaman GPS tersebut. Kami digiring terus sampai ke Darwin dengan tuduhan memasuki wilayah perairan Australia secara ilegal," ungkap Mustafa, nelayan asal Oesapa-Kupang, NTT kepada media.



Para nelayan ini sedikit beruntung karena mereka memiliki perlengkapan GPS dan kapalnya dirancang khusus hanya untuk menangkap ikan dengan wilayah operasi di sekitar ZEE  Indonesia, sehingga tuduhan otoritas keamanan perairan Australia terbukti tidak benar. Setelah bertahun menempuh sidang di Pengadilan Federal Australia di Darwin, Australia Utara, akhirnya para nelayan dinyatakan menang dan pemerintah negara kanguru itu diwajibkan membayar kompensasi sebesar 44.000 dolar Australia.

Berdasarkan data konsulat RI di Australia pada tahun 2008, terdapat 253 nelayan tradisional Indonesia yang ditahan otoritas keamanan laut Australia di Pusat Penahanan Darwin. Artinya nelayan dimanapun dan dari bangsa manapun sedang terancam oleh batas teritori negara-negara.

***

APA yang terlintas dalam benak kita sebagai rakyat Indonesia saat pertama kali membaca, mendengar atau menonton kisah barusan? Terlepas dari salah dan benarnya nelayan kita di mata hukum negara. Marah, sedih, geram, kecam, iba atau bahkan murka, bukan? Kenapa perasaan dan ekspresi demikian tidak terlintas saat kita menyaksikan nelayan Vietnam mengalami hal yang sama? Sekali lagi terlepas dari salah-benarnya mereka di mata hukum negara. Bukankah mereka juga nelayan tradisional yang wilayah tangkapnya dibatasi teritori negara? Bukankah mereka juga kelas pekerja yang tidak bebas menentukan harga dan pasar? Harus ber-utang pada pemilik kapal? Melaut berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga? Hasil tangkapan yang dibeli murah oleh korporasi perikanan sebagai penadah? Dilarang bertransaksi langsung dengan konsumen? Apakah karena mereka bukan nelayan dari Indonesia? Bukankah nasib mereka sama di semua negara-negara agen kapitalisme hari ini?


Lantas ‘kedaulatan politik’ seperti apa yang berhasil kita buktikan? Apakah dengan mempraktekan ‘kejahatan’ yang sama, membakar dan menenggelamkan kapal nelayan asing—tua, reyot dan mungkin masih dalam kondisi utang, maka kita telah berdaulat secara politik? Apakah itu untuk menegakkan nasionalisme? Apakah nasionalisme hanya bicara pada batas-batas? Ataukah memang kepekaan dan kepedulian kita hanya berada pada batas-batas nasionalisme?

Jika demikian, lantas kenapa kapal-kapal Freeport yang mengangkut ribuan, ratusan bahkan jutaan ton emas dari tanah Papua tidak ditenggelamkan atas nama nasionalisme? Kenapa kapal-kapal Chevron yang mengangkut jutaan barel minyak dan memaksa kita ‘ikhlas’ dengan pencabutan subsidi, tidak dibakar atas nama nasionalisme? Atau kenapa bukan kapal-kapal Eramet dan Mitsubishi, yang mengangkut tanah-tanah mengandung biji nikel dari Halmahera yang dimusnahkan atas nama nasionalisme? Bukankah kapal yang ‘mencuri’ kekayaan alam kita itu milik korporasi asing?

Oh iya, korporasi-korporasi di atas telah mengantongi ijin ‘pencurian’ dari negara, sekalipun dampaknya jelas bagi nelayan, petani, buruh dan warga setempat. Nasionalisme itu tak berlaku bagi korporasi asing yang sekelas dengan penguasa-pengusaha kita. Ijin akan terus mengalir demi penumpukan surplus segelintir tuan. Tak peduli pengerukan itu merampas serta mengancam ruang hidup dan keselamatan Warga Negara Indonesia. Inilah nasionalisme kita. Maka waspada dan berhati-hatilah dengan penyakit nasionalisme, pelan-pelan ia akan melenyapkan kepekaan, kepedulian dan rasa solidaritas kita pada sesama, dan sampai pada stadium chauvinisme, praktek fasisme dan rasisme dipandang lumrah serta menjadi sebuah keharusan.


AWAS NELAYAN ASING!
Siapakah yang dirugikan? Nelayan, Negara ataukah Industri Perikanan?

"Apabila ada sekitar 500-1.000 kapal motor asing yang ditangkap mencuri sekitar 100 ton ikan, dikalikan Rp 90 ribu/kilogram ikan, artinya Rp 9 miliar kerugian negara untuk satu kapal motor, kemudian kalau dikalikan 1.000 kapal motor, kerugian negara sekitar Rp 9 triliun akibat pencurian ikan," tandas Susi, sebagaimana dilansir merdeka.com.

Siapa yang menentukan jenis-jenis ikan hasil tangkap nelayan? Siapa yang menentukan harga? Apakah harga ditetapkan oleh nelayan? Ataukah sebaliknya, harga ditentukan pengepul—korporat besar macam ibu menteri ini? Berapa lagi harga yang ditentukan bagi konsumen? Berapa diskon yang wajib diberikan nelayan kepada pengepul yang memborong hasil tangkapannya? Jika ini berkaitan dengan keberpihakan pemerintah pada nelayan lokal/nasional, maka mari juga menghitung jumlah kerugian mereka: dari hasil perasan korporasi perikanan terhadap nelayan tradisional kita. Jangan lupa hitung juga berapa jumlah kapal-kapal besar milik korporasi yang mempekerjakan buruh (nelayan tak berarea tangkap) dan mempersempit atau menutup akses wilayah tangkap nelayan tradisional.

“Pasalnya, kapal-kapal yang ditenggelamkan tersebut telah terbukti melakukan pencurian dan beroperasi atas nama perorangan atau perusahaan tertentu, bukan atas nama negara," ini kutipan pernyataan pimpinan teritori TNI-AL yang diambil dari salah satu isi berita media online. Pernyataan di atas mengisyaratkan keberpihakan kelas negara. Artinya jika kapal-kapal nelayan itu beroperasi atas nama negara (pemerintah) asalnya dan mendapatkan ijin dari negara (pemerintah) kita, maka pasti tidak bermasalah, apalagi sampai bakar-bakar kapal. Sayangnya pengurusan ijin administrasi negara-negara tersebut hanya mampu dipenuhi oleh industri perikanan besar, yang tentu saja tidak pernah bermasalah dengan hukum positif. Semua logika itu menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak berkaitan dengan kepentingan nelayan lokal.

Faktanya kerugian itu dialami oleh negara dan bukan nelayan. Bukankah kas negara akan mengalami lonjakan luar biasa melalui ijin-ijin dan setoran non pajak bagi korporasi-korporasi perikanan? Tentu saja tidak hanya kas negara yang bertambah, tapi dollar juga berpotensi mengalir dan memenuhi kantong-kantong para oknum. Maka pernyataan terakhir susi pada kutipan di atas ada benarnya, “kerugian negara sekitar Rp. 9 triliun akibat pencurian ikan,” dan negara selalu saja diwakilkan oleh penguasa modal. Kerugian negara berarti kerugian bagi korporasi perikanan. Keberpihakan itu pun semakin jelas, ketika negara justru memperlancar arus laju kapitalisasi ruang kelola laut dengan program andalan bernama: MEGA MINAPOLITAN.
 
Apakah semua kebijakan sistem negara itu tidak melanggar HAM? Semua orang juga tahu (tak butuh sekolah untuk tahu itu) bahwa kapal nelayan Vietnam itu dibakar setelah sebelumnya para nelayan ‘diamankan’. Seperti yang disebutkan, jika nelayan dibakar beserta kapal, itu namanya cari perang. Yang harus ditekankan adalah pelanggaran HAM tidak harus dipahami sedangkal membakar orang saja. Namun ketika hak atas ruang hidup dan keselamatan dirampas, disitulah pelanggaran bahkan kejahatan atas HAM itu terjadi. Dan negara modern—yang baru ada sekitar empat abad lalu itu, telah banyak melakukan pelanggaran HAM, tidak hanya bagi nelayan asing, tapi juga terhadap nelayan, petani, buruh, pelajar/mahasiswa ataupun masyarakat urban lokal/nasional.

Ini bukan sekedar tentang nasionalisme batas dan batas nasionalisme. Ini tentang perang kelas yang coba dipelintir oleh para state and capital leader. Tentang bagaimana kita (sesama kelas pekerja) diideologisasi dengan nasionalisme untuk saling berkonflik. Kenyataannya penguasa politik dan ekonomi ini akan saling mendukung demi kepentingan kelas mereka. Mereka akan pura-pura berdebat dan bersaing, agar kita buta pada perang sesuangguhnya. Perang dimana kita bercita-cita menghancurkan sistem gila ini, mengambil alih alat-alat produksi yang dikuasai para pengausa modal.
Ah sudahlah, karena kita masih asyik berperang dengan sesama jelata. Sementara para penguasa-pengusaha menyaksikan tontonan dari atas singgasan bertabur mata uang, sambil sesekali tertawa ngakak. Selayak bersorak: MENANG. Setelah mengalami nasib sama dengan kelas pekerja dari bangsa-negara lain tersebut, lalu meratapi dan menyesali tindakan. Oh sudahlah, pemahaman kita tentang sense memang telah tersekat pada batas pasal, teritori dan nasionalisme. Dan hanya uang serta logika modal yang mampu menembus semua batas-batas.

*Dari pada bakar kapal, mari bakar ikan, lebih manusiawi dan lezat pastinya...*