Mata Air jadi
Air Mata
AIR. Gemericiknya berpadu dengan nyanyian
burung-burung. Aroma cengkeh dan pala menyeruak ke seantero ruang hijau.
Daun-daun kuning berguguran. Jatuh. Jatuh menempah tanah basah. Ah... bau tanah
basah itu. Basah setelah disetubuhi embun malam tadi. Oh... terlalu basah dan
sedikit becek. Mungkin semalam rinai hujan pun turut membasahi tubuh Bumi Mor.
Air...
gerombolan anak-anak tengah bercengkerama, membangun cerita masa di sana.
Sebagian bermain air di dalam kolam renang alami yang lahir dari rahim bumi:
Sungai. Sebagian lagi saling kejar sembari tangan-tangan kecil mereka menarik
benang panjang, yang dibawa terbang bersama layangan ke angkasa biru. Awan-awan
putih tak kabut, cerah tak mendung.
“Awas
pohon!” seru Mor, gadis berambut keriting sebahu itu. Bola mata besar Mor yang
memancar kesejukan seperti namanya yang berarti air, terbelalak hampir saja
keluar saat ia melihat layangan milik temannya, Kenanga yang hampir saja
mengenai sebuah pohon cengkeh di samping kiri sungai.
Mor
dan Kenanga. Gadis belia usia 10 tahun memang tengah bermain layangan bersama
tiga teman lelaki mereka. Di sini tak ada aturan layangan adalah mainan untuk
para anak lelaki. Mereka, anak-anak berkulit coklat itu bermain tanpa mengenal
batas-batas kelamin. Seperti air yang menghilangkan dahaga pada semua makhluk
hidup tanpa batasan: entah manusia, hewan atau tumbuhan. Ah sayang... air
memang tidak memberikan batasan pada siapa dan apa dia akan bermanfaat, tapi
air sendiri tidaklah linear: AIR ITU BERBATAS!
Ungu
pada senja sebentar lagi menghantarkan surya bertolak ke lapisan bumi lain dan
gelap segera menggantikan hari. Air sungai sudah sangat dingin. Udara
sekitarnya juga mulai lebih sejuk. Anak-anak tanpa baju—lelaki juga
perempuan—itu, berkejar-kejaran menuju pemukiman yang tak berada jauh dari
sungai tersebut. Mor dan Kenanga bangkit dari dalam air setelah sebelumnya menceburkan
diri ke sungai, mereka lalu berlari dengan tubuh menggigil: berlari mengejar
yang lain.
**
AIR
laut itu biru. Ikan-ikan berlimpah di atas dan dalamnya. Di laut dangkal, ikan
teri dan udang tumpah ruah. Teripang dan gurita apalagi. Beberapa ekor
lumba-lumba melompat riang di tengah teluk itu.
Pesisir masih panjang. Pasirnya putih. Nyiur masih rajin melambai
memberi pesan di sekitar bibir pantai.
Air
laut itu asin. Perahu-perahu nelayan melaju ke kedalaman sekian ratus meter. Bahu
legam itu memikul beban lapar para sanak. Tangan-tangan berkulit hitam sibuk
mendayung hingga jauh. Laki-laki berambut ikal kusut, mata tajam memerah dan
bibir hitam tebal sedang menyeruput sebatang tembakau. Ia mengenakan kaos
oblong kuning berlambang salah satu partai politik negeri ini, mulai robek di
sana-sini, serta celana selutut abu-abu menutup bagian bawah tubuhnya, ah
mungkin warnanya putih tapi memudar dan kotor. Amis tubuh berotot itu seperti menyaingi
bau sebokor ikan cakalang, kerapu dan goropa
yang dibawanya.
“Airnya
Mor,” pinta laki-laki berusia 35 tahun itu kepada Mor yang menyambut sang papa
di pantai teluk ini. Sebelumnya senyum Mor merekah melihat perahu sang papa
mulai mendekat ke pesisir. Setelah mengikat dan menyimpan perahunya di pantai, papa
lalu bertati ke arah putri tercinta. Mor pun langsung memberi air kepada
papanya. Laki-laki bernama Pedeke itu lalu meneguk air di dalam batang damar
tersebut hingga tetesan terakhir, habis. Mor langsung merobohkan tubuh ke
pelukan sang papa. Ia tak sedikitpun jijik, walaupun bau amis itu kian
menyengat.
Beberapa
lelaki dan perempuan tampak sedang mengangkat jemuran kasia (udang halus) di sepanjang utara pantai. Kasia yang telah dikeringkan akan diolah menjadi terasi tradisional
berbungkus daun woka. Orang lainnya
terlihat tengah asyik membakar ikan-ikan hasil tangkapan siang itu, sembari
beberapa diantara mereka bercengkerama dan tertawa renyah. Anak-anak lebih
banyak bermain: batobo, berenang di
laut. Sebagian dari bocah-bocah itu berlarian, saling kejar. Permainan
tradisional: boi pante menjadi pilihan mereka. Mor tidak tergoda melihat semua itu.
Ia justru mengambil dua
ekor ikan dari dalam bokor yang masih dipegang sang papa, lalu berlari
menuju rumah. Sang Air itu tak sabar nikmati malam sambil makan ikan kerapu
bakar, ditambah dengan dabu-dabu rica kesukaannya.
Hmmm...
Malam
itu memang selalu dinanti oleh semua orang kampung, tidak hanya Mor. Ada sajian
limpahan makanan tradisional yang lezat dan sehat. Juga tarian dana-dana, lalayon dan tide-tide diiringi
tabuh tifa yang disukai muda-mudi
kampung ini. Beberapa laki-laki juga akan tampil bernyanyi dan bermain perkusi.
Memainkan musik bergenre yanger. Ya,
pesta kampung atau pesta adat menyambut natal akan digelar malam ini.
**
MOR
dewasa. Usia 30 tahun. Air mukanya tidak secerah dulu. Bola mata itu mulai
mengecil dan tak lagi memancarkan sejuta mimpi akan masa depan yang telah pupus.
Mor begitu cinta pada air dan tanah moyangnya. Ah... Mor... Air... Dia selalu
memberi kesejukan dan meredam dahaga.
“Itu
cerita dulu. Semua berubah sejak Tahun Anggrek itu. Sebuah perusahaan emas datang
dan orang-orang mulai menukar tanah dengan uang, hutan dengan mobil dan air
dengan rumah,” Mor berkisah sembari tertunduk lesuh, tatapannya menerawang.
Mor...
Air teduh itu. Ia berjalan menyusuri kampung bermotif ‘kota’ ini. Langkahnya
terhenti di depan sekolah dasar. Tatapannya tajam mengarah ke sebuah papan
bertuliskan: MALAS PANGKAL MISKIN, RAJIN PANGKAL KAYA.
“Dulu
kami tidak mengenal miskin atau kaya. Yang kami tahu hanya melaut dan berkebun.
Semua orang bekerja. Laki-laki juga perempuan. Tapi kami juga masih punya
banyak waktu beristirahat. Semua orang. Tidak ada yang jadi boss di sini!” tegas Mor... Air
menyejukkan batin.
Perusahaan itu hadir dengan memberikan mimpi-mimpi pada
Mor dan warga kampung ini. Mimpi bernama ‘Pembangunan’ dan ‘Kemajuan’. Lalu Mor
kecil melihat begitu banyak praktek perampasan tanah dan pembakaran hutan untuk
pembangunan; juga semakin banyak petani menjual tanah, warisan bagi generasi;
lalu mereka menjadi petani tak bertanah atau buruh upahan atau mereka sendiri menyebutnya
budak korporasi yang dihisap tenaga dan jam kerjanya.
Mor juga menyaksikan pemandangan aneh di kampungnya.
Orang-orang tak lagi melaut dan berkebun. Wajah mereka masih tetap sama tapi
penampilannya berbeda. Sebagian kecil mereka telah menjadi orang-orang berdasi
yang wangi, kontras dengan sebagian lainnya yang berpakaian lusuh, dekil dan
bau. Ia mendengar begitu banyak jerit kelaparan. Tapi Mor juga mendengar tabuh
irama musik yang belum pernah didengar sebelumnya, sembari menyaksikan limpahan
makanan ‘asing’ tersebar dan tak tersentuh. Ia melihat malam-malam berhias cahaya,
bukan dari bintang tapi lampu-lampu itu yang memancarkannya.
Mor... Air jernih itu melihat kehadiran wajah-wajah
baru yang menakutkan. Wajah-wajah itu bernama pengemis, pengamen 'jalanan',
tenaga kerja ke luar negeri, pembantu rumah tangga, buruh cuci, tukang ojeg,
sopir angkot, taksi, truk, buruh transportasi, pedagang asongan, pedagang kaki
lima, anak jalanan, pekerja seks, pemulung, bahkan diantara wajah-wajah dekil
itu ada yang mengais sisa-sisa makanan pada tong sampah. Mor bingung dan
mencari arah untuk kembali pulang. Tapi pulang kemana? Bukankah ia terlanjur
berlari? Berlari mengejar teman-temannya yang telah jauh meninggalkannya:
mengejar ketertinggalannya.
Ia
melangkahkan kakinya. Kembali menyusuri jalanan beraspal. Mor... Air teduh itu
benar. Di sini jurang kaya dan miskin itu kian menganga. Mobil-mobil mewah berderet rapi di tengah kemacetan;
hotel-hotel berbintang menjulang tinggi; tindak kriminal meningkat; tubuh dan
nyawa setara dengan kacang; mall-mall dan pasar modern yang menggusur
keberadaan pasar tradisional; pakaian bermerk; makanan restaurant; makanan
cepat saji (KFC, CFC, Mc Donalds, Humberger, Pizza) mengandung msg. “Kata orang
pintar penyedap masakan itu adalah penyebab terbesar kanker,” Mor mengeluh.
Dan Mor... Air... Hak dasar itu pun tergantikan. Air
kemasan yang membuat gengsi orang kampung menurun untuk melestarikan kebudayaan
bersilaturahmi. Mereka semakin malu untuk sekedar bertamu meminta air ke
rumah-rumah kerabatnya. Mereka lebih memilih menyodorkan seribu/dua ribu perak
utk Aqua atau Fit ke penjaga kios. Lalu air sebagai kebutuhan dasar manusia dan
makhluk lainnya yang disediakan alam dengan gratis pun wajib mereka beli.
“Oh... Lautku... Air lautku. Tak ada lagi ikan dan
hasil lainnya di sana. Teluk ini penuh limbah dan dikotori minyak. Kapal-kapal
perusahaan lalu lalang. Sianida membunuh ikan. Tidak ada lagi pesisir dan lambaian nyiur. Kini hanya ada timbunan tanah dan batu. Terumbu karang rusak. Ikan menjauh. Nelayan oh
nelayan. Papa... ia tergerus melawan badai pembangunan itu...” Mor terus
bercerita, sesekali tersendat di tenggorokan. Meluapkan marah.
“Air... Mor... Papa memberi nama Mor ini agar saya
bisa menjaga mor, air dan tanah yang memberi kami hidup. Tapi apa yang bisa
saya lakukan dengan tangan kecil ini?” sembari mengangkat telapak tangannya.
“Sungai kami tercemar. Warna airnya coklat. Ikan-ikan mati mengambang
berkandung merkuri. Badan sungai diperkecil untuk perluasan area keruk tambang.
Tidak ada lagi perigi di sini. Air tanah juga meracuni tubuh. Oh... anak-anak
harus minum air bersih dan sehat, sebagaimana saya pun dulu mengecapnya dengan
kenikmatan. Tidak! Bagaimana bisa kami dipaksa membeli air padahal alam memberi
gratis pada semua manusia? Bagaimana bisa perusahaan-perusahaan air kemasan itu
menyerbu pasar di tengah derita kekeringan dan dahaga menerjang kampung kami?”
Ia mulai berhenti sejenak, mengatur nafas dan mengontrol emosinya.
“Ma... mama... minta seribu beli aqua ya? Matari
haus,” pinta Matari, putra kedua Mor, seketika membuatnya diam seribu bahasa.
Matanya berkaca. Ditatapnya dalam-dalam malaikat kecilnya. Anak sekecil ini
harus menanggung akibat dari dosa para ‘pelacur’ rakus. Anak itu sangat kurus
dan dia menderita batu ginjal serta gangguan pencernaan. Rambutnya botak,
kepalanya dipenuhi benjolan dari seukuran kacang hingga sebesar bola pingpong,
dan kulitnya gatal-gatal penuh luka.
Setelah memberi selembar uang lusuh bergambar dua
pulau dan seorang lelaki memegang pedang, kepada sang anak, Mor lalu
melanjutkan kisah.
“Mor... Air adalah kebutuhan dasar kita. Tidak hanya
manusia, hewan dan tumbuhan juga memiliki hak di atasnya. Lihat! Anak saya
meminta uang bukan buat beli mainan, tapi dia memelas hanya untuk beli air. BELI
AIR! Inilah warisan ‘pembangunan’ dan ‘kemajuan’ dari kita untuk anak cucu. Pernahkah
kita berpikir bagaimana uang bisa menggantikan peran Mor bagi kehidupan?
Bisakah kita menghilangkan dahaga dengan sebongkah emas? Bisakah tanpa sagu dan ikan
kita kenyang? Bisakah orang-orang kaya itu memberi minum anak mereka dengan
nikel dan tembaga? Tentu saja tidak. Tapi ternyata diantara kita ada yang lebih
haus pada kekayaan dan kakuasaan, dari pada mewariskan air pada generasi,” tutup
Mor, sang peneduh zaman, disertai setetes air mengairi kedua pipinya yang
kering, sekering tandus Tanah Mor.
***